GERAKAN SOSIAL DI MASA KOLONIAL
Pemberontakan
Petani di Banten 1888
Salah satu peristiwa
gerakan protes dari petani di masa kolonial yang cukup dikenal dalam narasi
sejarah Indonesia adalah pemberontakan petani di Banten pada tahun 1888. Pemberontakan yang terjadi di di distrik Anyer
berlangsung secara singkat antara tanggal 9-30 Juli 1888. Hal ini juga merupakan salah satu
bentuk ledakan sosial yang melanda seluruh wilayah pulau Jawa pada waktu itu.
Pemberontakan meletus pertama kali pada malam hari tanggal 9 Juli 1888.
Pemberontakan pertama diadakan di Cilegon yang dipimpin oleh Haji Tubagus
Ismail dan pemimpin-pemimpin terkemuka lainnya. Pemberontakan di susul dengan
serangan ke Serang. Cilegon sebagai sasaran pemberotakan karena di sana
merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat pamong praja, penguasa kolonial Eropa
dan pribumi yakni, asisten residen, kontrolir muda, patih, wedana, jaksa,
asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam dan pejabat-pejabat
lainnya dari tingkat bawah birokrasi kolonial. Dalam pemberontakan ini penguasa
kolonial dan birokrat pribumi menjadi sasaran pembunuhan.
Studi mengenai ini
dituliskan oleh Sartono Kartodirdjo dalam disertasinya yang berjudul, “Pemberontakan Petani Banten 1888”[1].
Dalam studinya tersebut, Sartono mengetengahkan bahwa pemberontakan petani di
Banten terjadi akibat kontak budaya antara Barat dan tradisional yang
memperparah bergesernya tatanan ekonomi, politik dan sosial tradisional.
Ketidakstabilan tatanan ekonomi, sosial dan politik ini menjadi latar belakang
yang menentukan dari munculnya sebuah gerakan protes petani.
Salah satu kontribusi
yang signifikan dari tulisan Sartono Kartodirdjo ini terletak pada pendekatan
struktural yang ia gunakan dalam memposisikan peristiwa sejarah. Artinya, untuk
melihat peristiwa sejarah, dalam bahasa Sartono Kartodirdjo, “tidak hanya menyerap fakta-fakta mengenai
peristiwa-peristiwa dan episode-episode politik yang besar. (Tetapi) Kita harus
menembus sampai ke tingkat faktor-faktor yang mengkondisikan
peristiwa-peristiwa itu.”[2] Dengan pendekatan tersebut dapat memberikan
sorotan yang lebih jelas mengenai pelbagai segi masyarakat Indonesia dan
pola-pola perkembangannya. Melalaui cara itu, Sartono Kartodirdjo berusaha
menangkap dan menjelaskan pemberontakan petani yang terjadi di Banten pada
tahun 1888.
Gerakan protes petani
sebagai bagian dari sebuah gerakan sosial di Indonesia pada dasarnya berlokus
di pedesaan. Oleh karena itu, pengamatan atas berbagai aspek kehidupan di
pedesaan menjadi sangat penting. Kerangka struktural yang mengkondisikan adanya
sebuah pemberontakan ini yang dapat menjelaskan mengapa sebuah pemberontakan
bisa muncul dalam suatu dimensi waktu dan tempat tertentu. Dalam bagian ini
fokus tulisan akan lebih melihat pada kerangka struktural yang mengkondisikan
adanya pemberontakan petani di Banten pada tahun 1888.
Prakondisi
Struktural dari Pemberontakan
Pemberontakan
petani di Banten, menurut Sartono Kartodirdjo, didasarkan pada sebuah hipotesa
bahwa dalam gerakan sosial bisa diperkirakan mempunyai hubungan yang khusus
dengan kelas-kelas sosial, dengan kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku bagi
mereka, dan dengan etos kultural di dalam golongan-golongan sosial itu.[3]
Dalam pemberontakan petani di Banten tidak terlepas dari perpecahan sosial yang
tajam dalam masyarakat Banten yang dapat dijelaskan dari posisi sosio-ekonomis
golongan-golongan yang saling bertentangan. Kemudian, dampak dari penetrasi
kepentingan Barat mempertajam konflik sosial tersebut.
Di
Banten, pada abad XIX mengalami peristiwa yang hampir sama di seluruh wilayah
Indonesia, penetrasi kepentingan Barat semakin meningkat. Hal itu dapat dilihat
dari tumbuhnya perekonomian uang, perpajakan yang seragam, administrasi yang
terpusat, dan sarana komunikasi yang modern. Kemudian, kebijakan fiskal,
administrasi dan peradilan yang telah dirumuskan oleh pemerintah pusat harus
dilaksanakan oleh pejabat pribumi di tingkat regional dan lokal. Di tingkat
rakyat, pelaksanaan pajak kepala, peraturan tentang rodi, dan vaksinasi membuat
kemarahan pada petani yang menyebabkan kerusuhan di daerah-daerah pedesaan.
Berbagai kebijakan kolonial yang membuat petani semakin miskin, dan
terpinggirkan adalah fakta yang mengiringi pemberontakan di sana. Hal itu sudah
pasti. Namun demikian, pemberontakan petani di Banten tidak cukup untuk dibaca
dari segi penetrasi kepentingan kolonial saja, faktor perubahan di dalam
masyarakatnya juga menjadi faktor penting. Pemeriksaan atas perubahan struktur
masyarakat ini penting untuk menunjukan dari mana kelompok sosial bisa
memberontak dan mengapa ia memberontak.
Di
dalam masyarakat Banten menjelang pemberontakan terdapat sebuah kerangka
stratifikasi masyarakat yang menjadi prasyarat material tumbuhnya
pemberontakan. Untuk mendefinisikan stratifikasi masyarakat tersebut,
penjelasan mengenai faktor ekonomi, terutama dari kepemilikan tanah, peyewaan
tanah, dan penguasaan tanah menjadi sangat relevan. Hal itu dimulai dari
masuknya kebudayaan Barat yang melahirkan adanya golongan-golongan sosial baru
dan terjadi re-stratifikasi dalam masyarakat Banten. Setidaknya terdapat empat
golongan yang perlu disorot, yaitu kaum aristokrasi lama, petani, elit agama
dan kemunculan elit baru.
Kaum bangsawan yaitu aritokrasi
lama mengalami kemerosotan kedudukan, jatuh miskin dan kehilangan kekuasaan
politiknya, meski mereka masih punya kedudukan sosial. Mereka bersama dengan
petani masih berpegang pada peranan tradisonal. Keduanya sering bekerja sama
untuk menghadapi penetrasi sistem-sistem nilai dari Barat. Di sisi lain,
meningkatnya pengawasan politik terhadap elit agama, menimbulkan rasa
tersingkir dan frustasi yang mendalam diantara mereka, sehingga dengan seiring
itu elit agama ini juga bekerjasama dengan kaum aristokrat dan petani untuk
melakukan perlawanan kepada kolonial. Sedangkan, golongan yang baru tumbuh dari
sistem aristokrasi modern, yaitu pegawai negeri atau birokrat. Golongan
tersebut muncul dari ekspansi sistem administrasi Barat. Kemunculannya ini
dimaknai oleh aristokrat lama sebagai kesempatan untuk mempertahankan prestise
dan pengaruh sosialnya, sehingga elit lama berusaha merapat pada elit baru
dengan cara memperkuat afinitasnya (keterikatan).[4]
Di
sisi lain, kekuasaan formal Belanda yang semakin menekan politik lokal di
Banten membuat situasi politik semakin tidak stabil. Hal ini dikarenakan Belanda berangsur-angsur
membangun sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan legal rasional
kepada rakyat. Adanya westernisasi ini berdampak pada ketegangan diantara aristokrasi
tradisional lama dengan elit agama. Bila sebelumnya mereka bersekutu, tetapi
karena elit aristokrasi tradisional banyak melebur sebagai golongan baru (lihat
di atas, karena kemunculan birokrasi dianggap sebagai peluang oleh aristokrasi
lama untuk menulihkan prestise dan kekayaan) dalam sistem birokrasi Belanda
membuat ketegangan diantara keduanya semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam
perlawanannya berikutnya, pemimpin agama banyak mengarahkan kemarahannya pada
elit baru dan pihak kolonial.
Dengan demikian,
golongan sosial yang berbeda dalam masyarakat Banten, yang mana dipengaruhi oleh proses westernisasi,
membuat pelbagai golongan yang terlibat dalam konflik sosial dapat dinilai dari
kerangka konflik institusional ini. Elit agama dan sebagian aristokrasi lama
berpegang pada nilai tradisional, sedangkan elit baru berpegang pada
modernisasi ala kolonial. Dalam pandangannya, Sartono Kartodirdjo menilai bahwa
konflik sosial di Banten dapat dilihat sebagai konflik antar golongan yang
dapat dibedakan satu sama lain karena menganut norma dan nilai yang berlawanan.[5]
Dampak dari Barat ini, mengganggu keseimbangan integrasi politik tradisional
dan membuatnya sulit bertahan karena gempuran westernisasi. Sehingga,
satu-satunya cara untuk bereaksi terhadap efek yang mengacaukann lembaga
tradisional ini adalah mobilisasi petani dan melawan kolonial.
Di
saat yang bersamaan, kebangkitan kembali agama di Jawa semakin menggeliat. Ini
terjadi dari meningkatnya orang yang berhaji, pesan-pesan Islam, meningkatnya
pesantren dan tarekat-tarekat. Kebangkitan kembali agama (revivalis) ini mampu
mencetuskan tanggapan yang emosional atas situasi yang mengganggu atau yang
menimbulkan frustasi. Tarekat yang tumbuh subur mendorong adanya fanatisme,
sedangkan gagasan eskatologis Islam mengubah para anggota tarekat menjadi
kelompok revolusioner yang militan untuk menggulingkan kekuasaan.
Dalam
melihat pemberontakan di Banten ini, kita harus menempatkan elit agama dalam
posisi yang sentral, karena golongan ini terdiri dari penduduk pedesaan yang
juga petani, menentang modernisasi serta berusaha mencegah perubahan sosial di
Banten. Nilai-nilai keagamaan digunakan
untuk memperkuat nilai tradisional dan menentang pengaruh Barat. Akibatnya,
elit tradisional dibatasi sebuah kerangka untuk menentang elit agama dan
dipaksa mengambil sikap agresif. Sistem normatif ini menimbulkan kekuasan
politik dengan akibat bahwa elit agama tampil sebagai lawan kuat
birokrat-birokrat kolonial. Pada umumnya peranan
kaum petani tidaklah sangat kuat dalam pemberontakan Banten, mereka hanyalah
bersikap pasif. Perlawanan itu sendiri banyak dipimpin oleh elit agama
dan elit desa.
Dari
penelitian Sartono Kartodirdjo ini, keresahan di masyarakat Banten dapat
meledak menjadi pemberontakan karena berbagai hal, diantaranya, Pertama, terdapat suatu tradisi
memberontak; Kedua, terjadi
ketegangan yang terus menerus yang bersumber pada keadaan dimana masyarakat
yang mayoritas mengalami ketersingkiran politik dan kehilangan privillege-nya; Ketiga, dampak penetrasi dominasi penguasa secara bersamaan
menyatukan sendi-sendi keagamaan; Keempat,
adanya satu kepemimpinan yang memberikan arahan perlawanan.[6]
[1] Lihat Sartono
Kartodirdjo, Pemberontakan Petani
Banten 1888 terj., Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1984.
[3] Ibid. hlm. 33
[4] Ibid. hlm. 35
[5] Ibid. hlm. 36
[6] Abdul
Muntholib, “Gerakan Protes Sosial Petani di Jawa pada Masa Kolonial: Dalam
Perspektif Sejarah Sosial Pedesaan”, Forum
Ilmu Sosial, Vol. 36, No. 1, Juni 2009, hlm.
Baca artikel lanjutan:
No comments:
Post a Comment