Kerajaan Demak
A.
Letak Geografis
Kerajaan Demak
Kerajaan Demak terletak di pantai utara Pulau Jawa,
sebelah timur dari Cirebon, dan sebelah barat dari Juwana. Sebelum
datangnya Raden Patah, daerah ini merupakan sebuah desa yang banyak ditumbuhi oleh
Gelagah Wangi, sehingga disebut desa Glagah Wangi. Desa yang kemudian akan menjadi
pusat kerajaan ini, terletak di wilayah kadipaten Jepara, sebelah selatan Pulau
Muria, atau lebih tepatnya lagi tepi selat yang memisahkan Pulau Muria dan daratan
Jawa Tengah.[1]
Pusat kerajaan Demak yg terletak di tepi selat yang memisahkan Demak dengan Pulau
Muria ini, begitu menguntungkan untuk perdagangan. Karena, pada sekitar abad 16,
selat ini cukup luas, sehingga cukup leluasa untuk dilewati sebagai jalan
pintas oleh kapal-kapal pedagang dari Semarang yang kemudian melewati Jepara,
Demak, Pati lalu berlayar ke Rembang. Namun, akibat pengendapan, sejak abad
ke-17 selat ini hanya bisa dilewati saat musim hujan oleh sampan kecil saja. [2]
Kerajaan Demak terletak pula di pinggir Sungai Tuntang yang
berhulu di pedalaman Jawa Tengah. Sungai ini selain menjadi pendukung pengairan untuk kegiatan pertanian, juga
menjadi penghubung antara Demak dengan daerah-daerah pedalaman, seperti
Pengging dan Pajang. Sungai tersebut sampai dengan abad ke-18 masih bisa
dilalui dengan perahu dagang kecil. Sehingga menjadi jalur perdagangan dan
distribusi pertanian yang baik ke pedalaman. [3]
B.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Demak
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau
Jawa yang didirikan sekitar abad ke 16 oleh Raden Patah. Ia merupakan putra dari Prabu Brawijaya
Kertabumi, Raja Majapahit dengan salah satu putri dari Cina. Pada mulanya,
wilayah Demak sendiri adalah sebuah desa yang dikelilingi rawa-rawa, dan dilindungi oleh tanaman Gelagah Wangi.
Desa ini termasuk di dalam wilayah Majapahit, tepatnya Kadipaten Jepara. Karena
ketika itu Jepara telah menjadi bandar yang ramai.[4]
Hingga kemudian datang Raden Patah yang ketika itu sedang
dalam perantauan untuk mencari desa yang terlindungi oleh gelagah wangi atas
perintah gurunya, yaitu Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah seorang
penyebar agama islam yang berasal dari daerah Surabaya. Dengan saran gurunya
pula, Raden Patah kemudian membangun desa Gelagah wangi tersebut. Desa itu
kemudian mulai berkembang menjadi menjadi bandar yang ramai. Banyak pedagang
dari berbagai daerah dari luar dan dalam pulau Jawa berdatangan.[5]
Bandar itu
kemudian berkembang menjadi sebuah kota bernama Demak, sesuai dengan kondisi
lingkungan kota tersebut yang masih dipenuhi rawa-rawa. Ketika di kota Demak
dimulai pembangunan Masjid agung Demak, muncul ide dari Raden Patah untuk
melepaskan diri dari kerajaan Majapahit, karena sulit untuk menyebarkan agama
Islam apabila masih berada dibawah kerajaan Hindu tersebut. Dengan tanpa
kekerasan, pada sekitar pertengahan abad 15, Demak resmi melepaskan diri dari
kerajaan Majapahit, dan diangkatlah Raden Patah sebagai raja pertama. [6]
C. Raja-Raja Di Kerajaan Demak
Raden Patah adalah pendiri kerajaan Demak, Ia adalah
putra Prabu Brawijaya Kertabhumi, Raja majapahit, dengan selirnya dari kerajaan cina. Ia menghabiskan Masa
kecilnya di Palembang, dan kembali ke Majapahit ketika dewasa dan telah memeluk
islam. Ketika dewasa, Ia belajar agama dengan Sunan Ampel. Setelah itu Ia
diutus sebagai Patih oleh ayahnya dan berkuasa di
Demak. Tak lama berselang, Ia kemudian melepaskan diri dari
Majapahit. Sebagai Raja di pesisir, Ia memperluas kerajaannya dengan menguasai
kota di pantai Utara seperti Cirebon. [7]
Pada sekitar tahun 1507, Raden Patah digantikan oleh putranya,
Pati Unus. Yang dikenal juga
dengan Pangeran Sabrang Lor. Ketika naik tahta, umurnya masih 17 tahun. Sehingga Ia mempunyai ambisi yang besar untuk menjadi raja
yang berkuasa. Hal ini terbukti saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun
1511 dibawah Alfonso d’Albuquerque. Ia langsung membangun armada laut di
pelabuhan-pelabuhan pantai utara jawa, dan juga meminta bantuan
Palembang, untuk melawan Portugis yang bertujuan merebut Malaka.[8]
Penyerangan ke Malaka
ini akhirnya terlaksana pada sekitar tahun 1512-1513. Walaupun diceritakan bahwa armada angkatan laut gabungan dari pantai utara Jawa Tengah dan Palembang
ini menang jumlah, namun serangan ini gagal dan armada
tersebut dihancurkan. Sehingga yang
kembali hanya sebagian kecil saja. Menurut Tome Pires, ada sebuah kapal perang dan berlapis baja sengaja didamparkan di
pantai Jepara oleh PatiUnus, untuk mengenang penyerangan tersebut. Sebagai kenang-kenangan akan perang yang
telah Ia lancarkan terhadap bangsa yang paling gagah berani di
dunia.[9]
Pada
masa Pemerintahan Pati Unus pula, Kerajaan
Majapahit yang berada dibawah
Pemerintahan Girindhawardhana dari Kedir atau disebut juga Dayo, dapat dikalahkan. Serangan ini terjadi sekitar tahun 1519, pasukan dari Demak berhasil mengalahkan
pasukan Majapahit yang kala itu sudah melemah. Dan setelah dikalahkan,
pusaka-pusaka dari kerajaan Majapahit dipindahkan ke Demak. Sehingga secara tidak langsung berpindahlah
kedaulatan Kerajaan Hindu yang terkenal ini ke Kerajaan Demak.[10]
Setelah Pati Unus Wafat, terjadi perebutan kekuasaan
karena Pati Unus tidak memiliki keturunan, yang kemudian memunculkan nama
Sultan Trenggana sebagai Sultan Demak Ketiga. Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana inilah, Kerajaan
Demak mencapai masa kejayaan berkat keberhasilan
ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan. Ia melakukan ekspedisi ke arah barat pada tahun
1522-1527,
yang membawa Sunda Kelapa di bawah kekuasaannya. Perluasan kekuasaan ini lalu berlajut ke arah timur. Namun,
akhirnya harus terhenti karena ketika hendak menyerang blambangan pada sekitar
tahun 1546, Sultan Trenggana mengehembuskan nafas terakhirnya.[11]
Dengan
wafatnya Sultan Trenggana, maka anaknya
yaitu Sunan Prawata naik tahta sebagai Sultan di Kerajaan Demak. Namun
masa pemerintahannya sangatlah singkat, yaitu hanya kurang lebih 9 tahun saja,
karena Ia dan keluarganya kemudian dibunuh oleh anak dari Pangeran Sekar yang
dibunuh oleh suruhan Sunan Prawata, yaitu Arya Penangsang, bupati Jipang. Yang
kemudian Arya penangsang ini berperang dengan Hadiwijaya dari Pajang dan pada akhirnya
menjadi akhir dari Kesultanan Demak [12]
D.
Masa
Kejayaan Kerajaan Demak
Kerajaan Demak,
mencapai masa kejayaanya pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, sekitar tahun
1521-1546. Disebut masa kejayaan, dikarenakan wilayah kekuasaannya kala itu meliputi hampir
seluruh Pulau Jawa, termasuk kota-kota pelabuhan penting di pantai utara Jawa. Semua itu bisa
dicapai setelah Sultan Trenggana melakukan ekspedisi-ekspedisi untuk menaklukan
pantai barat Jawa dan bekas daerah kekuasaan Majapahit. Ekspedisi ini selain
berlatar belakang ekonomi, juga berlatar belakang agama, yaitu menyebarkan
agama Islam ke seluruh Jawa. [13]
Pada pertengahan abad ke-16, dengan bantuan Sunan Gunung Jati, Daerah seperti
Cirebon sudah berhasil dikuasai sepenuhnya. Begitu pula dengan pelabuhan
Banten, yang menjadi salah satu bandar utama kerajaan Padjajaran. Dengan
direbutnya dua bandar tersebut, tersisalah satu bandar terakhir kerajaan
Padjajaran. yaitu pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan yang menjadi pintu keluar
masuk perdagangan antar bangsa kerajaan tersebut dapat direbut sebelum Portugis
mendirikan benteng disana, walaupun mereka telah mengadakan perjanjian kerja
sama pada sekitar agustus 1522. Pada 22 Juni 1527 Demak berhasil menguasai
pelabuhan Sunda Kelapa hingga kemudian dinamakan Jaya Karta.[14]
Selanjutnya, pasukan ekspedisi Sultan Trenggono bergerak ke daerah-daerah
bekas kekuasaan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Daerah-Daerah ini sudah
melepaskan diri dari Majapahit dan berkembang menjadi kerajaan sendiri. Pada
akhirnya daerah seperti Tuban, Madiun, Surabaya dan Pasuruhan berturut-turut telah dikuasai pula.[15]
Sultan Trenggana juga meluaskan pengaruhnya ke luar Pulau Jawa. Pengaruhnya
mencakup Pulau Sumatera seperti palembang, dan wilayah selatan Pulau Kalimantan. Bahkan nama Demak terkenal sampai pulau
Sulawesi, Maluku dan Sumbawa. Hal ini bisa tercapai dikarenakan
ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh Sultan Trenggana boleh dikatakan
berhasil dan semangat jihad yang
digelorakan begitu besar. [16]
E.
Penyebaran
Islam Di Kerajaan Demak
Perkembangan
agama Islam di Kerajaan Demak pada abad 15-16 ini begitu pesat. Kerajaan Demak menjadi pusat penyebaran agama
Islam pada masa tersebut. Dengan Masjid Agung Demak sebagai pusatnya, Islam
menyebar ke seluruh pelosok pulau Jawa. Banyak ulama atau santri yang
mengunjungi tempat tersebut dalam rangka mencari ilmu dan belajar berdakwah.
Islam kemudian mekar dan bertebaran begitu indahnya di bumi Pulau Jawa. Semua
hal ini tidak terlepas dari peranan rajanya yang telah memeluk agama Islam,
penaklukan-penaklukan yang dilakukan, dakwah para Wali atau Sunan, juga pembangunan
masjid-masjid.[17]
Sebagai Raja pertama
yang telah masuk Islam, Raden Patah melakukan perluasan kekuasaan dan pengaruh ke
seluruh pesisir Jawa, sehingga rakyat yang ada di bawah kekuasaannya turut
memeluk agama Islam. Perluasan ini kemudian dilanjutkan dengan
ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh Sultan Trenggana sehingga hampir semua
daerah di pesisir Pulau Jawa telah memeluk agama Islam. Peran para Wali juga sangat penting dalam penyebaran Islam ini, terutama
Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Kudus.[18]
Simbol keislaman yang paling penting di Demak adalah
Masjid Demak. Hingga abad ke-19, mesjid Agung Demak menjadi pusat kegiatan bagi umat islam masa lalu di Jawa Tengah. Banyak legenda yang
menceritakan bagaimana proses Masjid ini dibangun, dan berbagai cerita mistik lainnya. Masjid ini konon dibangun pada
masa kekuasaan Raden Patah oleh para Wali Songo.
Masjid ini sampai sekarang masih berdiri kokoh di pusat kota Demak, walaupun
telah mengalami pemugaran berkali-kali, bentuk aslinya tetap dijaga agar tidak
mengubah nilai keagungan masjid tersebut. [19]
F.
Ulama-ulama
Penyebar Agama Islam Di Kerajaan Demak
Dalam
penyebaran agama Islam di Pulau Jawa sekitar abad ke-16, jelas bahwa peranan
para Wali tidak dapat dipisahkan. Banyak sumber babad yang menceritakan
berkumpulnya para Wali di Masjid Demak, masjid yang mereka dirikan bersama,
untuk bermusyawarah dan juga bertukar pikiran. Sunan Ampel dan Sunan Kudus
adalah beberapa contoh para ulama penyebar Agama Islam kala itu. [20]
Selain para wali, penyebar islam di kerajaan Demak adalah
para imam masjid Agung Demak. Sebagaimana
dikisahkan dalam suatu bagian di dalam Hikayat Hassanuddin, imam masjid Demak tersebut, ada lima. Para
imam ini, yang disebut juga penghulu,
yang dalam bahasa Melayu artinya kepala. Kekuasaan
para imam ini, bukan hanya dalam memimpin ibadah saja, tetapi juga berperan di
kehidupan masyarakatnya.[21]
Imam pertama masjid Demak konon ialah Pangeran Bonang,
yang kelak disebut Sunan Bonang. Beliau juga adalah putra dari Pangeran Rahmat,
yang sering disebut Sunan Sunan Ampel. Beliau meninggal di Tuban setelah
berdakwah ke beberapa daerah. Imam kedua, ialah Makdum Sampang, suami dari cucu
Nyai Gede Pancuran, Putri dari Sunan Ampel. Setelah wafat, konon ia dimakamkan
di sdebelah barat masjid Demak.[22]
Imam ketiga masjid Demak adalah putra dari Makdum
Sampang, yaitu kiai Pambayun, yang hanya beberapa waktu menjadi imam Masjid
Demak, karena ia kemudian pindah ke Jepara. Imam keempat, ialah anak dari Nyai
Pambarep, ipar perempuan Makdum Sampang, yang mendapat gelar Penghulu
Rahmatullah. Imam kelima ialah orang yang mendapat julukan Pangeran Kudus,
sesuai dengan tempat tinggalnya kemudian. Orang yang terakhir disebut memang
memiliki pengaruh yang besar dalam politik di dalam kerajaan Demak.[23]
G.
Keruntuhan
Kerajaan Demak
Sepeninggal
Sultan Trenggana yang tewas dalam pertempuran di Panarukan, terjadi kericuhan di kalangan
istana tentang siapa penggantinya. Hingga kemudian muncul nama Sunan Prawata
yang merupakan anak dari Sultan Trenggono. Namun, di saat yang sama, muncul
Arya Penangsang, seorang bupati Jipang dan Putra dari Pangeran Sekar Seda Lepen
yang dibunuh oleh suruhan Sunan Prawata. Arya penangsang merasa berhak atas takhta
kerajaan Demak dan berencana menghabisi
seluruh keturunan Sultan Trenggana.[24]
Usahanya untuk membunuh Keluarga Sunan Prawata berhasil.
Kemudian Arya Penangsang melanjutkan rencana pembunuhan ke keturunan Sultan Trenggana. Usaha itu
hampir berhasil, namun ia kesulitan berhadapan dengan Pangeran Hadiri, yang
merupakan bupati Jipang. Hal ini kemudian berkembang menjadi peperangan antara
Jipang dan Pajang, yang akhirnya dimenangi oleh Pangeran Hadiri dengan
terbunuhnya Arya Panangsang pada tahun 1558 dan memindahkan pusat kerajaan dari
Demak ke Pajang. Pemindahan ini
yang kemudian menandakan akhir dari Kerajaan Demak, kerajaan Islam Pertama di
Pulau Jawa. [25]
H.
Peninggalan
Kerajaan Demak
Masjid Agung Demak, terletak di pusat kota Demak, tepatnya sebelah barat alun-alun kota. Menurut berbagai cerita
jawa, masjid ini dibangun oleh para Wali, dalam jangka waktu satu tahun dan
selesai pada 1506 M. masjid ini ditopang oleh 4 tiang besar, atau disebut juga Saka Guru, 6
tiang penyangga dan 8 tiang serambi. Pada awal berdirinya, masjid ini belum
mempunyai serambi seperti dewasa ini. Fungsi
masjid Demak, selain sebagai tempat ibadah,
masjid ini juga berperan sebagai
pusat penyebaran agama islam di Jawa Tengah. Masjid ini mempunyai ciri khas,
yaitu atapnya yang tumpang tiga, yang dikatakan melambangkan iman, islam, dan
ihsan. [26]
Pada masjid ini, terdapat beberapa peninggalan kerajaan
Demak, diantaranya adalah Soko Guru yang konon dibuat oleh Sunan Kalijaga,
Sunan Bonang, Sunan Ngampel, dan Sunan Gunung Jati. Pada Soko Guru yang dibuat
oleh Sunan Kalijaga, tiang ini disusun dari potongan potongan kayu yang
sepertiganya terbuat dari potongan-potongan kayu, dan sisanya merupakan kayu
utuh. Bagian bagian kayu tersebut kin telah diganti dan yang asli telah
disimpan di museum Masjid.[27]
Selain Soko Guru, terdapat juga peninggalan lainnya yang
masih terjaga hingga kini, yaitu, mihrab dan mimbar. Bila kita melihat ke
dinding mihrab masjid, kita akan menemukan Candrasengkala bebentuk bulus dari
keramik. Lalu di sekitar dinding barat masjid tersebut, ada tiga buah hiasan
keramik berwarna biru putih dan dua buah keramik cina. Pada dinding diatas
lengkung pengimaman ini juga terdapat hiasan dari kayu yang diukir yang
melambangkan matahari.[28]
Daftar Pustaka
Hayati, Chusnul. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat
di Jepara., Jakarta: Depdiknas.
Rahardjo, supratikno.
1994. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang. Jakarta: Depdikbud.
de Graff, H. J. dan Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama
di Jawa. Jakarta: Grafiti.
Hasan. 1974. Girindrawardhana Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Jakarta:
Depdikbud.
Rahardjo, supratikno. 1994. Sunda Kelapa
Sebagai bandar di Jalur Sutra, Jakarta: Depdikbud.
[2] H.
J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti.
1985. hlm. 37.
[3] H.
J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti.
1985. hlm. 38.
[9] H.
J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti.
1985. hlm. 49.
[10] Hasan.
Girindrawardhana Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Jakarta: Depdikbud.
1974. hlm. 91-97.
[14] Supratikno Rahardjo. Sunda Kelapa Sebagai
bandar di Jalur Sutra, Jakarta: 1994 Depdikbud. hlm. 47-51.