September 25, 2017

Kerajaan Demak

Kerajaan Demak
A.    Letak Geografis Kerajaan Demak
Kerajaan Demak terletak di pantai utara Pulau Jawa, sebelah timur dari Cirebon, dan sebelah barat dari Juwana. Sebelum datangnya Raden Patah, daerah  ini merupakan sebuah desa yang banyak ditumbuhi oleh Gelagah Wangi, sehingga disebut desa Glagah Wangi. Desa yang kemudian akan menjadi pusat kerajaan ini, terletak di wilayah kadipaten Jepara, sebelah selatan Pulau Muria, atau lebih tepatnya lagi tepi selat yang memisahkan Pulau Muria dan daratan Jawa Tengah.[1]
Pusat kerajaan Demak yg terletak  di tepi selat yang memisahkan Demak dengan Pulau Muria ini, begitu menguntungkan untuk perdagangan. Karena, pada sekitar abad 16, selat ini cukup luas, sehingga cukup leluasa untuk dilewati sebagai jalan pintas oleh kapal-kapal pedagang dari Semarang yang kemudian melewati Jepara, Demak, Pati lalu berlayar ke Rembang. Namun, akibat pengendapan, sejak abad ke-17 selat ini hanya bisa dilewati saat musim hujan oleh sampan kecil saja. [2]
 Kerajaan Demak terletak pula di pinggir Sungai Tuntang yang berhulu di pedalaman Jawa Tengah. Sungai ini selain menjadi pendukung pengairan untuk kegiatan pertanian, juga menjadi penghubung antara Demak dengan daerah-daerah pedalaman, seperti Pengging dan Pajang. Sungai tersebut sampai dengan abad ke-18 masih bisa dilalui dengan perahu dagang kecil. Sehingga menjadi jalur perdagangan dan distribusi pertanian yang baik ke pedalaman. [3]

B.     Sejarah Berdirinya Kerajaan Demak
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang didirikan sekitar abad ke 16 oleh Raden Patah. Ia merupakan putra dari Prabu Brawijaya Kertabumi, Raja Majapahit dengan salah satu putri dari Cina. Pada mulanya, wilayah Demak sendiri adalah sebuah desa yang dikelilingi rawa-rawa,  dan dilindungi oleh tanaman Gelagah Wangi. Desa ini termasuk di dalam wilayah Majapahit, tepatnya Kadipaten Jepara. Karena ketika itu Jepara telah menjadi bandar yang ramai.[4]
Hingga kemudian datang Raden Patah yang ketika itu sedang dalam perantauan untuk mencari desa yang terlindungi oleh gelagah wangi atas perintah gurunya, yaitu Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah seorang penyebar agama islam yang berasal dari daerah Surabaya. Dengan saran gurunya pula, Raden Patah kemudian membangun desa Gelagah wangi tersebut. Desa itu kemudian mulai berkembang menjadi menjadi bandar yang ramai. Banyak pedagang dari berbagai daerah dari luar dan dalam pulau Jawa berdatangan.[5]
 Bandar itu kemudian berkembang menjadi sebuah kota bernama Demak, sesuai dengan kondisi lingkungan kota tersebut yang masih dipenuhi rawa-rawa. Ketika di kota Demak dimulai pembangunan Masjid agung Demak, muncul ide dari Raden Patah untuk melepaskan diri dari kerajaan Majapahit, karena sulit untuk menyebarkan agama Islam apabila masih berada dibawah kerajaan Hindu tersebut. Dengan tanpa kekerasan, pada sekitar pertengahan abad 15, Demak resmi melepaskan diri dari kerajaan Majapahit, dan diangkatlah Raden Patah sebagai raja pertama. [6]

C.    Raja-Raja Di Kerajaan Demak
Raden Patah adalah pendiri kerajaan Demak, Ia adalah putra Prabu Brawijaya Kertabhumi, Raja majapahit, dengan selirnya dari kerajaan cina. Ia menghabiskan Masa kecilnya di Palembang, dan kembali ke Majapahit ketika dewasa dan telah memeluk islam. Ketika dewasa, Ia belajar agama dengan Sunan Ampel. Setelah itu Ia diutus sebagai Patih oleh ayahnya dan berkuasa di Demak. Tak lama berselang, Ia kemudian melepaskan diri dari Majapahit. Sebagai Raja di pesisir, Ia memperluas kerajaannya dengan menguasai kota di pantai Utara seperti Cirebon. [7]
Pada sekitar tahun 1507, Raden Patah digantikan oleh putranya, Pati Unus. Yang dikenal juga dengan Pangeran Sabrang Lor. Ketika naik tahta, umurnya masih 17 tahun. Sehingga Ia mempunyai ambisi yang besar untuk menjadi raja yang berkuasa. Hal ini terbukti saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 dibawah Alfonso d’Albuquerque. Ia langsung membangun armada laut di pelabuhan-pelabuhan pantai utara jawa, dan juga meminta bantuan Palembang,  untuk melawan Portugis yang bertujuan merebut Malaka.[8]
Penyerangan ke  Malaka ini akhirnya terlaksana pada sekitar tahun 1512-1513. Walaupun diceritakan bahwa armada angkatan laut gabungan dari pantai utara Jawa Tengah dan Palembang ini menang jumlah, namun serangan ini gagal dan armada tersebut dihancurkan. Sehingga yang kembali hanya sebagian kecil saja. Menurut Tome Pires, ada sebuah kapal perang dan berlapis baja sengaja didamparkan di pantai Jepara oleh PatiUnus, untuk mengenang penyerangan tersebut. Sebagai kenang-kenangan akan perang yang telah Ia lancarkan terhadap bangsa yang paling gagah berani di dunia.[9]
Pada masa Pemerintahan Pati Unus pula, Kerajaan Majapahit yang berada  dibawah Pemerintahan Girindhawardhana dari Kedir atau disebut juga Dayo, dapat dikalahkan. Serangan ini terjadi sekitar tahun 1519, pasukan dari Demak berhasil mengalahkan pasukan Majapahit yang kala itu sudah melemah. Dan setelah dikalahkan, pusaka-pusaka dari kerajaan Majapahit dipindahkan ke Demak. Sehingga secara tidak langsung berpindahlah kedaulatan Kerajaan Hindu yang terkenal ini ke Kerajaan Demak.[10]
Setelah Pati Unus Wafat, terjadi perebutan kekuasaan karena Pati Unus tidak memiliki keturunan, yang kemudian memunculkan nama Sultan Trenggana sebagai Sultan Demak Ketiga. Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana inilah, Kerajaan Demak mencapai masa kejayaan berkat keberhasilan ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan. Ia melakukan ekspedisi ke arah barat pada tahun 1522-1527, yang membawa Sunda Kelapa di bawah kekuasaannya. Perluasan kekuasaan ini lalu berlajut ke arah timur. Namun, akhirnya harus terhenti karena ketika hendak menyerang blambangan pada sekitar tahun 1546, Sultan Trenggana mengehembuskan nafas terakhirnya.[11]
Dengan wafatnya Sultan Trenggana, maka anaknya  yaitu Sunan Prawata naik tahta sebagai Sultan di Kerajaan Demak. Namun masa pemerintahannya sangatlah singkat, yaitu hanya kurang lebih 9 tahun saja, karena Ia dan keluarganya kemudian dibunuh oleh anak dari Pangeran Sekar yang dibunuh oleh suruhan Sunan Prawata, yaitu Arya Penangsang, bupati Jipang. Yang kemudian Arya penangsang ini berperang dengan Hadiwijaya dari Pajang dan pada akhirnya menjadi akhir dari Kesultanan Demak [12]

D.    Masa Kejayaan Kerajaan Demak
Kerajaan Demak, mencapai masa kejayaanya pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, sekitar tahun 1521-1546. Disebut masa kejayaan, dikarenakan wilayah kekuasaannya kala itu meliputi hampir seluruh Pulau Jawa, termasuk kota-kota pelabuhan penting di pantai utara Jawa. Semua itu bisa dicapai setelah Sultan Trenggana melakukan ekspedisi-ekspedisi untuk menaklukan pantai barat Jawa dan bekas daerah kekuasaan Majapahit. Ekspedisi ini selain berlatar belakang ekonomi, juga berlatar belakang agama, yaitu menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa. [13]
Pada pertengahan abad ke-16, dengan bantuan Sunan Gunung Jati, Daerah seperti Cirebon sudah berhasil dikuasai sepenuhnya. Begitu pula dengan pelabuhan Banten, yang menjadi salah satu bandar utama kerajaan Padjajaran. Dengan direbutnya dua bandar tersebut, tersisalah satu bandar terakhir kerajaan Padjajaran. yaitu pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan yang menjadi pintu keluar masuk perdagangan antar bangsa kerajaan tersebut dapat direbut sebelum Portugis mendirikan benteng disana, walaupun mereka telah mengadakan perjanjian kerja sama pada sekitar agustus 1522. Pada 22 Juni 1527 Demak berhasil menguasai pelabuhan Sunda Kelapa hingga kemudian dinamakan Jaya Karta.[14]
Selanjutnya, pasukan ekspedisi Sultan Trenggono bergerak ke daerah-daerah bekas kekuasaan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Daerah-Daerah ini sudah melepaskan diri dari Majapahit dan berkembang menjadi kerajaan sendiri. Pada akhirnya daerah seperti Tuban, Madiun, Surabaya dan Pasuruhan berturut-turut telah dikuasai pula.[15]
Sultan Trenggana juga meluaskan pengaruhnya ke luar Pulau Jawa. Pengaruhnya mencakup Pulau Sumatera seperti palembang, dan wilayah selatan Pulau Kalimantan. Bahkan nama Demak terkenal sampai pulau Sulawesi, Maluku dan Sumbawa. Hal ini bisa tercapai dikarenakan ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh Sultan Trenggana boleh dikatakan berhasil dan semangat jihad  yang digelorakan begitu besar. [16]

E.     Penyebaran Islam Di Kerajaan Demak
Perkembangan agama Islam di Kerajaan Demak pada abad 15-16 ini begitu pesat. Kerajaan Demak menjadi pusat penyebaran agama Islam pada masa tersebut. Dengan Masjid Agung Demak sebagai pusatnya, Islam menyebar ke seluruh pelosok pulau Jawa. Banyak ulama atau santri yang mengunjungi tempat tersebut dalam rangka mencari ilmu dan belajar berdakwah. Islam kemudian mekar dan bertebaran begitu indahnya di bumi Pulau Jawa. Semua hal ini tidak terlepas dari peranan rajanya yang  telah memeluk agama Islam, penaklukan-penaklukan yang dilakukan, dakwah para Wali atau Sunan, juga pembangunan masjid-masjid.[17]
 Sebagai Raja pertama yang telah masuk Islam, Raden Patah melakukan perluasan kekuasaan dan pengaruh ke seluruh pesisir Jawa, sehingga rakyat yang ada di bawah kekuasaannya turut memeluk agama Islam. Perluasan ini kemudian dilanjutkan dengan ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh Sultan Trenggana sehingga hampir semua daerah di pesisir Pulau Jawa telah memeluk agama Islam. Peran para Wali juga sangat penting dalam penyebaran Islam ini, terutama Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Kudus.[18]
Simbol keislaman yang paling penting di Demak adalah Masjid Demak. Hingga abad ke-19, mesjid Agung Demak menjadi pusat kegiatan bagi umat islam masa lalu di Jawa Tengah. Banyak legenda yang menceritakan bagaimana proses Masjid ini dibangun, dan berbagai cerita mistik lainnya. Masjid ini konon dibangun pada masa kekuasaan Raden Patah oleh para Wali Songo. Masjid ini sampai sekarang masih berdiri kokoh di pusat kota Demak, walaupun telah mengalami pemugaran berkali-kali, bentuk aslinya tetap dijaga agar tidak mengubah nilai keagungan masjid tersebut. [19]

F.     Ulama-ulama Penyebar Agama Islam Di Kerajaan Demak
Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa sekitar abad ke-16, jelas bahwa peranan para Wali tidak dapat dipisahkan. Banyak sumber babad yang menceritakan berkumpulnya para Wali di Masjid Demak, masjid yang mereka dirikan bersama, untuk bermusyawarah dan juga bertukar pikiran. Sunan Ampel dan Sunan Kudus adalah beberapa contoh para ulama penyebar Agama Islam kala itu. [20]
Selain para wali, penyebar islam di kerajaan Demak adalah para imam masjid Agung Demak. Sebagaimana  dikisahkan dalam suatu bagian di dalam Hikayat Hassanuddin, imam masjid Demak tersebut, ada lima. Para imam ini, yang disebut juga penghulu, yang dalam bahasa Melayu artinya kepala. Kekuasaan para imam ini, bukan hanya dalam memimpin ibadah saja, tetapi juga berperan di kehidupan masyarakatnya.[21]
Imam pertama masjid Demak konon ialah Pangeran Bonang, yang kelak disebut Sunan Bonang. Beliau juga adalah putra dari Pangeran Rahmat, yang sering disebut Sunan Sunan Ampel. Beliau meninggal di Tuban setelah berdakwah ke beberapa daerah. Imam kedua, ialah Makdum Sampang, suami dari cucu Nyai Gede Pancuran, Putri dari Sunan Ampel. Setelah wafat, konon ia dimakamkan di sdebelah barat masjid Demak.[22]
Imam ketiga masjid Demak adalah putra dari Makdum Sampang, yaitu kiai Pambayun, yang hanya beberapa waktu menjadi imam Masjid Demak, karena ia kemudian pindah ke Jepara. Imam keempat, ialah anak dari Nyai Pambarep, ipar perempuan Makdum Sampang, yang mendapat gelar Penghulu Rahmatullah. Imam kelima ialah orang yang mendapat julukan Pangeran Kudus, sesuai dengan tempat tinggalnya kemudian. Orang yang terakhir disebut memang memiliki pengaruh yang besar dalam politik di dalam kerajaan Demak.[23]

G.    Keruntuhan Kerajaan Demak
Sepeninggal Sultan Trenggana yang tewas dalam pertempuran di Panarukan, terjadi kericuhan di kalangan istana tentang siapa penggantinya. Hingga kemudian muncul nama Sunan Prawata yang merupakan anak dari Sultan Trenggono. Namun, di saat yang sama, muncul Arya Penangsang, seorang bupati Jipang dan Putra dari Pangeran Sekar Seda Lepen yang dibunuh oleh suruhan Sunan Prawata. Arya penangsang merasa berhak atas takhta kerajaan Demak dan berencana  menghabisi seluruh keturunan Sultan Trenggana.[24]
Usahanya untuk membunuh Keluarga Sunan Prawata berhasil. Kemudian Arya Penangsang melanjutkan rencana pembunuhan  ke keturunan Sultan Trenggana. Usaha itu hampir berhasil, namun ia kesulitan berhadapan dengan Pangeran Hadiri, yang merupakan bupati Jipang. Hal ini kemudian berkembang menjadi peperangan antara Jipang dan Pajang, yang akhirnya dimenangi oleh Pangeran Hadiri dengan terbunuhnya Arya Panangsang pada tahun 1558 dan memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang. Pemindahan ini yang kemudian menandakan akhir dari Kerajaan Demak, kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa. [25]


H.    Peninggalan Kerajaan Demak
Masjid Agung Demak, terletak di pusat kota Demak, tepatnya sebelah barat alun-alun kota.  Menurut berbagai cerita jawa, masjid ini dibangun oleh para Wali, dalam jangka waktu satu tahun dan selesai pada 1506 M. masjid ini ditopang oleh 4 tiang besar, atau disebut juga Saka Guru, 6 tiang penyangga dan 8 tiang serambi. Pada awal berdirinya, masjid ini belum mempunyai serambi seperti dewasa ini.  Fungsi masjid Demak, selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga berperan sebagai pusat penyebaran agama islam di Jawa Tengah. Masjid ini mempunyai ciri khas, yaitu atapnya yang tumpang tiga, yang dikatakan melambangkan iman, islam, dan ihsan. [26]
Pada masjid ini, terdapat beberapa peninggalan kerajaan Demak, diantaranya adalah Soko Guru yang konon dibuat oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Ngampel, dan Sunan Gunung Jati. Pada Soko Guru yang dibuat oleh Sunan Kalijaga, tiang ini disusun dari potongan potongan kayu yang sepertiganya terbuat dari potongan-potongan kayu, dan sisanya merupakan kayu utuh. Bagian bagian kayu tersebut kin telah diganti dan yang asli telah disimpan di museum Masjid.[27]
Selain Soko Guru, terdapat juga peninggalan lainnya yang masih terjaga hingga kini, yaitu, mihrab dan mimbar. Bila kita melihat ke dinding mihrab masjid, kita akan menemukan Candrasengkala bebentuk bulus dari keramik. Lalu di sekitar dinding barat masjid tersebut, ada tiga buah hiasan keramik berwarna biru putih dan dua buah keramik cina. Pada dinding diatas lengkung pengimaman ini juga terdapat hiasan dari kayu yang diukir yang melambangkan matahari.[28]





Daftar Pustaka
Hayati, Chusnul. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara., Jakarta: Depdiknas.
 Rahardjo, supratikno. 1994. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang. Jakarta: Depdikbud.
de Graff, H. J. dan Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti.
Hasan. 1974. Girindrawardhana Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Jakarta: Depdikbud.
Rahardjo, supratikno. 1994. Sunda Kelapa Sebagai bandar di Jalur Sutra, Jakarta: Depdikbud.    



[1] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000. hlm. 3.
[2] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 37.
[3] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 38.
[4] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 39.
[5] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 39.
[6] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000.  hlm. 4.
[7] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000.  hlm. 5.
[8] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000.  hlm. 7.
[9] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 49.
[10] Hasan. Girindrawardhana Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Jakarta: Depdikbud. 1974. hlm. 91-97.
[11] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000. hlm. 10-12.
[12] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000. hlm. 15.
[13] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 63.
[14] Supratikno Rahardjo. Sunda Kelapa Sebagai bandar di Jalur Sutra, Jakarta: 1994  Depdikbud. hlm. 47-51.
[15] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 65.
[16] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000. hlm. 87.
[17] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 52
[18] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000.  hlm. 17-20.
[19] S. Rahardjo. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang. Jakarta: Depdikbud. 1994. hlm. 42.
[20] S. Rahardjo. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang. Jakarta: Depdikbud. 1994. hlm. 18.
[21] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 52.
[22] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 53.
[23] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 54-55.
[24] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000.  hlm. 86.
[25] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000.  hlm. 87-89.
[26] S. Rahardjo. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang. Jakarta: Depdikbud. 1994.  hlm. 40-48.
[27] S. Rahardjo. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang. Jakarta: Depdikbud. 1994.  hlm. 40-48.
[28] S. Rahardjo. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang. Jakarta: Depdikbud. 1994.  hlm. 40-48.

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts