May 6, 2019

Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 3

GERAKAN SOSIAL DI MASA KOLONIAL


      Gerakan Sosial Ratu Adil
Seperti gerakan sosial tradisional lainnya kerusuhan-kerusuhan mesianistis di Jawa merupakan peristiwa pergolakan yang pendek umurnya dan terbatas tempatnya, misalnya pada sebuah desa atau suatu kelompok persekutuan hidup. Gerakan itu umumnya berasal dari sesorang yang menerima peranan sebagai pemimpin agama, nabi atau guru selamat, dan yang diikuti oleh segolongan orang-orang yang percaya kepadanya. Gerakan ini selalu bersandar pada segi-segi gaib dan umumnya menjelma dalam segi-segi eskatologis dan milenaristis. Memang gerakan itu haruslah di pandang sebagai gerakan yang bersifat revolusioner dalam pengertian bahwa gerakan itu menghendaki suatu perubahan mutlak. Secara singkat gerakan ini menghendaki munculnya satu millennium, yaitu harapan terhadap datangnya jaman keemasan yang tidak mengenal penderitaan rakyat dan semua ketegangan serta ketidakadilan lenyap.
Mesiamisme yang timbul di Jawa Tengah dan Jawa Timur cenderung mengatakan dirinya dalam gerakan Ratu Adil, yang dalam beberapa hal jenis gerakan semacam ini masih dapat di jumpai di daerah tersebut pada masa sekarang. Di Jawa Barat di daerah Sunda, gerakan semacam itu bernama Gerakan Ratu Sunda, gerakan semacam itu yang bernama Gerakan Ratu Sunda. Namun di Jawa Tengahlah gerakan Ratu Adil muncul di masa yang terpanjang. Gerakan mesianistis yang tertua, terkenal dengan apa yang disebut Pemberontakan Diponegoro (yang lebih dahulu) pada sekitar tahun 1720. Pada sekitar tahun 1910-an gerakan-gerakan mesianistis menampakkan dirinya dalam berbagai bentuk. Tidak mengherankan bahwa pergolakan tradisional yang menggongcangkan itu meluas di Jawa berdampingan dengan gerakan nasionalisme modern. Hal ini sejalan dengan meratanya pengaruh dari Westernisasi, Sebagian masyarakat Jawa masih mempertahankan tradisi, seperti dalam dalam pemujaan nenek moyang, orang-orang keramat dan kekuatan-kekuatan magis, sedangkan sebahian masyarakat lain yaitu sebagian masyarakat kota, sedikit telah mengalami suatu tingkatan modernisasi.
Sifat agama dari gerakan-gerakan protes tradisional umumnya dihasilkan oleh kenyataan bahwa masyarakat tradisonal umumnya bereaksi terhadap perubahan sosial dengan jalan keagamaan, semata-mata kerena perubahan itu tidak membawa diferiansi di antara berbagai segi kehidupan. Akibatnya gerakan-gerakan agama cenderung untuk menjadi revolusioner sifatnya, bertujuan untuk mengadakan perubahan secara mutlak dan radikal. Gerakan mesianistis selalu menunjukkan penolakan secara mutlak terhadap tata masyarakat yang telah ada, terutama sesekali menolak secara mutlak adanya orang-orang eropa. Sementara gerakan ini muncul dengan sifat keagamaannya, gerakan-gerakan mesianistis menunjukkan segi politik. 
Peristiwa Gedangan di Jawa Timur pada tahun 1940 dan peristiwa Dermadjaja pada tahun 1970 menggambarkan secara jelas hubungan antara gerakan mesianisme dengan penolakan pemerintah asing. Tujuan pokok dari gerakan ini adalah merubah kehidupan profan dari masyarakat secara mutlak dan radikal, tanpa mengarahkan ketujuan-tujuan dunia baka. Karena sifat tujuannya yang profan dan praktis, maka gerakan ini tidak mempersoalkan masalah kehidupan di akhirat, akan tetapi yang dipersoalkan ialah masalah sekarang, dan oleh karenanya tidak membuat perkiraan tentang nasib akhir daripada manusia. Oleh karena itu gerakan-gerakan ini dapat dibedakan dari gerakan-gerakan keagamaan yang murni. Tetapi karena sebagian gerakan mesianisme di Jawa bersifat sinkretis, sehingga sukarlah untuk membedakan antara gerakan yang profan dan gerakan agama. Banyak gerakan-gerakan ini bersandar pada perkumpulan-perkumpulan Sufi, sehingga tujuan akhirat kadang-kadang ikut juga menjadi suatu unsur. Mesianisme menjadi tekanannya pada sifat keduniawiannya dengan milenarianisme dan sifat spiritual dengan mendasarkan kepercayaan tentang penyelamatan dan kekuatan-kekuatan gaib. Untuk memahami sifat khas daripada herakan-herakanmesianistis di Jawalulah kiranya diketahui lebih dahulu tentang latar belakang budaya tempat gerakan itu terbentuk.
Praktek-praktek Islam yang umum di pedesaan Jawa selalu dipenuhi dengan unsur-unsur non islam seperti mistik, kekuatan ghaib, dan pola-pola adat-kebiasaan lama yang diserap tetapi semua unsur-unsur ini memperlemahkan sifat keagamaannya. Sebagai suatu sistem, “agama rakyat Jawa” memiliki kekuatan yang lain dari pada yang lain dalam mengasimilisasikan unsure-unsur asing yang memperkaya isi iduologinya dan memperkuat kekuatannya dalam menghidupi masa. Mengenai hal ini dapat ditunjukkan misalnya : pemujaan orang-orang keramat, dari para wali, punden, tempat-tempat berziarah, upacara selametan atau sedekah, penggunakan kekuatan magis dalam pengobatan tradisional, penggunakan perhitungan dalam menentukan waktu baik untuk melakukan sesuatu yang penting dalam kehidupan seperti perkawinan, perjalanan, ataupun usaha perdagangan dan usaha. Lembaga keagamaan itulah yang menjadi saluran jaringan-jaringan perhubungan, perluasan ideology dan semangat agama. Karena adanya kenyataan itulah maka beberapa gerakan agama dapat meluas sampai jauh melampaui batas-batas lokalnya,bahwa Belanda sangat mencurigai pesantren dan tarekat sebagai tempat pembentuk kesatuan yang meliputi seluruh bangsa dan sebagai pusat anti-Belanda, serta tempat persengkongkolan para haji.
Pesantren bukan hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga sebagai tempat penanaman kader-kader pemimpin agama. Beberapa pesantren yang terkenal dari ujung ke ujung pulau Jawa pada bagian kedua abad ke -19 antara lain, Pesantren Lengkong (Cirebon), Krapak (Yogyakarta), Tegalsari (Ponorogo), Sidacerna (Surabaya). Banyak pemimpin agama yang merasa terpanggil untuk menyatakan dirinya sebagai pemimpin mesianistis sebagai akibat dari penetrasi Barat yang semakin mendalam. Dengan melalui perluasan penempatan pegawai pamong-praja, pemerintah colonial telah membuat jalan yang semakin lebar bagi penetrasinya ke daerah pedesaan, dan dengan demikian secara tidak langsung mengancam kedudukan elite agama yang ada di daerah tersebut. Akibatnya dengan sifat bermusuhan, maka pemimpin agama mulai menggerakan pesantren dan tarekat dalam gerakan pemberontakan melawan Belamda. Mereka mengutuk pemerintah Belanda atas dasar landasan politik dan agama. Pertama, dalam pandangan keperxayaan kaum Muslimin pemerintahan kafir haruslah ditolak. Kedua, mereka takut kehilangan hak-hak istemewa, kedudukan dan pengaruh terhadap penduduk pedesaan.
Faktor penting yang berlaku umun di sebagian besar gerakan mesianistis ialah bahwa gerakan itu tersusun dari kelompok-kelompok keluarga. Pengumpulan pengikut dilakukan melalui garis kekerabatan, sekalipun pengukut dari luar ikatan itu juga terdapat. Ledakan-ledakan mesianisme telah menunjukkan bahwa di dalamnya termuat tuntutan mengenai penyelamatan masyarakat, yang menjelma dalam ide Ratu Adil dan Imam Mahdi. Didalam mitos Ratu Adil yang dilingkungan masyarakat Jawa sering juga disebut Erucakra, terdapat harapan akan kedatangan seorang raja yang membawa pemerintah yang penuh keadilan. Rakyat akan dibebaskan dari kejahatan, permusuhan, kesakitan dan kelaparan. Tradisi Mesianistis islam masuk ke dalam mesianisme Jawa dan Mahdisme dapat dilihat dengan jelas dalam beberapa aliran gerakan Jawa di Jawa. Mesiamisme Islam yang masuk ke dalam mesianisme Jawa itu umumnya tercermin dalam bentuk eskatologinya.
Contoh gerakan Ratu Adil ini yaitu Gerakan yang terjadi di Jawa, pada tahun 1903 seorang Kyai dari desa Samentara di Kabupaten Sidoarjo, bernama Kasan Mukmin, mulai bertindak sebagai orang yang menerima wahyu dan mengaku sebagai penjelmaan Imam Magdi yang akan mendirikan sebuah kerajaan baru di Jawa. Ia berkhotbah bahwa perang jihad akan di umumkan untuk melawan pemerintah Belanda. Sebelum memproklamasikan diri sebagai guru selamat, Kasan Mukmin telah mengumumkan sekelompok pengikut disekelilingnya. Ia membagi-bagi kan jimat dan menyatakan bahwa ia memiliki kekuatan untuk menyembuhkan penyakit. Tetapi pengetahuannya tentang agama Islam tampak kurang, sedangkan menurut penasehat Belanda ngelmunya sangat meragukan.
Di dalam peristiwa ini terdapat sumber-sumber yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa agitasi yang secara kusus berhubungan dengan rasa dendam dan ketidakpuasan rakyat. Alasan pokok dari tindakan mereka berhubungan dengan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Bukti-bukti juga menunjukkan bahwa pemberontakan itu dijiwai oleh keinginan untuk membalas dendam yang disebabkan karena adanya persilisihan antara petani dengan pengurus perkebunan tebu. Menurut fakta-fakta pemberontakan itu timbul sebagai jawaban terhadap kondisi penyewaan tanah yang tidak wajar, pengerahan tenaga buruh, masalah yang berhubungan dengan system pengairan dan pungutan pajak di daerah-daerah pedesaan.

Gerakan Mesianisme pada berikutnya muncul pada tahun 1970 di desa Bendungan wilayah Kabupaten Berbek di Karisidenan Kediri. Pemimpin dari gerakan ini bernama Dermodjojo, seorang petani kaya dari desa Bendungan yang berumur 60 tahun. Mengenai kapan gerakan itu dimulai tidap dapat diketahui, tetapi yang jelas Derodjojo memproklamisasikan dirinya sebagai Ratu Adil. Ia berminpi bahwa ia telah ditakdirkan menjadi Ratu Adil dan ini diperkuat oleh cerita-cerita orang lain yang memimpikan dia.     Gerakan-gerakan mesianistis lainnya dapat disebutkan misalnya, gerakan Nur Hakim dan Malangjuda yang terjadi berturut-turut 1870-1871 dan 1885-1886. Hampit bersamaan gerakan tersebut, terdapat pula gerakan Ratu Adil yang meletus di daerah lain yang terkenal dengan peristiwa Amat Ngisa. Didaerah Banyumas gerakan-gerakan semacam ini juga muncul pada tahun 1920, diantaranya timbulnnya dua buah gerakan mesianisme yang dikatan menonjol pada waktu itu. Yang pertama adalah terjadi pada tahun 1919, dengan munculnya seorang pemimpin agama dari prembun yang bernama Amadkosdi, dengan mengambil gelar Ratu Gambiranom dan mengajarkan serta menganjurkan perang melawan orang kafir. Gerakan yang kedua dipimpin oleh Mohamad Sirad yang memproklamasikan dirinya sebagai Imam Mahdi. Pergerakan ini karena disebabkan penolakan terhadap lumbung padi dan penolakan untuk mengakui perkawinan menurut tatacara Islam yang resmi.
Baca artikel lanjutan:
  1. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 1
  2. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 2
  3. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 3
  4. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 4
  5. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 5
  6. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 6

No comments:

Post a Comment

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts