May 6, 2019

Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 2

     GERAKAN SOSIAL DI MASA KOLONIAL

     Pemberontakan Petani di Banten 1888
Salah satu peristiwa gerakan protes dari petani di masa kolonial yang cukup dikenal dalam narasi sejarah Indonesia adalah pemberontakan petani di Banten pada tahun 1888. Pemberontakan yang terjadi di di distrik Anyer berlangsung secara singkat antara tanggal 9-30 Juli 1888.  Hal ini juga merupakan salah satu bentuk ledakan sosial yang melanda seluruh wilayah pulau Jawa pada waktu itu. Pemberontakan meletus pertama kali pada malam hari tanggal 9 Juli 1888. Pemberontakan pertama diadakan di Cilegon yang dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail dan pemimpin-pemimpin terkemuka lainnya. Pemberontakan di susul dengan serangan ke Serang. Cilegon sebagai sasaran pemberotakan karena di sana merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat pamong praja, penguasa kolonial Eropa dan pribumi yakni, asisten residen, kontrolir muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam dan pejabat-pejabat lainnya dari tingkat bawah birokrasi kolonial. Dalam pemberontakan ini penguasa kolonial dan birokrat pribumi menjadi sasaran pembunuhan.
Studi mengenai ini dituliskan oleh Sartono Kartodirdjo dalam disertasinya yang berjudul, “Pemberontakan Petani Banten 1888”[1]. Dalam studinya tersebut, Sartono mengetengahkan bahwa pemberontakan petani di Banten terjadi akibat kontak budaya antara Barat dan tradisional yang memperparah bergesernya tatanan ekonomi, politik dan sosial tradisional. Ketidakstabilan tatanan ekonomi, sosial dan politik ini menjadi latar belakang yang menentukan dari munculnya sebuah gerakan protes petani.
Salah satu kontribusi yang signifikan dari tulisan Sartono Kartodirdjo ini terletak pada pendekatan struktural yang ia gunakan dalam memposisikan peristiwa sejarah. Artinya, untuk melihat peristiwa sejarah, dalam bahasa Sartono Kartodirdjo, “tidak hanya menyerap fakta-fakta mengenai peristiwa-peristiwa dan episode-episode politik yang besar. (Tetapi) Kita harus menembus sampai ke tingkat faktor-faktor yang mengkondisikan peristiwa-peristiwa itu.”[2]  Dengan pendekatan tersebut dapat memberikan sorotan yang lebih jelas mengenai pelbagai segi masyarakat Indonesia dan pola-pola perkembangannya. Melalaui cara itu, Sartono Kartodirdjo berusaha menangkap dan menjelaskan pemberontakan petani yang terjadi di Banten pada tahun 1888.
Gerakan protes petani sebagai bagian dari sebuah gerakan sosial di Indonesia pada dasarnya berlokus di pedesaan. Oleh karena itu, pengamatan atas berbagai aspek kehidupan di pedesaan menjadi sangat penting. Kerangka struktural yang mengkondisikan adanya sebuah pemberontakan ini yang dapat menjelaskan mengapa sebuah pemberontakan bisa muncul dalam suatu dimensi waktu dan tempat tertentu. Dalam bagian ini fokus tulisan akan lebih melihat pada kerangka struktural yang mengkondisikan adanya pemberontakan petani di Banten pada tahun 1888.

Prakondisi Struktural dari Pemberontakan
            Pemberontakan petani di Banten, menurut Sartono Kartodirdjo, didasarkan pada sebuah hipotesa bahwa dalam gerakan sosial bisa diperkirakan mempunyai hubungan yang khusus dengan kelas-kelas sosial, dengan kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku bagi mereka, dan dengan etos kultural di dalam golongan-golongan sosial itu.[3] Dalam pemberontakan petani di Banten tidak terlepas dari perpecahan sosial yang tajam dalam masyarakat Banten yang dapat dijelaskan dari posisi sosio-ekonomis golongan-golongan yang saling bertentangan. Kemudian, dampak dari penetrasi kepentingan Barat mempertajam konflik sosial tersebut.
            Di Banten, pada abad XIX mengalami peristiwa yang hampir sama di seluruh wilayah Indonesia, penetrasi kepentingan Barat semakin meningkat. Hal itu dapat dilihat dari tumbuhnya perekonomian uang, perpajakan yang seragam, administrasi yang terpusat, dan sarana komunikasi yang modern. Kemudian, kebijakan fiskal, administrasi dan peradilan yang telah dirumuskan oleh pemerintah pusat harus dilaksanakan oleh pejabat pribumi di tingkat regional dan lokal. Di tingkat rakyat, pelaksanaan pajak kepala, peraturan tentang rodi, dan vaksinasi membuat kemarahan pada petani yang menyebabkan kerusuhan di daerah-daerah pedesaan. Berbagai kebijakan kolonial yang membuat petani semakin miskin, dan terpinggirkan adalah fakta yang mengiringi pemberontakan di sana. Hal itu sudah pasti. Namun demikian, pemberontakan petani di Banten tidak cukup untuk dibaca dari segi penetrasi kepentingan kolonial saja, faktor perubahan di dalam masyarakatnya juga menjadi faktor penting. Pemeriksaan atas perubahan struktur masyarakat ini penting untuk menunjukan dari mana kelompok sosial bisa memberontak dan mengapa ia memberontak.
            Di dalam masyarakat Banten menjelang pemberontakan terdapat sebuah kerangka stratifikasi masyarakat yang menjadi prasyarat material tumbuhnya pemberontakan. Untuk mendefinisikan stratifikasi masyarakat tersebut, penjelasan mengenai faktor ekonomi, terutama dari kepemilikan tanah, peyewaan tanah, dan penguasaan tanah menjadi sangat relevan. Hal itu dimulai dari masuknya kebudayaan Barat yang melahirkan adanya golongan-golongan sosial baru dan terjadi re-stratifikasi dalam masyarakat Banten. Setidaknya terdapat empat golongan yang perlu disorot, yaitu kaum aristokrasi lama, petani, elit agama dan kemunculan elit baru.
Kaum bangsawan yaitu aritokrasi lama mengalami kemerosotan kedudukan, jatuh miskin dan kehilangan kekuasaan politiknya, meski mereka masih punya kedudukan sosial. Mereka bersama dengan petani masih berpegang pada peranan tradisonal. Keduanya sering bekerja sama untuk menghadapi penetrasi sistem-sistem nilai dari Barat. Di sisi lain, meningkatnya pengawasan politik terhadap elit agama, menimbulkan rasa tersingkir dan frustasi yang mendalam diantara mereka, sehingga dengan seiring itu elit agama ini juga bekerjasama dengan kaum aristokrat dan petani untuk melakukan perlawanan kepada kolonial. Sedangkan, golongan yang baru tumbuh dari sistem aristokrasi modern, yaitu pegawai negeri atau birokrat. Golongan tersebut muncul dari ekspansi sistem administrasi Barat. Kemunculannya ini dimaknai oleh aristokrat lama sebagai kesempatan untuk mempertahankan prestise dan pengaruh sosialnya, sehingga elit lama berusaha merapat pada elit baru dengan cara memperkuat afinitasnya (keterikatan).[4]
            Di sisi lain, kekuasaan formal Belanda yang semakin menekan politik lokal di Banten membuat situasi politik semakin tidak stabil.  Hal ini dikarenakan Belanda berangsur-angsur membangun sistem birokrasi yang memaksakan peraturan-peraturan legal rasional kepada rakyat. Adanya westernisasi ini berdampak pada ketegangan diantara aristokrasi tradisional lama dengan elit agama. Bila sebelumnya mereka bersekutu, tetapi karena elit aristokrasi tradisional banyak melebur sebagai golongan baru (lihat di atas, karena kemunculan birokrasi dianggap sebagai peluang oleh aristokrasi lama untuk menulihkan prestise dan kekayaan) dalam sistem birokrasi Belanda membuat ketegangan diantara keduanya semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam perlawanannya berikutnya, pemimpin agama banyak mengarahkan kemarahannya pada elit baru dan pihak kolonial.
Dengan demikian, golongan sosial yang berbeda dalam masyarakat Banten, yang  mana dipengaruhi oleh proses westernisasi, membuat pelbagai golongan yang terlibat dalam konflik sosial dapat dinilai dari kerangka konflik institusional ini. Elit agama dan sebagian aristokrasi lama berpegang pada nilai tradisional, sedangkan elit baru berpegang pada modernisasi ala kolonial. Dalam pandangannya, Sartono Kartodirdjo menilai bahwa konflik sosial di Banten dapat dilihat sebagai konflik antar golongan yang dapat dibedakan satu sama lain karena menganut norma dan nilai yang berlawanan.[5] Dampak dari Barat ini, mengganggu keseimbangan integrasi politik tradisional dan membuatnya sulit bertahan karena gempuran westernisasi. Sehingga, satu-satunya cara untuk bereaksi terhadap efek yang mengacaukann lembaga tradisional ini adalah mobilisasi petani dan melawan kolonial.             
            Di saat yang bersamaan, kebangkitan kembali agama di Jawa semakin menggeliat. Ini terjadi dari meningkatnya orang yang berhaji, pesan-pesan Islam, meningkatnya pesantren dan tarekat-tarekat. Kebangkitan kembali agama (revivalis) ini mampu mencetuskan tanggapan yang emosional atas situasi yang mengganggu atau yang menimbulkan frustasi. Tarekat yang tumbuh subur mendorong adanya fanatisme, sedangkan gagasan eskatologis Islam mengubah para anggota tarekat menjadi kelompok revolusioner yang militan untuk menggulingkan kekuasaan. 
            Dalam melihat pemberontakan di Banten ini, kita harus menempatkan elit agama dalam posisi yang sentral, karena golongan ini terdiri dari penduduk pedesaan yang juga petani, menentang modernisasi serta berusaha mencegah perubahan sosial di Banten.  Nilai-nilai keagamaan digunakan untuk memperkuat nilai tradisional dan menentang pengaruh Barat. Akibatnya, elit tradisional dibatasi sebuah kerangka untuk menentang elit agama dan dipaksa mengambil sikap agresif. Sistem normatif ini menimbulkan kekuasan politik dengan akibat bahwa elit agama tampil sebagai lawan kuat birokrat-birokrat kolonial. Pada umumnya peranan kaum petani tidaklah sangat kuat dalam pemberontakan Banten, mereka hanyalah bersikap pasif. Perlawanan itu sendiri banyak dipimpin oleh elit agama dan elit desa.
            Dari penelitian Sartono Kartodirdjo ini, keresahan di masyarakat Banten dapat meledak menjadi pemberontakan karena berbagai hal, diantaranya, Pertama, terdapat suatu tradisi memberontak; Kedua, terjadi ketegangan yang terus menerus yang bersumber pada keadaan dimana masyarakat yang mayoritas mengalami ketersingkiran politik dan kehilangan privillege-nya; Ketiga, dampak penetrasi dominasi penguasa secara bersamaan menyatukan sendi-sendi keagamaan; Keempat, adanya satu kepemimpinan yang memberikan arahan perlawanan.[6]   



[1] Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 terj., Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1984.
[2] Ibid. hlm. 18
[3] Ibid. hlm. 33
[4] Ibid. hlm. 35
[5] Ibid. hlm. 36
[6] Abdul Muntholib, “Gerakan Protes Sosial Petani di Jawa pada Masa Kolonial: Dalam Perspektif Sejarah Sosial Pedesaan”, Forum Ilmu Sosial, Vol. 36, No. 1, Juni 2009, hlm.

Baca artikel lanjutan:


  1. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 1
  2. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 2
  3. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 3
  4. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 4
  5. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 5
  6. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 6

No comments:

Post a Comment

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts