September 30, 2015

Kehidupan Islam di Komoro



Kehidupan Islam di Komoro
Annur Laura



Abstrak
Jurnal ini membahas mengenai kehidupan masyarakat Islam yang terdapat di Komoro.Komoro merupakan salah satu negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab.Komoro merupakan negara di wilayah Afrika yang menggunakan system pemerintahan Islam.Penelitian ini berisi analisis terhadap Komoro yang didominasi masyarakat Islam.Metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kajian pustaka.Komoro memiliki corak yang berbeda dengan negara-negara Afrika.
Kata Kunci : Komoro, Islam, budaya
Pendahuluan
Komoro adalah sebuah negara kepulauan di Samudra Hindia. Nama Komoro diambil dari kosakata bahasa Arab yakni qamar (قمر) yang bermakna "bulan".  Komoro adalah negara Arab terkecil kedua setelah Bahrain.Komoro adalah negara ketiga terkecil dari seluruh wilayah Afrika.Komoro terletak di penghujung utara Selat Mozambik, di antara Madagaskar and Mozambik. Secara resmi negara Komoro terdiri dari empat pulau di kepulauan gunung berapi Komoro, yaitu: Maori, Komoro Besar, Anjouan dan Moheli, dan juga banyak pulau kecil. Ibu kotanya ialah Moroni yang terletak di pulau Komoro Besar.
Komoro memiliki luas wilayah 320 km2 dari batas laut teritorial. Interior pulau bervariasi dari pegunungan yang curam  kebukit-bukit rendah. Iklim umumnya tropis dan ringan, dan terdapat dua musim utama  yaitu  panas dan dingin. Suhu rata-rata mencapai 29-30 ° C (84-86 ° F) pada bulan Maret, bulan terpanas di musim hujan (disebut kashkazi, Desember sampai April), dan rendah rata-rata 19 ° C (66 ° F) di dingin, musim kemarau (kusi, Mei-November).

Ngazidja adalah yang terbesar dari kepulauan Komoro, kira-kira sama di daerah ke pulau-pulau lainnya digabungkan..Pulau ini memiliki dua gunung berapi, Karthala (aktif) dan La Grille (dormant).Kurangnya pelabuhan yang baik adalah karakteristik khas dari daerah tersebut.Mwali, dengan ibukota di Fomboni, adalah yang terkecil dari empat pulau utama. Nzwani, ibu kota Mutsamudu, memiliki bentuk segitiga yang khas yang disebabkan oleh tiga rantai pegunungan, Sima, Nioumakele, dan Jimilime, berasal dari puncak pusat, Ntringi
 Negara yang luas wilayahnya lebih kecil dari pulau Alor ini melepaskan diri dari penjajahan Perancis tahun 1975 dan karena perbedaan agama maka sebagian yang beragama Kristen di pulau Maori memilih tetap bersama Perancis.
Pulau Maori atau Mayotte adalah satu-satunya pulau di kepulauan Komoro yang memilih untuk tetap menjadi jajahan Perancis daripada bergabung dengan Komoro.Namun Komoro masih tetap mengklaim Maori sebagai bagian dari negara tersebut. PBB telah menetapkan bahwa Maori merupakan bagian dari negara Komoro, namun Perancis telah memveto resolusi Majelis Keselamatan PBB yang akan meneguhkan kedaulatan Komoro terhadap pulau itu. Di samping itu juga, pada 29 Maret 2009 referendum menyatakan bahwa Mayotte menjadi sebuah jajahan luar dari Perancis dan pada tahun 2011 disahkan oleh kebanyakan penduduk Mayotte, namun Presiden Komoro sendiri menolak hasil keputusan dari referendum ini.
Penduduk pertama yang menduduki Kepulauan Komoro diperkirakan adalah penduduk, nelayan dan pedagang dari Afrika dan Austronesia, yang melakukan perjalanan dengan menggunakan perahu.Mereka datang di Komoro sekitar abad keenam Masehi, pencatatan sejarah yang paling awal berupa jejak arkeologi yang diketahui ditemukan di Anjouan.Sehingga Komoro ditempati oleh penduduk dari berbagai wilayah di pantai Afrika, Teluk Persia, Indonesia, dan Madagaskar.
Pada abad ke-10, para pedagang Arab yang pertama telah membawa pengaruh Islam ke pulau-pulau di Komoro.Salah satu fakta yang paling kuat adalah jual beli para budak-budak dari Afrika, dan meningkatkan penyebaran dan dominasi budaya Arab di penjuru dunia.Pemukim Arab tinggal bersama penduduk yang berasal dari Indonesia-Malaysia, serta penduduk asli yang berbahasa Bantu, Swahili dan bahasa di Afrika Timur.
Di samping jaraknya yang jauh dari pantai Afrika, Komoro terletak di sepanjang selat utama antara Afrika dan Mozambik. Kepulauan Komoro, seperti daerah pesisir lain di kawasan itu, merupakan kawasan persinggahan yang penting di jalur perdagangan pada masa awal penyebaran agama Islam, jalur ini sering dilalui oleh pedagang-pedagang Persia dan Arab. Untuk penyebaran agama Islam di Komoro, penduduk Arab membangun masjid besar.
Pada tahun 933, pengaruh berbahasa Arab Sunni Persia dari Shiraz, Iran, mendominasi pulau-pulau di Komoro.Syirazi berdagang di sepanjang pantai Afrika Timur dan Timur Tengah, mendirikan pemerintahan dan tanah jajahan di kepulauan Komoro.Selama 3 (tiga) abad selanjutnya, keempat pulau (Maori, Komoro Besar, Anjouan dan Moheli), dan juga banyak pulau kecil di Komoro dikuasai oleh bangsa Shiraz.Selama bertahun-tahun dibagi menjadi 11 kesultanan.
Pendudukan Arab di daerah semakin meningkat bersamaan ketika Zanzibar jatuh pada kekuasaan bangsa Arab Oman, dan kebudayaan masyarakat Komoro, terutama sastra, budaya dan agama juga semakin berada di bawah kekuasaan bangsa Arab menggantikan kebudayaan Swahili dan Afrika asli.
Pada tahun 1973 Komoro mengadakan sebuah kesepakatan dengan Perancis untuk kemerdekaan Komoro pada tahun 1978. Para wakil dari Mayotte abstain. Referendum dilakukan di empat pulau utama, tiga pulau sepakat untuk merdeka, sedangkan pulau Maori/Mayotte memilih untuk tetap di bawah pemerintahan Perancis.
Pada tanggal 6 Juli 1975 parlemen Komoro mengeluarkan resolusi sepihak untuk menyatakan kemerdekaan dari keempat pulau, Ahmed Abdallah memproklamasikan kemerdekaan Komoro menjadi Negara Merdeka Komoro daulat al qamar (bahasa Arab: دولةالقمر) atau État comorien dalam bahasa Perancis, dan ia menjadi presiden pertama Komoro. Ketika kemerdekaan Komoro diakui oleh PBB, Perancis menarik dukungan ekonomi untuk Komoro sehingga terjadinya kekacauan ekonomi dan politik
Komoro diterima sebagai anggota Liga Arab pada tahun 1993 M/1414 H. Selain itu, negara ini juga menjadi anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).Sebagai negara Islam, pemandangan masjid dan madrasah bukanlah hal yang aneh.Terdapat ratusan masjid dan madrasah tersebar di seluruh penjuru negeri ini. Sudah menjadi hal yang umum di Komoro bahwa anak-anak yang berusia lima tahun belajar di sekolah Al-Qur'an selama dua sampai tiga tahun. Mereka mempelajari kitab suci Al-Qur'an, dasar-dasar agama Islam, serta pelajaran bahasa Arab.Rakyat Komoro beserta para pejabat pemerintahannya selalu berusaha mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) yang dirumuskan konstitusi yang berdasarkan Islam.Dalam usaha menjaga konsistensi sebagai republik Islam, rakyat Komoro beserta pejabat pemerintahnya selalu taat menjalankan syari'at Islam secara saksama dan konsisten.Peringatan Hari Besar Islam di Komoro selalu berlangsung meriah sebagai usaha melestarikan kebudayaan Islam.Lestarinya kebudayaan Islam di Komoro juga tidak lepas dari adanya toleransi yang ditunjukkan Perancis yang menjajah Komoro. Perancis tidak melarang pelaksanaan hari besar Islam dan tidak ada niatan untuk mengusiknya sama sekali bahkan sangat menghormatinya sebagai beragamnya khazanah budaya Perancis pada era penjajahan. Pada umumnya, masyarakat Komoro beraliran Ahl al-Sunnah wal Jama'ah dengan mazhab Syafi'i.Selain itu, beberapa ajaran tarikat juga dipraktikkan di negeri itu antara lain Syadziliyyah, Qadiriyyah, dan sebagainya.Meskipun demikian, toleransi beragama berkembang dengan baik.
Di Komoro, peringatan hari besar Islam selalu diadakan dengan meriah. Beberapa peringatan besar Islam yang meriah tersebut antara lain dua hari raya, Tahun baru Hijriyah, Hari Al-Syura, Maulid Nabi SAW, Isra' Mi'raj, dan bulan suci Ramadhan. Di antara peringatan hari besar Islam yang amat menarik adalah Maulid Nabi SAW.Peringatan Maulid Nabi SAW di Komoro ditandai dengan perayaan puncak yang disiapkan oleh para ulama.
Para wanita memakai kain Chirumani dan tetua adat didampingi pemuka agama Islam melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an untuk keselamatan negara dan penduduknya.Dalam kebudayaan orang Komoro, pernikahan adalah sebuah acara yang sakral dan amat penting karena melibatkan seluruh elemen masyarakat pedesaan.Pada saat itu, keluarga mempelai saling bertukar hadiah.Akad nikahnya dilaksanakan di masjid.Seperti umumnya masyarakat matrilineal, pernikahan di Komoro lebih banyak melibatkan pihak perempuan karena wanita adalah simbol keluarga.Biasanya mereka mengenakan pakaian tradisional Komoro berwarna hitam, bwibwi.Perempuan Komoro juga sering memakai perhiasan.
Sama seperti di Indonesia dan beberapa negara muslim berkembang lainnya, orang Komoro yang sudah berhaji mendapat suatu prestise/kehormatan dalam ranah masyarakat. Mereka dianggap pandai dalam urusan agama dan sering didaulat memimpin doa di masjid. Masyarakat Komoro selalu menganggap Al-Qur'an sebagai elemen penting dalam kehidupan. Oleh karena itu, mereka menghiasi masjid, istana, dan bangunan umum dengan kaligrafi Al-Qur'an.Rumah tradisional Komoro terbuat dari lumpur yang dicampur dengan jerami padi.Rumah seperti ini mengingatkan kita pada rumah tradisional India.

Gerakan Sekte Keagamaan



Gerakan Sekte Keagamaan

Gerakan Samin
Samin Surosentiko lahir di Plosokediren, Randublatung, Blora pada tahun 1859. Raden Kohar adalah nama kecilnya. Garis bangsawan mengalir dalam darahnya dari garis ayahnya, Raden Surowijoyo yang merupakan keturunan dari Pangeran Kusumaningayu, Adipati Sumoroto, daerah Tulungagung sekarang. Samin Surosentiko dibesarkan dalam pengasuhannya ayahnya di Plosokediren. Realita masa penjajahan kolonial menyadarkan dirinya akan hak-hak bangsa pribumi yang tertindas. Terutama kebijakan Kompeni atas privatisasi hutan jati dan kewajiban membayar pajak bagi masyarakat miskin.[1]
Raden Kohar tumbuh dengan jiwa dan semangat empatis atas masyarakat sekitar. Ia melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata). Perlawanan tidak dilakukan secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap pemerintah Kolonial. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut, ia merekontruksi sebuah tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan baru yang berbeda dari kaidah-kaidah yang berlaku umum. Sebuah gerakan yang lebih bersifat sebagai pembangkangan dan perlawanan sipil terhadap pemerintah Kolonial.[2]
Gerakan sosial Raden Kohar, yang selanjutnya bernama Samin Surosentiko ~ sebuah nama yang lebih bernafaskan jiwa rakyat kebanyakan, memiliki tiga unsur gerakan Saminisme. Pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung. Kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok. Dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Sartono Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.[3]
Gerakan Samin merupakan gerakan social tradisional pedesaan yang bersifat pasif. Gerakan ini dipimpin oleh Surontiko Samin. Gerakan ini dilakukan oleh petani dan cakupan wilayahnya kecil. Gerakan ini muncul pada abad ke 19, gerakan Samin tidak melakukan tindak kekerasan seperti gerakan yang lain. gerakan Samin mengutamakan kejujuran, menghargai sesamanya dan menghargai kaum perempuan. Pemerintah Hindia Belanda dan Snouk Hurgonje berpandangan bahwa gerkan ini mesianistis  yang non-Islam. Gerakan ini tidak berbahaya dan mudah ditumpas jika pemimpinnya dibuang. Surontiko Samin akhirnya dibuang ke Sumatra.[4]
Gerakan Samin muncul karena himpitan ekonomi akibat kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Gerakan Samin menampakkan peningkatan kegiatannya dan bersifat mesianistis pada abad ke 20. Gerakan Samin tidak Homogen, hal ini terlihat di berbagai daerah yang mendapat pengaruh dari gerakan Samin. Setelah Surontiko dibuang ke Sumatra, para pemimpin lainnya meneruskan gerakan Samin dengan pandangan berbeda-beda. Hal ini terjadi karena tidak ada doktrin tertulis yang ditinggalkan Surontiko.[5]
Gerakan Sekte keagamaan
Di luar arus perkembangan mesianisme selama abad 19 dan 20, muncul lah sekte-sekte keagamaan baru, gerakan milenaristis sangat menarik bagi golongan petani pada khususnya dan lapisan bawah pada umumnya. Ciri-ciri gerakan sekte yaitu corak umum dari gerakan pemberontak, adanya unsur-unsur protes rakyat terhadap tekanan dari golongan yang berkuasa seperti gerekan2 kerusuhan di pedesaan.Gerakan milenaristis atau gerakan sekte menampilkan pemimpin-pemimpin karismatis yaitu para guru, haji atau kiai, dan memberikan tempat rakyat untuk bersatu dalam ikatan keagamaan.
Pada abad ke 19 dan ke 20 gerakan mesianisme berkembang pesat, disisi lain sekte-sekte keagamaan muncul. Gerakan ini diikuti oleh golongan petani dan masyarakat lapisan bawah. Gerakan ini pada umumnya menunjukkan corak umum dari gerakan pemberontakkan dan unsur-unsur protes rakyat terhadap golongan yang berkuasa.Gerakan sekte pada umumnya dipimpin oleh pemimpin karismatis seperti guru dan haji atau kiai yang menyatukan masyarakat dalam ikatan keagamaan. Gerakan sekte memberikan jalan pelarian bagi mereka yang pegangan hidupnya sedang mengalami masalah.
Gerakan mesianisme dan gerakan sekte (milenaristis) memiliki persamaaan dan perbedaan. Kedua tipe gerakan tersebut didukung oleh masyarakat lapisan bawah, dipimpin oleh elit agama, dan ideology milenaristis memiliki pandangan hidup dimasa sekarang daripada kehidupan akhirat.[6]
Gerakan sekte di jawa muncul adanya perubahan-perubahan social dan demorilisasi akibat dari westernisasi. Sekte merupakan ekspresi keagamaan dari perasaan ketidakmampuan suatu masyarakat dan perasan-perasaaan untuk memberontak, hasil perjuangan kelas, organisasi dari kelas bawah dan peralatan dari sifat agresif mereka. Oleh karena itu dapat di pahami bahwa milenarisme mendapat tempat di kalangan masyarakat yang tertindas karena dianggap memperjuangkan hak mereka.
Ciri-ciri umum gerakan sekte dan mesianisme terdapat dalam masalah peran pemimpin dan ajaran-ajarannya. Pemimpin dalam gerakan itu merupakan hal yang vital (penting). Selain itu, masalah ekonomi dan social dalam gerakan-gerakan sekte merupakan hall penting pula. Dalam hal ini, bahwa iklim budaya memberikan  tempat baik bagi kelahiran seorang pemimpin agama yang kemudian mampu mewujudkan  gerakan keagamaan.[7]
Tujuan gerakan sekte adalah menjawab persoalan kebendaan yang dihadapi anggota-anggotanya. Jawaban tersebut adalah kehidupan duniawi yang penuh kebahagiaan dan ketentraman. Hal tersebut dapat terwujud jika kerajaan diperintah secara adil, damai dan bebas dari golongan penguasa yang buruk. Ideology gerakan sekte dekat dengan ideology gerakan misianisme yaitu berorientasi dengan kehidupan sekarang. Gerakan-gerakan sekte dijawa terdapat petunjuk bahwa gerakan yang tidak dilembagakan cenderung mencari tujuan yang bersifat kebendaan dan keduniawian. Sebaliknya gerakan yang terlembaga cenderung mengerahkan pandangan kepada kehidupan akhirat.
Perbedaan sikap moral antara satu sekte dengan sekte lain memperjelas adanya bermacam-macam sektarianisme. Di satu pihak terdapat satu sekte secara keras melancarkan propaganda menentang kekenduran dalam menjalankan kehidupan beragama secara ketat dalam kehidupan sehari-hari. Di lain pihak terdapat golongan sekte yang memberikan kebebasan dalam melakukan dasar-dasar agama. Salah satu ciri lain gerakan sekte ialah adanya pengawasan yang ketat terhadap anggota-anggotanya. Sebagai syarat mutlak setiap calon anggota yang hendak masuk terdalam tarikat harus mengucapkan sumpah setia terlebih dahulu. Hal ini berbeda dengan gerakan mesianistis yang hanya mengundang hak dari pihak pimpinan untuk mengeluarkan anggotanya bila melakukan pengkhianatan.
Sifat kerahasiaan yang menyelubungi kehidupan sekte merupakan alat pertahanan dan perlindungan terhadap dunia luar. Usaha untuk merahasiakan diri timbul karena adanya kecurigaan dari pihak yang berkuasa.
Gerakan di Jawa
·         Jamaa’ah Rifa’i
Salah satu gerakan sosial yang mengandung ciri gerakan protes sekaligus gerakan sekte keagamaan adalah Jamaah Rifa’iyah. Nama gerakan ini diambil dari tokoh pemimpinnya yaitu K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak. Sebagaimana lazimnya gerakan-gerakan sosial yang bersifat tradisional, Jamaah Rifa’iyah sangat lekat dengan sosok pemimpinnya yang karismatis. Lahir, tumbuh, dan berkembangnya Jamaah Rifa’iyah pada dasarnya adalah implementasi dari pemikiran-pemikiran K.H. Ahmad Rifa’i yang dituangkan dalam kitab-kitab karyanya. Oleh karena itu, kita perlu memahami latar belakang dari sosok K.H. Ahmad Rifa’i dan juga pemikiran yang terkandung dalam kitab-kitabnya. Dari riwayat hidupnya kita akan melihat bahwa K.H. Ahmad Rifa’i adalah sosok seorang ulama yang konsisten melawan pemerintah kolonial Belanda beserta elit birokrasi tradisional dan konsistensi ini dapat ditemukan pula dalam tulisan yang terdapat pada kitab-kitabnya. Kitab-kitab itu sendiri ditulis dalam rangka merespon kebutuhan masyarakat ketika itu untuk mempelajari agama.[8]
Mohammad Rifa’i dari Kalisalak pada abad 19. Sekte budiah merupakan jenis pemurniaan Islam dengan tujuan mengadakan pembaharuan Islam dengan cara kembali kepada ajaran yang murni. Haji Rifa’i menulis beberapa buku antara lain ilmu hukum Islam, asas-asas kepercayaan dan mistisisme ditulis dalam bahasa Jawa dan dalam bentuk puisi. Kumpulan karyanya disebut tardjumah. Kitab Tardjumah berisi terjemahan kedalam bahasa Jawa yang terdapat dalam kitab suci yang berbahasa Arab.[9]
Haji Rifa’i berpendapat bahwa kehidupan agama dari rakyat dan pemimpin telah menyimpang dari petunjuk-petunjuk Tuhan. Selain konsepsi perjuangan melawan penjajah rifangi juga menyatakan akan datang suatu masa bahwa pulau jawa akan menjadi makmur dan tidak ada tindak criminal jika orang-orang bodoh patuh terhadap pemimpin yang bijak.
Di Kalisalak ia membangun sebuah komunitas pengajian, mula-mula ia mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an. Namun lambat laun orang dewasa dari Desa Kalisalak dan sekitarnya tertarik untuk mengaji padanya. Di desa tersebut K.H. Ahmad Rifa’i menikah dengan janda Demang Kalisalak yang bernama Nyai Sujinah. Pernikahan K.H. Ahmad Rifa’i dengan Nyai Sujinah menunjukkan bahwa dirinya mendapat dukungan dari orang yang mempunyai status sosial cukup tinggi yang nantinya dapat memberi manfaat bagi kelangsungan dakwah. Di tempat barunya ini K.H. Ahmad Rifa’i menyebarkan pemikiran Islam melalui kitab Tarojumah yang ia tulis sendiri. Kitab Tarojumah ini berbentuk nazham atau syair dalam bahasa Jawa dan berhuruf Arab (Arab Pegon). Hal ini tidak lepas dari kondisi sosio-kultural orang Jawa pada abad ke-19 yang tidak memungkinkan untuk mempelajari dan memahami kitab-kitab yang berbahasa Arab.
Selain itu agar mudah dihafalkan dan dipahami. Lambat laun komunitas keagamaan yang dibangun oleh K.H. Ahmad Rifa’i di Kalisalak menarik penduduk sekitar dan daerah lain menjadi santrinya. Umumnya para santri pengikut K.H. Ahmad Rifa’i adalah masyarakat desa yang mayoritas bekerja sebagai petani. Untuk memfasilitasi minat para santrinya yang ingin tinggal dekat dengannya ia mendirikan masjid dan pondok pesantren di Kalisalak sehingga pengikutnya sering juga disebut Santri Kalisalak. Dalam kaitannya dengan upaya dakwah yang dilakukannya, ada tujuh metode dakwah yang dikembangkan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut:[10]
1.      Menerjemahkan Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab berbahasa Arab karangan ulama terdahulu ke dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon berbentuk nazham atau syair;
2.      Mengadakan kunjungan silaturahmi dari rumah ke rumah famili dan masyarakat;
3.      Menyelenggarakan pengajian umum dan dakwah keliling ke daerah yang penduduknya miskin secara materi dan agama guna membendung budaya asing;
4.      Menyelenggarakan dialog di masjid atau di langgar (mushola);
5.      Mengadakan kegiatan kesegaran jasmani bagi pemuda;
6.      Mengadakan gerakan protes sosial keagamaan terhadap birokrat pribumi dan Belanda;
7.      Untuk mempererat hubungan antara guru dengan murid dan antara murid dengan murid, biasa dilakukan pula pernikahan sesama murid, anak guru dengan murid (Amin, 1996: 106).
Di Kalisalak K.H. Ahmad Rifa’i tetap melakukan kecaman dan protes terhadap Pemerintah dan birokrat pribumi. Tindakan ini tentu sangat meresahkan pemerintah kolonial yang menganggap sikap militan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai ancaman. Kekhawatiran serupa melanda birokrat pribumi yang khawatir kedudukan dan otoritasnya terancam.
·         Gerakan Igama jawa-pasundan
Gerakan Igama jawa-pasundan didirikan oleh Sadewa atau lenbih dikenal dengan Madrais. Sadewa merupakan putra mahkota dari kerajaan Cirebon. Posisi Sadewa sebagai putra mahkota, melancarkan pemikiran dan gerakannya tentang mengembalikan budaya Jawa dan Sunda.  Gerakan ini menyerukan kepada pengikutnya agar meninggalkan upacara dan hokum Islam, menurut gerakan ini Islam adalah agama orang Arab bukan diperuntukkan untuk orang Jawa. Gerakan ini menyatakan dalam salah satu ajarannya menyebutkan kesetiaan terhadap Ratu Belanda. Ajaran lainnya juga menyatakan bahwa orang harus percaya terhadap Tuhan dan patuh terhadap hokum negara.[11]
·         Gerakan Oah
Gerakan Oah merupakan salah sekte yang bergerak melalui tindak kriminalitas.  Gerakan ini muncul di daerah Sukabumi dan Cianjur. Sekte Oah memiliki 1000 orang anggota yang tersebar di berbagai desa. Gerakan ini melakukan pemerasan, penipuan dan pembunuhan. Gerakan Oah dipimpin oleh Fadil, Bapa Adna, Kosi, Arkam, Pak tasik dan Ibrahim. Kegiatan-kegiatan sekte ini dibantu oleh badal-badal yang dipimpin oleh seorang jagoan.[12]


[1]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 440
[2]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 441
[3]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 441
[4]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 443
[5]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 445
[6]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 450
[7]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 451
[8]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 455
[9]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 456
[10]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 459
[11]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 460
[12]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 462

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts