KESULTANAN PAJANG
Oleh Muhammad Fakhri Pratama
A.
Letak Geografis
Kesultanan Pajang
Secara topografi wilayah Pajang terdiri atas
perbukitan, pedataran, dan lereng kerucut gunung api. Pajang terletak di antara
Gunung Merbabu dan Merapi di bagian barat, dan Gunung Lawu di
bagian timur dan di selatan terbentang Pegunungan Sewu. Pajang
merupakan sebuah dataran rendah yang
terletak di cekungan lereng pegunungan Lawu dan pegunungan Merapi dengan
ketinggian sekitar 92 m diatas permukaan air laut. Sumber daya geologi yang ada
di daerah Surakarta adalah sumber daya air dan bahan bangunan. Potensi sumber
daya air di daerah Surakarta cukup besar, baik air tanah maupun air permukaan,
terutama di daerah cekungan antar gunung yang merupakan daerah pedataran. Tanah
daerah pedataran tersebut bersifat
pasiran dengan komposisi mineral muda yang tinggi sebagai akibat aktivitas
vulkanik Merapi dan Lawu. dengan ketersediaan air yang cukup melimpah,
menyebabkan dataran rendah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pangan,
sayuran, dan industri, seperti kol, wortel, bawang merah, tembakau, teh,
dan cengkeh.[1]
Sedangkan di daerah selatan sebagian besar
wilayah ini adalah dataran rendah dan tanah bergelombang dengan iklim yang
relatif kering. Potensi sumber daya air sangat kurang terutama pada musim
kemarau, sehingga daerah ini kurang sesuai untuk budidaya tanaman padi persawahan
basah. Sumber daya alam yang paling penting adalah budidaya kayu jati. Pada
daerah ini juga terdapat Waduk Bade dan Waduk Kedungombo yang digunakan untuk mengairi lahan persawahan dan
dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi dari sektor pariwisata dan perikanan
air tawar. [2]
Wilayah pusat pemerintahan Kerajaan Pajang memiliki luas 300 km2
dan merupakan pertemuan tiga aliran sungai antara Sungai Pepe, Sungai Dengkeng
dan Bengawan Solo. Aliran Sungai Pepe dan Sungai Dengkeng berasal dari Gunung
Merapi, sedangkan aliran Sungai Bengawan Solo berasal dari Gunung Lawu. Istana
ibu kotanya dibangun dengan mencontoh bangunan Keraton Demak. Lokasi tersebut
berada di Desa Pengging wilayah Boyolali. Kompleks keraton itu, yang tersisa
hanya tinggal pondasinya saja, di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Surakarta
dan Desa Makanhaji, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.[3]
B.
Sejarah Kesultanan
Pajang
Kesultanan Pajang pada awal terbentuknya dipimpin oleh Jaka
Tingkir. Sebelum menjadi Kesultanan
Islam Utama di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Pajang menjadi daerah
kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Kesulatanan Demak. Pada masa Kerajaan
Majapahit, Pajang lebih dikenal dengan nama Pengging. Pengging pada saat itu tidak
memiliki andil besar dalam kekuasaan Majapahit. Hayam Wuruk pernah melewati
daerah Pengging hanya satu kali dalam setahun untuk menuju Sungai Bengawan
Solo. Pengging pada massa Majapahit dipimpin oleh seorang adipati bernama
Jayadiningrat. Ketika awal berdirinya Kesultanan Demak, Pengging masih menganut
agam Budha yang dianut Kerajaan Majapahit. Ketika keturunan Adipati
Jayadiningrat memimpin daerah Pengging, maka Pengging memeluk agama Islam.[4]
Pada masa Kesultanan Demak, pemimpin daerah Pengging, yaitu Ki Kebo
Kenanga melakukan tindakan tidak menyenangkan terhadap Kesultanan Demak.
Pengging tidak memberi Demak upeti tahunan. Sultan Demak melihat hal itu
mengambil kesimpulan bahwa Pengging akan melakukan pemberontakan. Maka Sultan
Demak mengutus Sunan Kudus untuk menemui pemimpin Pengging. Pemimpin Pengging
menolak untuk menghadap ke Demak, maka Sunan Kudus dan Pemimpin Pengging
mengadu ilmu. Dalam pertarungan tersebut Ki Kebo Kenanga terbunuh oleh Sunan
Kudus, kemudian Pengging tunduk menjadi daerah kekuasaan Demak. Setelah kejadian
tersebut daerah Pengging lebih dikenal dengan nama Pajang.[5]
Pajang baru memiliki andil
yang cukup berpengaruh dalam kekuasaan Demak. Daerah Pajang memiliki daerah yang
subur, beras merupakan komoditas utama yang diperjual belikan. Batu bata merah
juga komoditas yang penting dalam membangun ekonomi Pajang, karena terdapat
pusat pembuatan batu bata merah. Sebagian besar rumah penduduk Pajang dibangun
menggunakan batu bata merah. Keraton Pajang hampir seluruh bangunannya terdiri
dari batu bata merah. Hal ini membantu ekonomi Kesultanan Demak dalam hal
pangan dan pembangunan. Hal tersebut semakin maju pada masa kepepimpinan Jaka
Tingkir.[6]
C.
Raja – raja Kesultanan
Pajang
a.
Jaka Tingkir
Jaka Tingkir
merupakan keturunan dari Ki Kebo Kenanga, yang lebih dikenal dengan nama Ki
Ageng Pengging. Jaka Tingkir lahir dengan nama Mas Krebet yang diberikan oleh
Ki Ageng Tingkir, karena lahir bertepatan dengan pertunjukan wayang beber yang
diadakan oleh ayahnya[7].
Mas Krebet tumbuh dan berkembang dalam asuhan istri Ki Ageng Tingkir. Selama
dalam asuhan istri Ki Ageng Tingkir, Mas Krebet lebih dikenal dengan nama Jaka
Tingkir. Ketika dewasa Jaka Tingkir berguru pada Sunan Kalijaga dan Ki Ageng
Sela. Seusai berguru pada Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Sela, Jaka Tingkir
mengabdi pada pemerintahan Demak sebagai pimpinan prajurit tamtama[8].
Pada suatu
saat, Sultan Demak berniat menambah prajurit tamtama sebanyak empat ratus
orang. Maka dibukalah perekrutan prajurit tamtama, syarat menjadi prajurit
tamtama adalah memiliki kesaktian dan kekuatan. Ketika dibuka perekrutan
tamtama, terjadi peristiwa yang membuat Sultan Demak marah, Jaka Tingkir telah
membunuh orang yang mau masuk menjadi prajurit tamtama. Sultan Demak mengusir
Jaka Tingkir dari Demak. Selama masa pengasingannya, Jaka Tingkir berkelana ke
Gunung Kendeng bertemu dengan Ki Ageng Butuh dan Kyai Ngerang kemudian Jaka
Tingkir berguru kepada mereka. [9]
Setelah berguru
di daerah Kendeng, Jaka pergi menuju Pengging. Di Pengging, Jaka Tingkir
mendatangi makam ayahnya. Di makam ayahnya, Jaka Tingkir mendapat ilham bahwa
ia harus berguru dengan Ki Buyut Banyubiru. Jaka Tingkir diajarkan ilmu
pemerintahan dan ilmu keprajuritan oleh Ki Buyut Banyubiru. Ki Buyut Banyubiru
menyuruh Jaka Tingkir untuk kembali ke Demak. Ki Buyut Banyubiru berpesan bahwa
akan ada banteng yang mengamuk di Demak dan hanya Jaka Tingkir yang bisa
menghentikan banteng tersebut.[10]
Jaka Tingkir
ditemani oleh Permanca, Jaka Wila dan Ki Wragil pergi ke Demak. Ketika di
Gunung Prawata rombongan Jaka Tingkir melihat Sultan Trenggana dan keluarganya
sedang diserang banteng gila yang mengamuk di pesanggrahan. Jaka Tingkir dengan
sigap menolong keluarga sultan dan berhasil membunuh banteng yang mengamuk
tersebut. Karena Jaka Tingkir berhasil membunuh banteng tersebut dan
menyelamatkan keluarga sultan, maka Sultan Trenggana mengangkat kembali sebagai
prajurit berpangkat lurah wiratamtama. Kemudian Jaka Tingkir dinikahkan dengan
putri sultan yang memiliki nama Mas Cempaka dan Jaka Tingkir dijadikan adipati
Pajang dengan gelar Pangeran Hadiwijaya.[11]
b.
Arya Pangiri
Arya Pangiri adalah adipati Demak
yang berhasil menjadi sultan ke-2 di Kesultanan Pajang dengan gelar Sultan
Ngawantipuro. Arya Pangiri merupakan anak dari Sunan Prawata, kemudian Arya
Pangiri dinikahkan dengan Putri
Pembayun, putri tertua dari Sultan Hadiwijaya. Ketika Arya Pangiri naik takhta,
Pangeran Benawa ditugaskan menjadi adipati Jipang. Keahlian Arya Pangiri dalam
memimpin Pajang tidak disukai masyarakat Pajang pada saat itu. Arya Pangiri
banyak mendatangkan penduduk Demak ke Pajang dan memerintahkan agar penduduk
Pajang memberikan sepertiga tanah dan ladangnya untuk penduduk Demak. Hal ini
menyebabkan sebagian masyarakat Pajang melakukan pemberontakan di Pajang.[12]
Pemberontakan tersebut dilakukan
karena Arya Pangiri membatasi kegiatan penduduk Pajang dari kegiatan pertanian
sampai kegiatan pemerintahan. Karena merasa terancam akan pemberontakan
tersebut, maka sebagian masyarakat pindah ke Jipang untuk mengabdikan diri
kepada Pangeran Benawa. Masyarakat Pajang yang pindah ke Jipang melaporkan
kepada Pangeran Benawa apa saja yang telah dilakukan oleh Arya Pangiri selama
memimpin Pajang. Pangeran Benawa membuat keputusan untuk melakukan perlawanan
terhadap Arya Pangiri, karena tidak terima daerah Pajang diperlakukan seperti
itu oleh Arya Pangiri.[13]
c.
Benawa
Pangeran Benawa adalah putra kandung
dari Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa merupakan sultan ke-3 di Kesultanan
Pajang. Sebelum naik takhta menjadi Sultan Pajang, Pangeran Benawa bertugas
sebagai adipati Jipang. Selama Pangeran Benawa menjadi adipati di Jipang,
Pajang dipimpin oleh Sultan Ngawantipuro. Karena melihat berbagai hal yang
dilakukan Sultan Pajang tidak mensejahterakan penduduk Pajang, Pangeran Benawa
ingin melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Sultan Ngawantipuro.
Pangeran Benawa meminta bantuan kepada Senopati Ing Alaga untuk menyerang
Pajang. Senopati Ing Alaga menyetujui penyerangan yang dilakukan oleh adik tirinya
tersebut.[14]
Kabar akan penyerangan Pajang oleh
Pangeran Benawa dan Senopati Ing Alaga sudah sampai ke telinga Sultan
Ngawantipuro. Sultan Ngawatipuro memerintahkan para budak untuk menyiapkan
peralatan perang. Pada hari penyerangan, banyak pasukan Pajang yang menjadi
pasukan Pangeran Benawa dan Senopati Ing Alaga. Pasukan Demak yang mendukung
Sultan Ngawantipuro banyak yang tewas, sehingga Sultan Ngawantipuro mengaku
kalah. Sebagai hukumannya, Sultan Ngawantipuro dikembalikan ke Demak beserta
keluarganya. Senopati Ing Alaga melantik Pangeran Benawa menjadi Sultan Pajang dengan
gelar Sultan Prabuwijaya.[15]
D.
Masa Kejayaan
Kerajaan
Pajang mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya. Beliau
memindahkan kekuasaan Kesultanan Demak di daerah pesisir pantai utara Jawa ke
Kesultanan Pajang yang berada di pedalaman Jawa bagian selatan. Melakukan
penaklukan daerah seperti Blora pada tahun 1554 M, Kediri pada tahun 1557,
Wirasaba dan Blora pada tahun 1570 M. Sultan Pajang menundukkan daerah Blora
karena Blora merupakan daerah perbatasan antara Kesultanan Pajang dengan
Kerajaan Surabaya. Sultan Pajang beralasan Blora adalah daerah kekuasaan
Pajang, sedangkan Kerajaan Surabaya telah menempatkan bupatinya di Blora. Hal
ini menyebabkan konflik antara Kesultanan Pajang dengan Kerajaan Surabaya[16]
Dalam rangka
mengonsolidasikan kekuasaannya, Raja Hadiwijaya mengadakan pertemuan dengan
para adipati dari Jawa Timur yang dulu setia dengan Demak di Giri Kedaton,
diprakasai oleh Sunan Prapen. Pada saat itu, para adipati sepakat mengakui
kedaulatan Pajang sebagai Kesultanan Islam terpenting di Jawa. Sebagai ikatan
politik, Panjiwiryakrama dari Surabaya dinikahkan dengan putri Raja Hadiwijaya.
Panembahan Lemah Dhuwur dari Madura juga diambil sebagai menantu, secara tidak
langsung Madura tunduk kepada Pajang.[17]
E.
Ulama-ulama
Penyebar Islam
Sebelum mendapat pengaruh Islam, daerah Pajang menganut agama Budha.
Pada masa itu daerah Pajang dipimpin oleh Adipati Jayaningrat. Daerah Pajang
baru mendapat pengaruh Islam setelah Adipati Jayaningrat meninggal dunia.
Kemudian Pajang dipimpin oleh Ki Kebo Kenanga, Ki Kebo Kenanga sudah beragama
Islam dan sudah mengadakan sholat Jum’at di Pajang. Ki Kebo Kenanga membawa
ajaran agama Islam yang diajarkan oleh Syek Siti Jenar. Syekh Siti Jenar merupakan
salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam di Jawa. Syek Siti Jenar
membawa ajaran manunggaling kawula gusti. Ajaran tersebut dinilai
oleh para wali dinilai melenceng dari paham yang seharusnya diajarkan. Syek
Siti Jenar akhirnya dihukum mati karena menolak untuk berhenti mengajarkan
pahamnya tersebut.[18]
Sunan Kalijaga merupakan salah satu sunan yang memiliki peran besar
dalam penyebaran agama Islam di Jawa, terutama Pajang. Beliau merupakan murid
dari Syek Siti Jenar, dimana ajarannya mengenai manunggaling kawula
gusti. Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam dengan cara pengalaman hidup
sehari-hari. Seperti mengadakan
peringatan Maulud Nabi dengan upacara Grebeg Mulud, Upacara Sekaten yang
dilaksanakan satu tahun sekali untuk mengajak masyarakat Jawa masuk Islam.
Sunan Kalijaga melakukan penterjemahan
doa-doa ke dalam bahasa Jawa, agar lebih mudah dimengerti oleh masyarakat Jawa.
Salah satu doanya adalah Rumeksa ing Wengi, doa pada malam hari yang
dipercaya dapat menyembuhkan dan melindungi ketika tidur di malam hari.[19]
Secara umum metode pendakwahan yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga
memiliki kemiripan dengan metode yang digunakan oleh Syek Siti Jenar. Sunan
Kalijaga merupakan salah satu murid dari Syekh Siti Jenar, sehingga metode yang
digunakan memiliki cara yang sama. Dengan cara menggunakan kesenian khas daerah
tersebut tanpa merusak unsur aslinya, cara ini berhasil untuk membujuk penduduk
daerah Pajang memeluk agama Islam. Hal ini didukung oleh pemimpin daerah Pajang
yang juga murid dari Sunan Kalijaga sehingga pengajaran agama Islam lebih aman dan terjaga di daerah Pajang.[20]
F.
Masa kemunduran
dan keruntuhan
Pada tahun 1582 meletus perang antara Pajang dengan Mataram yang disebabkan
Sutawijaya membela adik iparnya, Temanggung Mayang, yang dihukum buang ke
Semarang oleh Hadiwijaya. Pajang melakukan penyerangan terlebih dahulu, namun
sebelum sampai Prambanan, pasukan Pajang tercerai berai karena Gunung Merapi
meletus. Sultan Pajang kemudian melarikan diri ke daerah Tembayat, di daerah
Tembayat tersebut terdapat makam Sunan Tembayat. Sultan Hadiwijaya ingin
berziarah ke tempat tersebut, tetapi pintu makam Sunan Tembayat tidak bisa
terbuka. Menurut juru kunci makam, hal tersebut menandakan bahwa Sultan
Hadiwijaya akan turun takhta. Tak lama kemudian Sultan Hadiwijaya meninggal
dunia pada tahun 1589, jenazahnya dikebumikan di daerah Butuh (Sragen).[21]
Setelah terjadi
kekosongan kekuasaan terjadilah pertikaian antara Pangeran Benawa dengan Arya
Pangiri. Arya Pangiri mendapat dukungan dari Sunan Kudus sehingga dapat naik
takhta di Kesultanan Pajang. Pangeran Benawa yang merasa kecewa, bersekutu
dengan Sutawijaya untuk melawan Arya Pangiri di Pajang. Arya Pangiri dapat
dikalahkan, Pangeran Benawa naik Takhta menjadi Sultan Pajang, namun umur
Pangeran Benawa sangat singkat, baru memimpin Pajang selama satu tahun, lalu
beliau mangkat. Setelah kematian Pangeran Benawa, Pajang dipimpin oleh Pangeran
Gagak Bening. Pangeran Gagak Bening merupakan adik dari Senopati Ing Alaga,
sejak saat itu Kesultanan Pajang dijadikan kadipaten di bawah Kesultanan
Mataram.[22]
G.
Peninggalan
Kerajaan Pajang
Selama
pemerintahan Sultan Hadiwijaya, peradaban keraton seperti sastra dan seni telah
maju di Pajang. Hal ini pengaruh dari Demak dan Jepara, karena kedua daerah
tersebut berada di pesisir pantai utara Jawa sehingga sastra dan seni
berkembang. Pajang mendapat pengaruh sastra dan seni karena Sultan Hadiwijaya
memindahkan ibukota pemerintahan dari Demak ke Pajang. Tokoh yang terkenal
sebagai Pujangga Pajang adalah Pangeran Karang Gayam. Pangeran Karang Gayam
telah menulis sajak moralistic dalam bahasa Jawa, dengan karyanya yang berjudul
Niti Sruti, Niti Sruti tersebut ditulis pada paruh kedua abad ke-16.[23]
Upacara agama
tahunan Angka Wiyu di daerah Jatinom, Klaten. Upacara ini dilaksanakan dengan
cara melempar kue apem di atas kepala pengunjung. Nama Angka Wiyu kemungkinan
berasal dari seruan suci kepada Tuhan dalam bahasa Arab : Ya Kawiyu (al-Aziz
al-Hamid, Yang Kuat, Yang Dahsyat, Yang Terpuji). Kalimat tersebut diucapkan
berulang kali oleh santri.[24] Kue
apem yang digunakan dalam upacara Angka Wiyu memiliki cerita tersendri. Pada
saat rombongan pencari pusaka Pajang sedang istirahat untuk makan, perbekalan
makan yang dibawa sudah habis, yang tersisa hanya nasi yang sudah basi. Salah
satu anggota rombongan menggoreng nasi yang basi tersebut. Kemudian dibagikan kepada anggota lain, rasa
makanan tersebut ternyata enak. Makanan tersebut diberi nama Apem.
Sampai sekarang untuk menyambut musim hujan, penduduk daerah Jatinom, Klaten
mengadakan sedekah berupa nasi gurih dan kue apem.[25]
Sumur Magung
dianggap sebagai sumur minyak pertama di daerah Jatinom, Klaten. Digunakan oleh
masyarakat sekitar sebagai lokasi manganan setiap tahun dan digunakan
oleh orang untuk membayar nazar. Manganan dilaksanakan setiap Jumat Pahing
sebelum bulan Sura tahun Jawa pada masa labuh yang ditandai dengan tumbuhnya
tanaman dari jenis temu-temuan, yakni kunci dan lireh dari hutan.
Masjid
Laweyan terletak di Kampung Batik Laweyan Solo, Masjid Laweyan merupakan yang
tertua di Solo. Masjid Laweyan berdiri sejak tahun 1546, di masa Kesultanan
Pajang. Awal mula berdirinya masjid itu tidak lepas dari pengaruh Ki Ageng
Henis yang bersahabat baik dengan seorang Pemangku atau Pandhita Umat Hindu (bhiksu).
Masjid Laweyan ada sebelum Kota Solo terbentuk pada 1745. Masjid Laweyan
dibangun pada tahun 1546, saat Sultan Hadiwijaya berkuasa di Kerajaan Pajang.[26] Masjid
Laweyan ini merupakan masjid pertama di Kerajaan Pajang, hal itu membuktikan
bahwa masjid ini lebih tua dari Masjid Agung Solo yang baru dibangun pada tahun
1763. Awalnya Masjid Laweyan merupakan pura agama Hindu milik Ki
Beluk. Ki Beluk memiliki hubungan dekat dengan Ki Ageng Henis yang merupakan sahabat
dari Sunan Kalijaga. Dengan pendekatan damai, karena kemuliaan sifat Ki Ageng
Henis, Ki Beluk memeluk Islam. Sanggar milik Ki Beluk pun kemudian dirubah
menjadi langgar (mushala), seiring dengan banyaknya rakyat
yang mulai memeluk agama Islam, bangunan dirubah fungsinya menjadi masjid.[27]
DAFTAR
PUSTAKA
Chodjim, Achmad. 2003. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga.
Jakarta : PT Serambi Ilmu
Semesta
Chodjim, Achmad. 2007. Syekh Siti Jenar : Makrifat dan Makna
Kehidupan. Jakarta : PT
Serambi Ilmu
Semesta
Moentadhim, Martin. 2010. Pajang
: Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya. Jakarta :
Genta Pustaka.
Olthof ,W.L. 2008. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi.
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta. Media
Ilmu.
H.J de Graff dan T.H. Pigeaud. 1983. Kerajaan-Kerajaan Islam di
Jawa: Peralihan dari
Majapahit
ke Mataram . Jakarta: Grafitipers.
[1]
Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya.
Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 11.
[2] Martin
Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya. Jakarta
: Genta Pustaka. 2010. hlm. 12.
[3]
H.J de Graff dan T.H. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2001. hlm. 227.
[4]
Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya.
Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 52.
[5]
W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm. 45.
[6]
Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya.
Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 53.
[7]
W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm.45-47 .
[8]
W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm.50-51.
[9] W.L.Olthof.
Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm. 52.
[10]
Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya.
Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 105.
[11]
Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya.
Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 106.
[12]
W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm. 112.
[13]
W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm. 111.
[14]
W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm. 114.
[15]
W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm. 116-119.
[16]
H.J de Graff dan T.H. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan
dari Majapahit ke Mataram . Jakarta: Grafitipers. 1983. hlm. 216.
[17]Purwadi.
Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta. Media Ilmu. 2007. hlm. 68.
[18]
Achmad
Chodjim. Syekh Siti Jenar : Makrifat dan Makna Kehidupan. Jakarta : PT
Serambi Ilmu. 2007. hlm. 13
[19] Achmad
Chodjim. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta : PT Serambi Ilmu
Semesta. 2003. hlm. 12.
[20] Achmad
Chodjim. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta : PT Serambi Ilmu
Semesta. 2003. hlm. 13.
[21]
H.J de Graff dan T.H. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan
dari Majapahit ke Mataram . Jakarta: Grafitipers. 1983. hlm. 240.
[22]
H.J de Graff dan T.H. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan
dari Majapahit ke Mataram . Jakarta: Grafitipers. 1983. hlm. 242.
[23]
Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya.
Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 79.
[24]
Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya.
Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 80.
[25]
Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya.
Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 81
[26]
Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya.
Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 123.
[27]
Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya.
Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 124.
Artikel Terkait
Artikel Terkait
No comments:
Post a Comment