Pemikiran
Arab pada masa Pembentukan
(1850-1914)
Kecenderungan Religius
Kecenderungan Religius
Pemikiran Arab kontemporer muncul dalam sebuah masa
transisi yang dibentuk oleh keruntuhan Dinasti Usmaniyah dan invasi dan
dominasi kekuatan Eropa atas negara-negara Arab. Pengaruh modern Barat atas
Timur belum pernah ada sebelumnya baik dalam intensitasnya atau luasnya.
Pengaruh penuh pembaratan atas Timur sebagai keseluruhannya baru saja mulai
sekitar abad pertengahan ke 19. Penyebabnya ini adalah karena adanya jalan raya
dan rel kereta api, pos dan kawat, buku dan surat kabar, metode dan ide, yang
telah menerobos atau dalam proses perembesan masuk kedalam dunia Timur.
Debat-debat antar intelektual yang mewakili berbagai
macam segmen dan kelas sosial mengerucut pada isu tentang identitas nasional
dan pembaruan guna merespons tantangan baru ini. Beberapa kelompok menfokuskan
diri pada kelemahan yang diderita Timur dan obat yang diperlukan untuk
memulihkannya; sumber kekuatan dan kesejahteraan Eropa; konflik antara Barat
dan Timur; isu-isu lain yang berpusar diantara identitas nasional dan
pendifinisian kembali konsep tentang ummah,
reformasi melalui sains dan agama dan inovasi-inovasi Barat yang bias diadopsi
tanpa perlu berkonflik dengan agama dan orientasi nilai mereka. Untuk
memfokuskan diri mengapa pemikiran Arab muncul pada tahun 1850-1914, penulis
membagi kedalam tiga kecenderungan,yaitu kecenderungan religius, kecenderungan
Liberal, dan kecenderungan progresif.
2.1.1
Kecenderungan
Religius
Tradisional versus Reformis. Pada
periode pembentukan ini terdapat suara dominan yaitu gagasan-gagasan dari
para pemikir religious yang masih tetap
memegang teguh pentingnya kekhalifahan Islam. Dikalangan pemikir Islam telah
terjadi perbedaan pendapat antara kaum Tradisional dan Reformis. Kelompok
tradisional yang terdiri atas para Ulama yang menjadi penasihat resmi sultan
dan keluarga-keluarga feudal. Kelompok tradisional ini bisa disebut sebagai
kelompok yang menggunakan Islam sebagai mekanisme control yang mengekspresikan
pandangan-pandangannya secara asertif bukan analitis sebagai senjata pamungkas
politik represi. Para ulama seperti Abu Huda al-Sayyadi bisa digolongkan
sebagai satu wakil dari kelompok tradisionalis pada masa itu.
2.1.1 Kecenderungan Religius
Sementara kelompok reformis muslim
menggunakan pendekatan yang berbeda. Bersama-sama , para intelektual ini
memimpin gerakan salafiyah untuk Meremajakan lagi khalifahan Islam dengan cara
kembali pada sumber-sumber asli dan kemurniaan Islam masa lalu. Kelompok ini
menentang invasi Barat, namum memberikan apresiasi pada sains dan raihan
kultural Barat. Tokoh-tokoh dari kelompok ini diantaranya Jamaludin Al-Afghani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Rida.
·
Jamaluddin Al Afghani
Jamaluddin
Al Afghani adalah salah seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad
ke-19, yang agak berbeda dari kedua pemimpin sebelum dia: Muhammad bin Abdul
Wahab (abad-18) dan Muhammad bin ‘Ali As-Sanusi (awal abad-19). Jamaluddin
lahir di Afghanistan pada tahun 1839 M. meninggal dunia di Istambul di tahun
1897 M. ketika baru berusia dua puluh dua tahun ia telah menjadi pembantu bagi
pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 M. Ia menjadi
penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia dia di angkat oleh Muhammad
A’zam Khan menjadi perdana menteri. Dalam pada itu Inggris telah mencampuri
soal politik dalam negeri Afghanistan dan dalam pergolakan yang terjadi Afghani
memilih pihak yang melawan golongan yang disokong Inggris. Pihak pertama kalah
dan Afghani merasa lebih aman meninggalkan tanah tempat lahirnya dan pergi ke
India di tahun 1869 M.[1]
Jamaludin Al-Afghani mengajak umat
muslim untuk bersatu dan mereformasi Islam baik sebagai agama maupun sebagai
sebuah peradaban, agar bisa menghadapi bahaya yang dibawa oleh Eropa. Dalam
pemikirannya, Afghani mengusulkan dua langkah perbaikan yang terlihat
kontradiktif, kembali pada sumber asli Islam dan mengadopsi gagasan-gagasan dan
institusi Eropa yang liberal termasuk sains, konstitusi, persatuan komunal,
pemilihan umum, dan dewan perwakilan nasional ala Barat.
Jamaluddin
melihat empat penyakit yang menggerogoti Islam; dan menawarkan delapan solusinya.
Keempat penyakit itu adalah:
·
absolutism dalam mesin pemerintahan,
·
sifat kepala batu dan kebodohan
massa rakyat Muslim serta keterbelakangan mereka dalam ilmu dan peradaban,
·
tersiarnya ide-ide korup dalam bidang
agama dan nonagama
·
dan pengaruh kolonialisme Barat.
Sesuai
dengan empat penyakit itu, Jamaluddin memberikan delapan hal sebagai obat,
sebagaimana ditulis oleh Muthahhari dalam Islamic Movement of the Twentieth
Century.[2]
(1)
Bangkitkan kesadaran berpolitik
melawan absolutisme. Harus dijelaskan kepada massa bahwa perjuangan
berpolitik adalah kewajiban agama; bahwa tidak ada pemisahan antara agama dan
politik; bahwa setiap orang harus terlibat dalam nasib politik Negara dan
masyarakat Islam.
(2)
Lengkapi diri dengan sains dan
teknologi modern. Dominasi Barat terjadi karena keunggulan dalam sains dan
teknologi. Kaum Muslim tidak harus menolak segala hal yang dating dari Barat.
Mereka harus belajar dari Barat, tetapi bukan mengadopsi peradaban mereka;
sains dan teknologilah yang harus mereka kuasai.
(3)
Kembalilah kepada Islam yang
sebenarnya.
Praktek-praktek korup dan tambahan-tambahan yang tidak bermanfaat dalam
pengalaman Islam harus dibuang; umat harus dikembalikan kepada Al-Quran,
As-Sunnah, dan kehidupan suci pada zaman permulaan Islam.
(4)
Hidupkan akidah Islam sebagai akidah
yang komprehensif dan independen. Islam adalah agama sains dan kerja keras, agama yang
menuntut tanggung jawab, agama memuliakan akal; dan membenci takhayul. Dia
menganjurkan murid-muridnya untuk menghidupkan kembali filsafat dalam khazanah
pemikiran Islam.
(5)
Lawan kolonialisme asing. Penjajah asing di dunia Islam bukan
saja mengandung implikasi eksploitasi politik, tetapi jiga dominasi ekonomi dan
budaya. Kaum Muslim harus disadarkan bahwa sekularisme adalah taktik Barat
untuk melepaskan pengaruh Islam dalam masyarakat. Harus ditegaskan bahwa kultur
Barat tidak akan membawa kemakmuran manusia. Kultur Barat adalah kultur
penindasan.
(6)
Tegaskan persatuan Islam. Untuk melawan invasi Barat, kaum
Muslim harus bersatu. Bersatu tidaklah berarti menyatukan mazhab. Bersatu
berarti menyatukan front politik dan organisasi. Ia mengecam pembagian
Islam dalam negara-negara kecil dan mengkhutbahkan Pan-Islamisme.
(7)
Infuskan ruh jihad ke jasad
masyarakat Islam yang setengah mati. Menghadapi kehancuran akibat Barat,
kaum Muslim harus menegakkan Islam sebagai agama perlawanan dan perjuangan.
(8)
Hilangkan rasa rendah diri dan rasa
takut terhadap Barat. Lewat sebuah cerita kiasan dalam Al-‘Urwah Al-Wutsqa,
ia mengingatkan kaum Muslim bahwa ketakutan terhadap barat adalah ilusi yang
dibentuk sendiri. Kaum Muslim tidak boleh takut terhadap ingar-bingar suara
barat. Diperlukan orang yang menantang maut untuk menjatuhkan kepongahan Barat.
Seorang
reformis berpengaruh di Mesir dan Negara-negara Arab lainnya adalah Muhammad
Abduh,
·
Muhammad Abduh
Muhammad
Abduh memulai kariernya sebagai seorang pemberontak dan berakhir sebagai
partner otoritas sebelum usianya genap empat puluh tahun. Dia juga berhubungan
baik dengan Lord Cromer, Konsul Jenderal Inggris dan mendedikasikan dirinya
untuk memformulasikan interpretasi Islam yang mencerahkan. Seruannya untuk
kembali pada sumber-sumber asli Islam bersanding harmonis dengan seruan
mengenai perlunya mengadaptasi tuntutan kehidupan modern.
Ia
ingin membebaskan pemikiran Islam dari
kungkungan tradisi dengan mengembalikannya pada sumber-sumber Islam,
mereformasi sistem hokum Islam dan memodernisasi pola pendidikan keagamaan.
Pendekatannya lebih berfokus pada pendidikan dan mencoba menbujuk sultan untuk
mereformasi sistem pendidikan.
·
Muhammad Rasyid Rida
Dia
menyerukan persatuan Islam dan Arab dalam sebuah sistem kekhalifahan yang diperbaharui yang
memadukan pemberlakuan undang-undang untuk membatasi kekuasaan dan mengakhiri
tirani. Setelah restorasi undang-undang Turki tahun 1908, Rida memperingatkan
bahwa terus melanggengkan perselisihan dan pertikaian antar Arab hanya akan
membahayakan bangsa Arab karena demi kepentingan bersama kita harus bersatu dan
loyal terhadap Turki. Antusiasme Rida ini bersumber pada kepercayaan bahwa
Islam jika ditafsirkan dengan benar akan menjadi satu solusi yang kuat bagi
persoalan-persoalan politik, sosial, dan religius modern.
[1] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan
Bintang, Jakarta, 1975, hal. 51.
[2]Debu Yandi, http://yandisangdebu.blogspot.com/2013/05/pokok-pokok-pemikiran-jamaluddin-al.html, diakses 06/10/2014,
pukul 21:00 WIB.
No comments:
Post a Comment