September 30, 2015

KESULTANAN PAJANG



KESULTANAN PAJANG
Oleh Muhammad Fakhri Pratama 

A.    Letak Geografis Kesultanan Pajang
Secara topografi wilayah Pajang terdiri atas perbukitan, pedataran, dan lereng kerucut gunung api. Pajang terletak di antara Gunung Merbabu dan Merapi di bagian barat, dan Gunung Lawu di bagian timur dan di selatan terbentang Pegunungan Sewu. Pajang  merupakan sebuah dataran rendah yang terletak di cekungan lereng pegunungan Lawu dan pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92 m diatas permukaan air laut. Sumber daya geologi yang ada di daerah Surakarta adalah sumber daya air dan bahan bangunan. Potensi sumber daya air di daerah Surakarta cukup besar, baik air tanah maupun air permukaan, terutama di daerah cekungan antar gunung yang merupakan daerah pedataran. Tanah daerah pedataran tersebut  bersifat pasiran dengan komposisi mineral muda yang tinggi sebagai akibat aktivitas vulkanik Merapi dan Lawu. dengan ketersediaan air yang cukup melimpah, menyebabkan dataran rendah ini sangat baik untuk budidaya tanaman pangan, sayuran, dan industri, seperti kol, wortel, bawang merah, tembakau, teh, dan cengkeh.[1]
Sedangkan di daerah selatan sebagian besar wilayah ini adalah dataran rendah dan tanah bergelombang dengan iklim yang relatif kering. Potensi sumber daya air sangat kurang terutama pada musim kemarau, sehingga daerah ini kurang sesuai untuk budidaya tanaman padi persawahan basah. Sumber daya alam yang paling penting adalah budidaya kayu jati. Pada daerah ini juga terdapat Waduk Bade dan Waduk Kedungombo yang digunakan untuk mengairi lahan persawahan dan dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi dari sektor pariwisata dan perikanan air tawar. [2]
Wilayah pusat pemerintahan Kerajaan Pajang memiliki luas 300 km2 dan merupakan pertemuan tiga aliran sungai antara Sungai Pepe, Sungai Dengkeng dan Bengawan Solo. Aliran Sungai Pepe dan Sungai Dengkeng berasal dari Gunung Merapi, sedangkan aliran Sungai Bengawan Solo berasal dari Gunung Lawu. Istana ibu kotanya dibangun dengan mencontoh bangunan Keraton Demak. Lokasi tersebut berada di Desa Pengging wilayah Boyolali. Kompleks keraton itu, yang tersisa hanya tinggal pondasinya saja, di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota Surakarta dan Desa Makanhaji, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.[3]

B.     Sejarah Kesultanan Pajang
Kesultanan Pajang pada awal terbentuknya dipimpin oleh Jaka Tingkir. Sebelum menjadi  Kesultanan Islam Utama di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Pajang menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Kesulatanan Demak. Pada masa Kerajaan Majapahit, Pajang lebih dikenal dengan nama Pengging. Pengging pada saat itu tidak memiliki andil besar dalam kekuasaan Majapahit. Hayam Wuruk pernah melewati daerah Pengging hanya satu kali dalam setahun untuk menuju Sungai Bengawan Solo. Pengging pada massa Majapahit dipimpin oleh seorang adipati bernama Jayadiningrat. Ketika awal berdirinya Kesultanan Demak, Pengging masih menganut agam Budha yang dianut Kerajaan Majapahit. Ketika keturunan Adipati Jayadiningrat memimpin daerah Pengging, maka Pengging memeluk agama Islam.[4]
Pada masa Kesultanan Demak, pemimpin daerah Pengging, yaitu Ki Kebo Kenanga melakukan tindakan tidak menyenangkan terhadap Kesultanan Demak. Pengging tidak memberi Demak upeti tahunan. Sultan Demak melihat hal itu mengambil kesimpulan bahwa Pengging akan melakukan pemberontakan. Maka Sultan Demak mengutus Sunan Kudus untuk menemui pemimpin Pengging. Pemimpin Pengging menolak untuk menghadap ke Demak, maka Sunan Kudus dan Pemimpin Pengging mengadu ilmu. Dalam pertarungan tersebut Ki Kebo Kenanga terbunuh oleh Sunan Kudus, kemudian Pengging tunduk menjadi daerah kekuasaan Demak. Setelah kejadian tersebut daerah Pengging lebih dikenal dengan nama Pajang.[5]
 Pajang baru memiliki andil yang cukup berpengaruh dalam kekuasaan Demak. Daerah Pajang memiliki daerah yang subur, beras merupakan komoditas utama yang diperjual belikan. Batu bata merah juga komoditas yang penting dalam membangun ekonomi Pajang, karena terdapat pusat pembuatan batu bata merah. Sebagian besar rumah penduduk Pajang dibangun menggunakan batu bata merah. Keraton Pajang hampir seluruh bangunannya terdiri dari batu bata merah. Hal ini membantu ekonomi Kesultanan Demak dalam hal pangan dan pembangunan. Hal tersebut semakin maju pada masa kepepimpinan Jaka Tingkir.[6]
C.    Raja – raja Kesultanan Pajang
a.      Jaka Tingkir
Jaka Tingkir merupakan keturunan dari Ki Kebo Kenanga, yang lebih dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging. Jaka Tingkir lahir dengan nama Mas Krebet yang diberikan oleh Ki Ageng Tingkir, karena lahir bertepatan dengan pertunjukan wayang beber yang diadakan oleh ayahnya[7]. Mas Krebet tumbuh dan berkembang dalam asuhan istri Ki Ageng Tingkir. Selama dalam asuhan istri Ki Ageng Tingkir, Mas Krebet lebih dikenal dengan nama Jaka Tingkir. Ketika dewasa Jaka Tingkir berguru pada Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Sela. Seusai berguru pada Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Sela, Jaka Tingkir mengabdi pada pemerintahan Demak sebagai pimpinan prajurit tamtama[8].
Pada suatu saat, Sultan Demak berniat menambah prajurit tamtama sebanyak empat ratus orang. Maka dibukalah perekrutan prajurit tamtama, syarat menjadi prajurit tamtama adalah memiliki kesaktian dan kekuatan. Ketika dibuka perekrutan tamtama, terjadi peristiwa yang membuat Sultan Demak marah, Jaka Tingkir telah membunuh orang yang mau masuk menjadi prajurit tamtama. Sultan Demak mengusir Jaka Tingkir dari Demak. Selama masa pengasingannya, Jaka Tingkir berkelana ke Gunung Kendeng bertemu dengan Ki Ageng Butuh dan Kyai Ngerang kemudian Jaka Tingkir berguru kepada mereka. [9]
Setelah berguru di daerah Kendeng, Jaka pergi menuju Pengging. Di Pengging, Jaka Tingkir mendatangi makam ayahnya. Di makam ayahnya, Jaka Tingkir mendapat ilham bahwa ia harus berguru dengan Ki Buyut Banyubiru. Jaka Tingkir diajarkan ilmu pemerintahan dan ilmu keprajuritan oleh Ki Buyut Banyubiru. Ki Buyut Banyubiru menyuruh Jaka Tingkir untuk kembali ke Demak. Ki Buyut Banyubiru berpesan bahwa akan ada banteng yang mengamuk di Demak dan hanya Jaka Tingkir yang bisa menghentikan banteng tersebut.[10]
Jaka Tingkir ditemani oleh Permanca, Jaka Wila dan Ki Wragil pergi ke Demak. Ketika di Gunung Prawata rombongan Jaka Tingkir melihat Sultan Trenggana dan keluarganya sedang diserang banteng gila yang mengamuk di pesanggrahan. Jaka Tingkir dengan sigap menolong keluarga sultan dan berhasil membunuh banteng yang mengamuk tersebut. Karena Jaka Tingkir berhasil membunuh banteng tersebut dan menyelamatkan keluarga sultan, maka Sultan Trenggana mengangkat kembali sebagai prajurit berpangkat lurah wiratamtama. Kemudian Jaka Tingkir dinikahkan dengan putri sultan yang memiliki nama Mas Cempaka dan Jaka Tingkir dijadikan adipati Pajang dengan gelar Pangeran Hadiwijaya.[11]
b.      Arya Pangiri
Arya Pangiri adalah adipati Demak yang berhasil menjadi sultan ke-2 di Kesultanan Pajang dengan gelar Sultan Ngawantipuro. Arya Pangiri merupakan anak dari Sunan Prawata, kemudian Arya Pangiri dinikahkan dengan  Putri Pembayun, putri tertua dari Sultan Hadiwijaya. Ketika Arya Pangiri naik takhta, Pangeran Benawa ditugaskan menjadi adipati Jipang. Keahlian Arya Pangiri dalam memimpin Pajang tidak disukai masyarakat Pajang pada saat itu. Arya Pangiri banyak mendatangkan penduduk Demak ke Pajang dan memerintahkan agar penduduk Pajang memberikan sepertiga tanah dan ladangnya untuk penduduk Demak. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat Pajang melakukan pemberontakan di Pajang.[12]
Pemberontakan tersebut dilakukan karena Arya Pangiri membatasi kegiatan penduduk Pajang dari kegiatan pertanian sampai kegiatan pemerintahan. Karena merasa terancam akan pemberontakan tersebut, maka sebagian masyarakat pindah ke Jipang untuk mengabdikan diri kepada Pangeran Benawa. Masyarakat Pajang yang pindah ke Jipang melaporkan kepada Pangeran Benawa apa saja yang telah dilakukan oleh Arya Pangiri selama memimpin Pajang. Pangeran Benawa membuat keputusan untuk melakukan perlawanan terhadap Arya Pangiri, karena tidak terima daerah Pajang diperlakukan seperti itu oleh Arya Pangiri.[13]

c.       Benawa
Pangeran Benawa adalah putra kandung dari Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa merupakan sultan ke-3 di Kesultanan Pajang. Sebelum naik takhta menjadi Sultan Pajang, Pangeran Benawa bertugas sebagai adipati Jipang. Selama Pangeran Benawa menjadi adipati di Jipang, Pajang dipimpin oleh Sultan Ngawantipuro. Karena melihat berbagai hal yang dilakukan Sultan Pajang tidak mensejahterakan penduduk Pajang, Pangeran Benawa ingin melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Sultan Ngawantipuro. Pangeran Benawa meminta bantuan kepada Senopati Ing Alaga untuk menyerang Pajang. Senopati Ing Alaga menyetujui penyerangan yang dilakukan oleh adik tirinya tersebut.[14]
Kabar akan penyerangan Pajang oleh Pangeran Benawa dan Senopati Ing Alaga sudah sampai ke telinga Sultan Ngawantipuro. Sultan Ngawatipuro memerintahkan para budak untuk menyiapkan peralatan perang. Pada hari penyerangan, banyak pasukan Pajang yang menjadi pasukan Pangeran Benawa dan Senopati Ing Alaga. Pasukan Demak yang mendukung Sultan Ngawantipuro banyak yang tewas, sehingga Sultan Ngawantipuro mengaku kalah. Sebagai hukumannya, Sultan Ngawantipuro dikembalikan ke Demak beserta keluarganya. Senopati Ing Alaga melantik Pangeran Benawa menjadi Sultan Pajang dengan gelar Sultan Prabuwijaya.[15]
D.    Masa Kejayaan
            Kerajaan Pajang mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya. Beliau memindahkan kekuasaan Kesultanan Demak di daerah pesisir pantai utara Jawa ke Kesultanan Pajang yang berada di pedalaman Jawa bagian selatan. Melakukan penaklukan daerah seperti Blora pada tahun 1554 M, Kediri pada tahun 1557, Wirasaba dan Blora pada tahun 1570 M. Sultan Pajang menundukkan daerah Blora karena Blora merupakan daerah perbatasan antara Kesultanan Pajang dengan Kerajaan Surabaya. Sultan Pajang beralasan Blora adalah daerah kekuasaan Pajang, sedangkan Kerajaan Surabaya telah menempatkan bupatinya di Blora. Hal ini menyebabkan konflik antara Kesultanan Pajang dengan Kerajaan Surabaya[16]
Dalam rangka mengonsolidasikan kekuasaannya, Raja Hadiwijaya mengadakan pertemuan dengan para adipati dari Jawa Timur yang dulu setia dengan Demak di Giri Kedaton, diprakasai oleh Sunan Prapen. Pada saat itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang sebagai Kesultanan Islam terpenting di Jawa. Sebagai ikatan politik, Panjiwiryakrama dari Surabaya dinikahkan dengan putri Raja Hadiwijaya. Panembahan Lemah Dhuwur dari Madura juga diambil sebagai menantu, secara tidak langsung Madura tunduk kepada Pajang.[17]

E.     Ulama-ulama Penyebar Islam
Sebelum mendapat pengaruh Islam, daerah Pajang menganut agama Budha. Pada masa itu daerah Pajang dipimpin oleh Adipati Jayaningrat. Daerah Pajang baru mendapat pengaruh Islam setelah Adipati Jayaningrat meninggal dunia. Kemudian Pajang dipimpin oleh Ki Kebo Kenanga, Ki Kebo Kenanga sudah beragama Islam dan sudah mengadakan sholat Jum’at di Pajang. Ki Kebo Kenanga membawa ajaran agama Islam yang diajarkan oleh Syek Siti Jenar. Syekh Siti Jenar merupakan salah satu tokoh penting dalam penyebaran Islam di Jawa. Syek Siti Jenar membawa ajaran manunggaling kawula gusti. Ajaran tersebut dinilai oleh para wali dinilai melenceng dari paham yang seharusnya diajarkan. Syek Siti Jenar akhirnya dihukum mati karena menolak untuk berhenti mengajarkan pahamnya tersebut.[18]
Sunan Kalijaga merupakan salah satu sunan yang memiliki peran besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa, terutama Pajang. Beliau merupakan murid dari Syek Siti Jenar, dimana ajarannya mengenai manunggaling kawula gusti. Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam dengan cara pengalaman hidup sehari-hari.  Seperti mengadakan peringatan Maulud Nabi dengan upacara Grebeg Mulud, Upacara Sekaten yang dilaksanakan satu tahun sekali untuk mengajak masyarakat Jawa masuk Islam. Sunan Kalijaga melakukan  penterjemahan doa-doa ke dalam bahasa Jawa, agar lebih mudah dimengerti oleh masyarakat Jawa. Salah satu doanya adalah Rumeksa ing Wengi, doa pada malam hari yang dipercaya dapat menyembuhkan dan melindungi ketika tidur di malam hari.[19]
Secara umum metode pendakwahan yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga memiliki kemiripan dengan metode yang digunakan oleh Syek Siti Jenar. Sunan Kalijaga merupakan salah satu murid dari Syekh Siti Jenar, sehingga metode yang digunakan memiliki cara yang sama. Dengan cara menggunakan kesenian khas daerah tersebut tanpa merusak unsur aslinya, cara ini berhasil untuk membujuk penduduk daerah Pajang memeluk agama Islam. Hal ini didukung oleh pemimpin daerah Pajang yang juga murid dari Sunan Kalijaga sehingga pengajaran agama Islam  lebih aman dan terjaga di daerah Pajang.[20]


F.     Masa kemunduran dan keruntuhan
Pada tahun 1582 meletus perang antara Pajang dengan Mataram yang disebabkan Sutawijaya membela adik iparnya, Temanggung Mayang, yang dihukum buang ke Semarang oleh Hadiwijaya. Pajang melakukan penyerangan terlebih dahulu, namun sebelum sampai Prambanan, pasukan Pajang tercerai berai karena Gunung Merapi meletus. Sultan Pajang kemudian melarikan diri ke daerah Tembayat, di daerah Tembayat tersebut terdapat makam Sunan Tembayat. Sultan Hadiwijaya ingin berziarah ke tempat tersebut, tetapi pintu makam Sunan Tembayat tidak bisa terbuka. Menurut juru kunci makam, hal tersebut menandakan bahwa Sultan Hadiwijaya akan turun takhta. Tak lama kemudian Sultan Hadiwijaya meninggal dunia pada tahun 1589, jenazahnya dikebumikan di daerah Butuh (Sragen).[21]
Setelah terjadi kekosongan kekuasaan terjadilah pertikaian antara Pangeran Benawa dengan Arya Pangiri. Arya Pangiri mendapat dukungan dari Sunan Kudus sehingga dapat naik takhta di Kesultanan Pajang. Pangeran Benawa yang merasa kecewa, bersekutu dengan Sutawijaya untuk melawan Arya Pangiri di Pajang. Arya Pangiri dapat dikalahkan, Pangeran Benawa naik Takhta menjadi Sultan Pajang, namun umur Pangeran Benawa sangat singkat, baru memimpin Pajang selama satu tahun, lalu beliau mangkat. Setelah kematian Pangeran Benawa, Pajang dipimpin oleh Pangeran Gagak Bening. Pangeran Gagak Bening merupakan adik dari Senopati Ing Alaga, sejak saat itu Kesultanan Pajang dijadikan kadipaten di bawah Kesultanan Mataram.[22]
G.    Peninggalan Kerajaan Pajang
Selama pemerintahan Sultan Hadiwijaya, peradaban keraton seperti sastra dan seni telah maju di Pajang. Hal ini pengaruh dari Demak dan Jepara, karena kedua daerah tersebut berada di pesisir pantai utara Jawa sehingga sastra dan seni berkembang. Pajang mendapat pengaruh sastra dan seni karena Sultan Hadiwijaya memindahkan ibukota pemerintahan dari Demak ke Pajang. Tokoh yang terkenal sebagai Pujangga Pajang adalah Pangeran Karang Gayam. Pangeran Karang Gayam telah menulis sajak moralistic dalam bahasa Jawa, dengan karyanya yang berjudul Niti Sruti, Niti Sruti tersebut ditulis pada paruh kedua abad  ke-16.[23]
Upacara agama tahunan Angka Wiyu di daerah Jatinom, Klaten. Upacara ini dilaksanakan dengan cara melempar kue apem di atas kepala pengunjung. Nama Angka Wiyu kemungkinan berasal dari seruan suci kepada Tuhan dalam bahasa Arab : Ya Kawiyu (al-Aziz al-Hamid, Yang Kuat, Yang Dahsyat, Yang Terpuji). Kalimat tersebut diucapkan berulang kali oleh santri.[24] Kue apem yang digunakan dalam upacara Angka Wiyu memiliki cerita tersendri. Pada saat rombongan pencari pusaka Pajang sedang istirahat untuk makan, perbekalan makan yang dibawa sudah habis, yang tersisa hanya nasi yang sudah basi. Salah satu anggota rombongan menggoreng nasi yang basi tersebut.  Kemudian dibagikan kepada anggota lain, rasa makanan tersebut ternyata enak. Makanan tersebut diberi nama Apem. Sampai sekarang untuk menyambut musim hujan, penduduk daerah Jatinom, Klaten mengadakan sedekah berupa nasi gurih dan kue apem.[25]
Sumur Magung dianggap sebagai sumur minyak pertama di daerah Jatinom, Klaten. Digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai lokasi manganan setiap tahun dan digunakan oleh orang untuk membayar nazar. Manganan dilaksanakan setiap Jumat Pahing sebelum bulan Sura tahun Jawa pada masa labuh yang ditandai dengan tumbuhnya tanaman dari jenis temu-temuan, yakni kunci dan lireh dari hutan.
Masjid Laweyan terletak di Kampung Batik Laweyan Solo, Masjid Laweyan merupakan yang tertua di Solo. Masjid Laweyan berdiri sejak tahun 1546, di masa Kesultanan Pajang. Awal mula berdirinya masjid itu tidak lepas dari pengaruh  Ki Ageng Henis yang bersahabat baik dengan seorang Pemangku atau Pandhita Umat Hindu (bhiksu). Masjid Laweyan ada sebelum Kota Solo terbentuk pada 1745. Masjid Laweyan dibangun pada tahun 1546, saat Sultan Hadiwijaya berkuasa di Kerajaan Pajang.[26] Masjid Laweyan ini merupakan masjid pertama di Kerajaan Pajang, hal itu membuktikan bahwa masjid ini lebih tua dari Masjid Agung Solo yang baru dibangun pada tahun 1763. Awalnya Masjid Laweyan merupakan pura agama Hindu milik Ki Beluk. Ki Beluk memiliki hubungan dekat dengan Ki Ageng Henis yang merupakan sahabat dari Sunan Kalijaga. Dengan pendekatan damai, karena kemuliaan sifat Ki Ageng Henis, Ki Beluk memeluk Islam. Sanggar milik Ki Beluk pun kemudian dirubah menjadi langgar (mushala), seiring dengan banyaknya rakyat yang mulai memeluk agama Islam, bangunan dirubah fungsinya menjadi masjid.[27]


DAFTAR PUSTAKA
Chodjim, Achmad. 2003. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta : PT Serambi Ilmu
Semesta                                    
Chodjim, Achmad. 2007. Syekh Siti Jenar : Makrifat dan Makna Kehidupan. Jakarta : PT
Serambi Ilmu Semesta           
Moentadhim,  Martin. 2010. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya. Jakarta :
Genta Pustaka.
Olthof ,W.L. 2008. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi.
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta. Media Ilmu.
H.J de Graff dan T.H. Pigeaud. 1983. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari
Majapahit ke Mataram . Jakarta: Grafitipers.


[1] Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya. Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 11.
[2] Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya. Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 12.
[3] H.J de Graff dan T.H. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 2001. hlm. 227.
[4] Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya. Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 52.
[5] W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm. 45.
[6] Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya. Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 53.
[7] W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm.45-47 .
[8] W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm.50-51.
[9] W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm. 52.
[10] Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya. Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 105.
[11] Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya. Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 106.
[12] W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm. 112.
[13] W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm. 111.
[14] W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm. 114.
[15] W.L.Olthof. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta : Narasi. 2008. hlm. 116-119.
[16] H.J de Graff dan T.H. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram . Jakarta: Grafitipers. 1983. hlm. 216.
[17]Purwadi. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta. Media Ilmu. 2007. hlm. 68.
[18] Achmad Chodjim. Syekh Siti Jenar : Makrifat dan Makna Kehidupan. Jakarta : PT Serambi Ilmu. 2007. hlm. 13
[19] Achmad Chodjim. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta. 2003. hlm. 12.
[20] Achmad Chodjim. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta. 2003. hlm. 13.
[21] H.J de Graff dan T.H. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram . Jakarta: Grafitipers. 1983. hlm. 240.
[22] H.J de Graff dan T.H. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram . Jakarta: Grafitipers. 1983. hlm. 242.
[23] Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya. Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 79.
[24] Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya. Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 80.
[25] Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya. Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 81
[26] Martin Moentadhim. Pajang : Pergolakan Spiritual, Politik & Budaya. Jakarta : Genta Pustaka. 2010. hlm. 123.

No comments:

Post a Comment

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts