PFPM : Tugas 2
Tuhan dalam pemikiran Ibnu Sina
Pengantar
Tuhan merupakan
eksistensi yang absolut diantara eksistensi yang nisbi, semua konsep Tuhan
telah tertera dalam al-qur’an dari segi metafisik, alam dan asma’ serta sifat.
Namun perkembangan, pengaruh zaman dan peradaban Islam tidak menutup wawasan
intelektual Islam yang aktif dan produktif dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu pra
muslim khususnya filsafat yang didasari atas konsep tuhan.
Tetapi
pandangan filosof Yunani terutama gagasan Aristoteles terhadap tuhan yang
abstrak telah di tolelir oleh beberapa filosof muslim seperti Ibnu Sina
bahwasannya alam dan realitasnya merupakan kehendak tuhan yang menyatu dalam
dzat dan sifat.
Sebetulnya,
atas dasar apakah Ibnu Sina memfilter konsep Tuhan menurut Aristoteles yang
kemudian ia modifikasi dalam Islam? Dan benarkah pernyataan tersebut ? Oleh
sebab itu pada pembahasan ini saya akan menguraikan secara ringkas tentang
biografi Ibnu Sina serta pandangannya terhadap konsep tuhan yang di pengaruhi
oleh filosof Yunani khususnya Aristoteles.
Semoga dengan
pembahasan ini kita dapat mengambil kesimpulan yang bersifat afektif dalam
mengkaji pemikiran filosof Islam terhadap konsep Tuhan.
Isi
Ibnu Sina hidup
pada tahun 903-1037 masehi. Ibnu Sina berasal dari Bukhara. Ia menghabiskan
masa kecilnya di Bukhara. Masa kecilnya dihabiskan dengan mempelajari buku Organon,
buku elements karya Euclid, karya-karya Aritoteles dan juga buku Ptolomeus yang
berjudul Almagest. Pada umur enam belas tahun, Ibnu Sina mempelajari buku Determining
the Validity of books dan buku karya Aritoteles yang berjudul Metaphysics.
Buku karya Aritoteles yang berjudul Metaphysics telah dibaca
oleh Ibnu Sina sebanyak empat puluh kali, namun artinya tidak dapat diketahui. Buku karya Aritoteles tersebut baru bisa dipahaminya setahun
kemudian setelah dia membaca salinan tulisan dari Al-Farabi yang berjudul On
the Purpose of the Metaphysics yang dibelinya di bookstall seharga
tiga dirham.
Di saat berumur
tujuh belas tahun, Ibnu Sina membuat buku pertamanya, yang merupakan sebuah
esai yang berjudul Compendium on the soul. Ibnu Sina menjelaskan
mengenai bukunya pada karya tulis terakhirnya yang berjudul On the Rational
Soul. Pada Bab kedelapan dari buku Compendium dengan judul ‘The Stages of the
Human Soul from Inception to Perfection’, Ibnu Sina menjelaskan bahwa jenis
makhluk rasional memiliki kecakapan yang disebut jiwa rasional, di mana lewat
jiwa rasionalnya itu seseorang mampu mengkonsepkan hal-hal yang bisa
dimengerti. Jiwa rasional tersebut bisa didapatkan dalam dua cara, salah satu
caranya adalah dengan mendatangkan inspirasi, seperti kasus pada konsep
‘seluruhnya’ pasti lebih besar dari ‘sebagiannya’. Cara yang lain adalah
melalui silogisme dan temuka (itu) saat ada yang menunjukkan, cara ini biasanya
diperkenalkan melalui Logika, Fisika, Matematika dan Metafisika. Ibnu Sina
menjelaskan lebih lanjut bahwa seseorang yang mengkuduskan orang lain bisa
mengerti pengetahuan tanpa harus menjalani cara kedua.
Pada umur dua
puluh tahun, Ibnu Sina menyeselesaikan tiga buku yang berjudul the Compilation
atau philosophy for ‘Arudi, the Available and the Valid dan Piety and Sin. Buku The
Compilation menjelaskan semua sains
kecuali matematika, yaitu semua dalil-dalil Aritoteles. Buku The Available
and The Valid merupakan karya tulis
mengenai filsafat yang terdiri atas dua puluh jilid dan buku Piety and Sin
membahas mengenai Etika. Kedua buku tersebut The Available and The Valid dan Piety and Sin dituliskan oleh
Ibnu Sina khusus untuk temannya di Bukhara yang bernama Abu Bakr Al Baraqi.
Sebetulnya, masih
banyak riwayat Ibnu Sina yang begitu cemerlang namun ajal telah menjemput
beliau, pada tahun 1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis.
Beliau wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah Filsafat Wujud.
Metafisika Ibnu Sina
Metafisika Ibnu
Sina secara esensial berkenaan dengan ontologi terhadap wujud serta seluruh
distingsi mengenainya itulah yang menempati peran sentral dalam
spekulasi-spekulasi metafisikanya. Menurutnya hakekat sesuatu (reality of
thing) tergantung pada eksistensinya dan pengetahuan atas sebuah obyek pada
puncaknya adalah ontology yang tergantung pada rangkaian eksistensi universal
yang menentukan seluruh atribut dan kualitasnya. Segala sesuatu dialam semesta
(universe), berdasarkan kenyataan (exist), dimasukkan ke dalam wujud (being).
Tuhan sebagai
wujud murni (pure being) merupakan Asal dan Pencipta segala sesuatu.Maka Tuhan
lebih awal dari alam dan bersifat transenden. Ibnu Sina juga berpendapat, sesuatu yang being (wajib al-wujud
bi-dhatihi ) ada pada diri Tuhan, tidak berdasarkan kekuatan lain
dalam being maka ini merupakan pertanyaan yang salah dan tidak mungkin wujud
melakukan tindakan dengan wujud yang lain. Jadi wujud Tuhan berdiri sendiri
dalam dzat-Nya yang akan selalu eksis.
Begitu juga
kajiannya, tentang eksistensi pada segala sesuatu tidak terlepas dari
distingsi fundamental yang menerangkan kemungkinan dan kemustahilannya. Maka
kapanpun orang berfikir eksistensi secara serta merta terdapat 2 aspek berbeda
pada kerangka berfikirnya, yaitu : Esensi atau kuiditasnya.
Eksistensi. Misalnya, ketika
seseorang memikirkan tentang kuda gagasan tentang kuda tersebut atau kuiditasnya,
yang meliputi keadaan, warna dan bentuk yang membentuk sebuah esensi. Yang
terkait erat dengan distingsi mendasar antara kuiditas dan eksistensi adalah
pemilahan Ibnu Sina atas wujud (being) menjadi ” tidak mungkin” ( mumtani’),
mungkin (mumkin) dan niscaya (wajib). Pemilah ini, yang diterima oleh para
filosof muslim serta kaum skolastik latin, tidak terlihat dalam formulasi
Aristoteles, tapi asli dari Ibnu Sina. Hakikatnya, Ibnu Sina mendasarkan
seluruh filsafatnya pada distingsi diantara tiga pemilahan tersebut dan
terdapat keterkaiatan yang dimiliki oleh kuiditas dan eksistensi dalam setiap
hal dengan yang lain.
Pandangannya tentang wujud
tuhan, merupakan wujud niscaya (wajib al-wujud), atau tuhan yang tidak bisa
”tidak-ada”, karena esensi dan wujud-Nya adalah hal yang sama. Wujud adalah
esensi-Nya, dan Esensi adalah wujud-Nya yang memiliki self-subsistent.
Sedangkan, semesta dan segala sesuatu yang ada didalamnya merupakan wujud
mungkin dan secara metafisik tergantung kepada Wujud – Niscaya dan mungkin
wujud-wujud tersebut terdiri dari dua macam:
1.
Wujud yang, sekalipun mungkin
dalam dirinya sendiri, dijadikan niscaya oleh wujud Niscaya.
2.
Wujud yang sama sekali mungkin
tanpa ada sifat niscaya yang diapsangkan padanya seperti malaikat yang abadi akibat
abadi dari Tuhan.
Wujud abadi dan abadi menurut
ibnu Sina adalah substansi atau aksidensi` sesuai dengan kategorinya yang
dibagi menjadi tiga macam :
·
Intelek (‘aql) yang sepenuhnya
terlepas dari materi dan potensialitas.
·
Jiwa (nafs) yang sekalipun terlepas
dari materi tapi butuh pada tubuh untuk bertindak.
·
Tubuh (jism) yang bisa dibagi
serta memiliki panjang lebar dan luas, karena itu mungkin elemen-elemen semesta
ini terbagi menjadi tiga unsur tersebut.
Sifat Tuhan menurut Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina, "Perlu
diperhatikan bahwa setiap pelaku yang apabila melakukan suatu perbuatan maka
dia akan menjadi lebih baik atau mengerjakan sesuatu baginya lebih baik
daripada tidak melakukannya, jika perbuatan itu tidak dilakukan dan dia tak
menciptakan sesuatu itu maka secara riil dia akan kehilangan kebaikan dan
kesempurnaan, yakni dia tak memiliki kesempurnaan tertentu dan untuk
memperolehnya ia mesti berusaha. Maujud yang membutuhkan upaya untuk mencapai
suatu kesempurnaan tak bisa dikategorikan sebagai Wâjibul Wujûd ,
karena maujud seperti itu adalah maujud yang tak sempurna dan maujud yang tak
sempurna bukanlah Wâjibul Wujûd. Dengan demikian, hal-hal yang
berkaitan dengan Wâjibul Wujûd dan perbuatan-perbuatan-Nya
sama sekali tidak bisa berhubungan dengan pencapian dan perolehan segala bentuk
kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan."
Ibnu Sina juga mendefinisikan
maujud sempurna yang sama sekali tak bergantung pada sesuatu yang lain dan
lantas menentukan wujud tak sempurna yang bergantung pada yang lain. Poin ini
merupakan mukadimah untuk menegaskan bahwa tidak berupaya mencapai suatu tujuan tertentu
dalam menciptaan alam. Menurut Ibnu Sina, suatu maujud bisa dikatakan yang Maha
Kuat dan Kaya itu jika tidak bergantung pada selain dirinya dari tiga aspek:
1.
Dari sisi zat
2.
Dari sisi sifat hakiki
3.
Dari sisi kesempurnaan hakiki
yang terkait dengan zat
Oleh karena itu, setiap maujud
yang butuh dan bergantung kepada maujud lain dari dimensi zat, sifat hakiki,
dan kesempurnaan (seperti bentuk, ilmu, kodrat, keindahan) ialah maujud yang
tak sempurna, fakir, dan lemah. Sedangkan Wâjibul Wujûd merupakan sifat yang
Esa pada tuhan dari sisi zat dan sifat-Nya sama sekali tidak mengandung
kekurangan dan kelemahan. Maka sangat mustahil Tuhan melakukan sesuatu
disebabkan oleh maujud-maujud yang rendah seperti manusia.
Emanasi, bagi kaum sufi,
kemurnian tauhid mempunyai wujud dan semua yang lainnya tidak ada pada
hakikatnya pada diri tuhan yang berhubungan dengan proses penciptaan alam,
paham ini merupakan emanasi. Sementara kajian emanasi Ibnu Sina mengikuti
kosmologi platonisme yang mendasar pada distingsi berusaha menunjukkan
bagaimana yang banyak itu dilahirkan dari yang Satu (ex uno non fit
nisi unum) atau inteleksi tuhanlah (akal pertama) penciptaan itu
terjadi, yang pada saat bersamaan transenden dalam kaitannya dengan seluruh
keragaman (multiplicity). Tapi oleh karena tujuan metafisika
Ibnu Sina secara esensial adalah menampilakan sifat tergantung (contingent). Maka
dalam emanasi tujuannya adalah untuk menggambarkan konsep kesinambungan yang
ada antara Prinsip dan manifestasi-Nya. Sedangkan proses
penciptaan, atau manifestasi, terkait erat dengan fungsi dan signifikan
malaikat sebagai alat yang mewujudkan tindakan penciptaan.
Dengan menyandarkan pada pada
skema Platonian tentang pancaran hirarkie malaikat berurutan, Ibnu Sina mulai
menggambarkan proses penurunan Semesta bahwa dari Satu atau Kesatuan hanya
mungkin melahirkan satu wujud (ex uno non fit nisi unum). Ibnu Sina juga
menggunakan gagasan bahwa melalui inteleksilah penciptaan itu terjadi. Proses
penciptaan dan inteleksi adalah sama, karena melalui kontemplasi tatanan
realitas yang lebih tinggi itulah yang lebih bisa muncul. Kemudian dari Wujud
Niscaya Tunggal- yang merupakansumber segala sesuatu – wujud tunggal tercipta
sesuai dengan prinsip sebelumnya- yaitu akal pertama (First intellect/al-’Aql
al-Awwal) yang disetarakan dengan malaikat muncullah akal yang kedua yaitu jiwa
dan tumbuh akal langit pertama melalui kontemplasi akal pertama melahirkan akal
ketiga, yaitu jiwa dan tubuh langit pertama. Lalu proses ini berlangsung hingga
langit kesembilan dan melahirkan Akal kesepuluh, yaitu bulan Akal kesepuluh
juga berfungsi sebagai pemberi cahaya kepada fikiran manusia. Dari sinilah
substansi semesta tidak lagi memiliki kemurnian untuk melahirkan langit yang
lain. Karena itu, dari kemungkinan kosmik yang tersisa dunia turun temurun dan
berubah muncul. Ia juga berpendapat bahwa dari akal kesupuluhlah terpancar
illuminasi dan penciptaan Tuhan.
Karena itulah emanasi Ibnu
Sina pada dasarnya terkait dengan angelologi dan sangat mengikuti kosmologi
Platonian. Menurutnya, konsepsi Islam tentang hubungan antara Tuhan dan Semesta
selalu berusaha menunjukkan sifat tergantung seluruh tatanan ciptaan terhadap
Sang Pencipta.
Kesimpulan
Bagaimanapun konsep tuhan yang
di pengaruhi oleh filosof Yunani khusus Aristoteles, bahwa adalah bumi dan
semesta alam merupakan pancaran dari akal pertama sampai akal ke- sepuluh,
sedangkan wujud tuhan merupakan kesatuan dari dzat dan sifatnya tidak disekutukan
oleh sifat-sifat serta tujuab-tujuan yang di pandang rendah seperti manusia.
Sehingga tanpa disadari ia menyatakan hakekat ciptaan Tuhan pada alam dan
seisinya ada dari yang telah ada bukan dari adam dan menafsirkan bahwa Allah
tidak bertindak hanya berkehendak yang menunjukkan pada kevakuman
Daftar Pustaka
Fattahi, Husayn. 2011. Tawanan
Benteng Lapis Tujuh – novel biografi Ibnu Sina. Jakarta. Zaman.
Freely, Jhon. 2011. Light from
the East – How Islamic Science Helped Shape the Westren
World. London. I.B. Tauris & Co Ltd.
Jalaluddin. 1996. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1995. Islam
Rasional ; Gagasan dan Pemikiran, Bandung. Mizan.
Nasr,
Sayyed Hossein. 2006. Tiga Mazdhab Utama Filsafat Islam. Yogyakarta.
IRCiSoD.
Sudarsono,
Drs, M.Si, 2004. Filsafat Islam . Jakarta. Rineka Cipta.
No comments:
Post a Comment