May 6, 2019

Pemikiran Arab pada masa Pembentukan (1850-1914) Kecenderungan Religius


Pemikiran Arab pada masa Pembentukan

(1850-1914)

Kecenderungan Religius



Pemikiran Arab kontemporer muncul dalam sebuah masa transisi yang dibentuk oleh keruntuhan Dinasti Usmaniyah dan invasi dan dominasi kekuatan Eropa atas negara-negara Arab. Pengaruh modern Barat atas Timur belum pernah ada sebelumnya baik dalam intensitasnya atau luasnya. Pengaruh penuh pembaratan atas Timur sebagai keseluruhannya baru saja mulai sekitar abad pertengahan ke 19. Penyebabnya ini adalah karena adanya jalan raya dan rel kereta api, pos dan kawat, buku dan surat kabar, metode dan ide, yang telah menerobos atau dalam proses perembesan masuk kedalam dunia Timur.
Debat-debat antar intelektual yang mewakili berbagai macam segmen dan kelas sosial mengerucut pada isu tentang identitas nasional dan pembaruan guna merespons tantangan baru ini. Beberapa kelompok menfokuskan diri pada kelemahan yang diderita Timur dan obat yang diperlukan untuk memulihkannya; sumber kekuatan dan kesejahteraan Eropa; konflik antara Barat dan Timur; isu-isu lain yang berpusar diantara identitas nasional dan pendifinisian kembali konsep tentang ummah, reformasi melalui sains dan agama dan inovasi-inovasi Barat yang bias diadopsi tanpa perlu berkonflik dengan agama dan orientasi nilai mereka. Untuk memfokuskan diri mengapa pemikiran Arab muncul pada tahun 1850-1914, penulis membagi kedalam tiga kecenderungan,yaitu kecenderungan religius, kecenderungan Liberal, dan kecenderungan progresif.
2.1.1        Kecenderungan Religius
                              Tradisional versus Reformis. Pada periode pembentukan ini terdapat suara dominan yaitu gagasan-gagasan dari para  pemikir religious yang masih tetap memegang teguh pentingnya kekhalifahan Islam. Dikalangan pemikir Islam telah terjadi perbedaan pendapat antara kaum Tradisional dan Reformis. Kelompok tradisional yang terdiri atas para Ulama yang menjadi penasihat resmi sultan dan keluarga-keluarga feudal. Kelompok tradisional ini bisa disebut sebagai kelompok yang menggunakan Islam sebagai mekanisme control yang mengekspresikan pandangan-pandangannya secara asertif bukan analitis sebagai senjata pamungkas politik represi. Para ulama seperti Abu Huda al-Sayyadi bisa digolongkan sebagai satu wakil dari kelompok tradisionalis pada masa itu.
2.1.1 Kecenderungan Religius
Sementara kelompok reformis muslim menggunakan pendekatan yang berbeda. Bersama-sama , para intelektual ini memimpin gerakan salafiyah untuk Meremajakan lagi khalifahan Islam dengan cara kembali pada sumber-sumber asli dan kemurniaan Islam masa lalu. Kelompok ini menentang invasi Barat, namum memberikan apresiasi pada sains dan raihan kultural Barat. Tokoh-tokoh dari kelompok ini diantaranya Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Rida.
·         Jamaluddin Al Afghani

Jamaluddin Al Afghani adalah salah seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad ke-19, yang agak berbeda dari kedua pemimpin sebelum dia: Muhammad bin Abdul Wahab (abad-18) dan Muhammad bin ‘Ali As-Sanusi (awal abad-19). Jamaluddin lahir di Afghanistan pada tahun 1839 M. meninggal dunia di Istambul di tahun 1897 M. ketika baru berusia dua puluh dua tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 M. Ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia dia di angkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi perdana menteri. Dalam pada itu Inggris telah mencampuri soal politik dalam negeri Afghanistan dan dalam pergolakan yang terjadi Afghani memilih pihak yang melawan golongan yang disokong Inggris. Pihak pertama kalah dan Afghani merasa lebih aman meninggalkan tanah tempat lahirnya dan pergi ke India di tahun 1869 M.[1]
Jamaludin Al-Afghani mengajak umat muslim untuk bersatu dan mereformasi Islam baik sebagai agama maupun sebagai sebuah peradaban, agar bisa menghadapi bahaya yang dibawa oleh Eropa. Dalam pemikirannya, Afghani mengusulkan dua langkah perbaikan yang terlihat kontradiktif, kembali pada sumber asli Islam dan mengadopsi gagasan-gagasan dan institusi Eropa yang liberal termasuk sains, konstitusi, persatuan komunal, pemilihan umum, dan dewan perwakilan nasional ala Barat.
Jamaluddin melihat empat penyakit yang menggerogoti Islam; dan menawarkan delapan solusinya. Keempat penyakit itu adalah:
·         absolutism dalam mesin pemerintahan,
·         sifat kepala batu dan kebodohan massa rakyat Muslim serta keterbelakangan mereka dalam ilmu dan peradaban,
·         tersiarnya ide-ide korup dalam bidang agama dan nonagama
·         dan pengaruh kolonialisme Barat.
Sesuai dengan empat penyakit itu, Jamaluddin memberikan delapan hal sebagai obat, sebagaimana ditulis oleh Muthahhari dalam Islamic Movement of the Twentieth Century.[2]
(1)                         Bangkitkan kesadaran berpolitik melawan absolutisme.  Harus dijelaskan kepada massa bahwa perjuangan berpolitik adalah kewajiban agama; bahwa tidak ada pemisahan antara agama dan politik; bahwa setiap orang harus terlibat dalam nasib politik Negara dan masyarakat Islam.
(2)                         Lengkapi diri dengan sains dan teknologi modern. Dominasi Barat terjadi karena keunggulan dalam sains dan teknologi. Kaum Muslim tidak harus menolak segala hal yang dating dari Barat. Mereka harus belajar dari Barat, tetapi bukan mengadopsi peradaban mereka; sains dan teknologilah yang harus mereka kuasai.
(3)                         Kembalilah kepada Islam yang sebenarnya. Praktek-praktek korup dan tambahan-tambahan yang tidak bermanfaat dalam pengalaman Islam harus dibuang; umat harus dikembalikan kepada Al-Quran, As-Sunnah, dan kehidupan suci pada zaman permulaan Islam.
(4)                         Hidupkan akidah Islam sebagai akidah yang komprehensif dan independen. Islam adalah agama sains dan kerja keras, agama yang menuntut tanggung jawab, agama memuliakan akal; dan membenci takhayul. Dia menganjurkan murid-muridnya untuk menghidupkan kembali filsafat dalam khazanah pemikiran Islam.
(5)                         Lawan kolonialisme asing. Penjajah asing di dunia Islam bukan saja mengandung implikasi eksploitasi politik, tetapi jiga dominasi ekonomi dan budaya. Kaum Muslim harus disadarkan bahwa sekularisme adalah taktik Barat untuk melepaskan pengaruh Islam dalam masyarakat. Harus ditegaskan bahwa kultur Barat tidak akan membawa kemakmuran manusia. Kultur Barat adalah kultur penindasan.
(6)                         Tegaskan persatuan Islam. Untuk melawan invasi Barat, kaum Muslim harus bersatu. Bersatu tidaklah berarti menyatukan mazhab. Bersatu berarti menyatukan front politik dan organisasi. Ia mengecam pembagian Islam dalam negara-negara kecil dan mengkhutbahkan Pan-Islamisme.
(7)                         Infuskan ruh jihad ke jasad masyarakat Islam yang setengah mati. Menghadapi kehancuran akibat Barat, kaum Muslim harus menegakkan Islam sebagai agama perlawanan dan perjuangan.
(8)                         Hilangkan rasa rendah diri dan rasa takut terhadap Barat. Lewat sebuah cerita kiasan dalam Al-‘Urwah Al-Wutsqa, ia mengingatkan kaum Muslim bahwa ketakutan terhadap barat adalah ilusi yang dibentuk sendiri. Kaum Muslim tidak boleh takut terhadap ingar-bingar suara barat. Diperlukan orang yang menantang maut untuk menjatuhkan kepongahan Barat.

Seorang reformis berpengaruh di Mesir dan Negara-negara Arab lainnya adalah Muhammad Abduh,
·         Muhammad Abduh
Muhammad Abduh memulai kariernya sebagai seorang pemberontak dan berakhir sebagai partner otoritas sebelum usianya genap empat puluh tahun. Dia juga berhubungan baik dengan Lord Cromer, Konsul Jenderal Inggris dan mendedikasikan dirinya untuk memformulasikan interpretasi Islam yang mencerahkan. Seruannya untuk kembali pada sumber-sumber asli Islam bersanding harmonis dengan seruan mengenai perlunya mengadaptasi tuntutan kehidupan modern.
Ia ingin membebaskan pemikiran Islam  dari kungkungan tradisi dengan mengembalikannya pada sumber-sumber Islam, mereformasi sistem hokum Islam dan memodernisasi pola pendidikan keagamaan. Pendekatannya lebih berfokus pada pendidikan dan mencoba menbujuk sultan untuk mereformasi sistem pendidikan.

·         Muhammad Rasyid Rida
Dia menyerukan persatuan Islam dan Arab dalam sebuah  sistem kekhalifahan yang diperbaharui yang memadukan pemberlakuan undang-undang untuk membatasi kekuasaan dan mengakhiri tirani. Setelah restorasi undang-undang Turki tahun 1908, Rida memperingatkan bahwa terus melanggengkan perselisihan dan pertikaian antar Arab hanya akan membahayakan bangsa Arab karena demi kepentingan bersama kita harus bersatu dan loyal terhadap Turki. Antusiasme Rida ini bersumber pada kepercayaan bahwa Islam jika ditafsirkan dengan benar akan menjadi satu solusi yang kuat bagi persoalan-persoalan politik, sosial, dan religius modern.



[1] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hal. 51.

No comments:

Post a Comment

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts