Pemikiran Arab dan Perjuangan Meraih Kemerdekaan
Nasional 1918-1945
Pada masa periode sebelum 1918-1945
pemikiran Arab didominasi oleh persoalan-persoalan mengenai kultural dan
kebangkitan. Paska Perang Dunia I, persoalan yang ada di sekitar bangsa Arab
berubah menjadi persoalan melawan dominasi Eropa. Hal ini sangat menyulitkan
bangsa Arab karena Eropa dengan ganas berupaya mengobrak-abrik masyarakat Arab
pada saat itu. Sudah menjadi kewajiban bagi suatu bangsa untuk mempertahankan
keutuhan bangsa dan negaranya dari campur tangan asing. Oleh sebab itu,
mulailah bermunculan para pemikir dan tokoh nasionalis yang mempengaruhi
kebangkitan bangsa Arab.
Periode 1918-1945 bisa dikatakan
sebagai peridoe di antara dua Perang Dunia. Mulainya periode ini ditandai oleh semakin
berkembangnya pemikiran yang memainkan peranan utama dari setiap gerakan
sosial. Gerakan yang sangat mencolok adalah gerakan nasionalis. Selain gerakan
nasionalis, terjadi pula revivalisme Islam dan sosialisme liberal. Bangsa Arab
melakukan berbagai upaya dalam melawan rintangan yang mereka hadapi, salah satu
upayanya adalah pembentukan-pembentukan gerakan ideologis dan politik.
Kaum nasionalis bangsa Arab mulai
membentuk partai-partai politik pada periode ini. Beberapa partai politik
pertama yang berdiri adalah Partai Wafd di Mesir, Liga Aksi Nasional, Partai
Sosialis Nasional Suriah di Suriah, Partai Al-Ahali di Iraq, Partai Destour di
Magrib, Partai Kemerdekaan di Magrib. Bukan hanya partai politik, konon selama
periode ini partai komunis banyak terbentuk.
Orang-orang yang tergabung dalam
partai politik ini adalah masyarakat dari kelas menengah, rakyat umum, bukan
dari kalangan para elit. Keruntuhan Dinasti Usmaniyah membangkitkan kesadaran
kaum elit untuk membangun kembali kekhalifahan Islam, namun bedanya kali ini
mereka ingin agar kekhalifahan berpusat di wilayah Mesir atau Arab.
·
Ali Abdul Raziq (1888-1966)
Ali Abdul Raziq adalah seorang syeikh
Universitas Al-Azhar Kairo yang lahir pada tahun 1888. Ia berasal dari keluarga
feodal yang aktif dalam kegiatan politik. Termasuk ayahnya juga berkecimpung
dalam dunia politik. Ali Abdul Raziq dipecat dari Universitas Al-Azhar Kairo
karena pemikirannya yang tidak sesuai dengan ulama-ulama Universitas Al-Azhar. Pada
tahun 1925 ia menerbitkan buku kontroversionalnya yang berjudul Al-Islam wa
Al-Ushul Al-Hikm (Islam dan Basis Otoritas).
Dalam bukunya ia menyatakan bahwa
sistem kekhalifahan yang berdiri setelah Nabi Muhammad SAW meninggal merupakan
sebuah tatanan politik semata, bukan religius. Menurutnya, salah jika umat
Islam tidak boleh menerapkan sistem politik yang sesuai dengan keinginan dan persetujuan
rakyat suatu bangsa. Pemikiran-pemikiran Ali Abdul Raziq yang ia tuang dalam
buku tersebut secara umum adalah tentang sekularisme, yaitu memisahkan antara
agama dan negara. Dia berpendapat bahwa agama tidak ada kaitannya sama sekali
dengan negara.
·
Taha Husein (1889-1973)
Taha Husein adalah figur
kesusastraan dan pendidikan terkemuka bangsa Arab. Tahun 1926 ia menerbitkan
buku Fi Al-Syi’r Al-Jahiliy (Tentang Puisi Pra-Islam). Dalam bukunya ia mempertanyakan
otentisitas puisi pra-Islam yang dianggap telah membentuk pemikiran Arab. Ia
kemudian menyimpulkan bahwa mayoritas puisi pra-Islam disusun pada masa
kemunculan Islam, bukan memang benar-benar berasal dari sebelum Islam datang.
Sepuluh tahun kemudian Taha Husein menerbitkan
buku lagi dengan judul Mustaqbal Al-Tsaqafa fi Mishr (Masa Depan Kebudayaan
Mesir). Dalam buku ini ia menyimpulkan bahwa Mesir lebih condong ke Barat,
bukan ke Timur. Ia menegaskan bahwa Mesir harus mengikuti jejak Eropa agar bisa
setara dan menjadi partner peradaban mereka. Taha Husein sendiri menganut
nasionalisme Mesir. Kesatuan wilayah baginya merupakan pokok dari solidaritas
sosial dan perasaan kenegaraannya tertuju pada tanah air. Dalam masalah
kebangsaan ia tidak membedakaan antara warga Mesir muslim dan non muslim.
·
Hassan Al-Banna (1906-1949)
Ia adalah pendiri Al-Ikhwān
Al-Muslimūn di tahun 1928. Ia menyeru kelompok kelas menengah agar kembali pada
mata air Islam. Dengan ketaatan terhadap hukum Islam kekuasaan dan kejayaan
bisa dibangkitkan lagi oleh sebuah negara Islam. Ia percaya bahwa kemunduran
kaum muslim adalah adanya kerenggangan dengan agama. Reformasi berarti kembali
pada ajaran Islam.
Ia pernah mengatakan bahwa sesungguhnya
seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali jika ia menjadi seorang
politikus, mempunyai pandangan jauh ke depan dan memberikan perhatian penuh
kepada persoalan bangsanya. Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan
perhatian kepada persoalan-persoalan bangsanya. Ia juga pernah memaparkan bahwa
sesungguhnya dalam Islam ada politik, namun politik yang padanya terletak
kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah politik kami.[1]
·
Salama Musa (1887-1958)
Pemikiran Salama Musa yang
menghantarkannya dalam barisan pemikir sekuler banyak tertuang dalam bukunya Al-Yaum
wa Al-Ghad. Salama Musa adalah
seorang pemikir yang pernyataannya terlalu transparan vulgar dan kontroversial.
Ia bahkan berani melintasi batas-batas rawan kesakralan teks-teks wahyu. Jika
melihat beberapa pernyataan darinya yang cukup berani, tidak sedikit orang yang
menganggapnya orang Barat yang non muslim. Ia banyak menghasilkan tulisan
mengenai sosialisme, demokrasi politik, teori evolusioner, nasionalisme Mesir,
sastra dan sekularisme.
Ia menganggap tradisi muslim dan
Arab terbelakang, dan menyerukan agar Arab mengadopsi peradaban Barat secara
total. Ia mengatakan “Meski matahari terbit di Timur, namun cahaya datang
dari Barat.” Ia juga dengan tegas menyatakan, “Inilah madzhabku yang
kujalani selama hidupku baik secara sembunyi ataupun terus terang. Saya adalah
kafir di Timur dan mukmin di Barat.”
[1]
Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Terj. Anis Mata,
(Solo:Intermedia,2001) hal 63
No comments:
Post a Comment