September 27, 2017

Istilah Penayangan Pada Blog

Istilah Penayangan di Blog



 Kata penayangan atau yang biasa juga disebut dengan istilah pageview(s),  adalah merujuk pada berapa kali sebuah halaman dimuat oleh browser. Sehingga  dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan penayangan pada blog adalah berapa kali sebuah halaman atau artikel dimuat oleh browser yang akhirnya dapat dilihat oleh pembacanya.


Sebagai contoh:
  1. "Penayangan hari ini = 0’ maka hal ini sama artinya dengan bahwa halaman atau artikel belum pernah dimuat sama sekali oleh browser.
  2. Riwayat penayangan sepanjang waktu = 26 maka sama artinya bahwa halaman atau artikel yang terdapat pada blog tersebut telah 26 (dua puluh enam) kali dimuat oleh browser dan atau dilihat oleh seseorang, terhitung sejak blog tersebut dibuat.

September 25, 2017

Campursari

Campursari

a.      Sejarah Campursari
Campursari merupakan genre musik yang berasal dari campuran beberapa genre musik kontemporer di Indonesia khususnya di Jawa Tengah. Istilah campursari dikenal awal 1970-an, ketika RRI Stasiun Surabaya memperkenalkan acara baru, yaitu lagu-lagu yang diiringi musik paduan alat musik berskala nada pentatonis (tradisional Indonesia) dan berskala nada diatonis (Barat). Namun ada yang mengatakan bahwa campursari kuno pertama kali dipopulerkan oleh Ki Nartosabdo pada tahun 1945 dan muncul campursari modern pada tahun 1993 yang dipopulerkan oleh Manthous.
Campursari berasal dari dua kata yaitu campur dan sari. Campur berarti berbaurnya instrumen musik baik yang tradisional maupun modern. Sari berarti eksperimen yang menghasilkan jenis irama lain dari yang lain. Para seniman memadukan dua unsur musik yang berbeda yaitu instrumen musik etnik yaitu gamelan dan instrumen musik modern seperti gitar elektrik, bass, drum serta keyboard, sehingga dapat dikatakan bahwa campursari adalah musik hasil percampuran antara musik barat dan tradisional.
Jenis musik campursari sudah ada 40 tahun silam namun sempat menghilang, lalu menjamur awal 1990-an. Dari segi estetis tak punya kelebihan, tapi enak di telinga. Campursari diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan jenis musik Jawa modern, lirik-lirik lagunya masih mengadopsi lirik gending Jawa tradisional walaupun tidak semua, karena sebagian besar dari senimannya berusaha menciptakan lagu campursari itu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang sedang berlangsung
Musik campursari mulai terkenal seiring meroketnya nama Waldjinah dan Manthous pada awal berkembangnya dulu. Manthous yang mengusung bendera CSGK ( Campursari Gunung Kidul ) merupakan musisi campursari yang terkenal. Pria yang lahir pada tahun 1950 ini menelurkan sejumlah lagu, namun yang  fenomenal adalah kutut manggung. Sayang karir musiknya meredup setelah dia mengidap stroke.
Setelah Manthous mulai menurun pamornya, muncul beberapa musisi campursari yang terkenal kemudian. Nama-nama Didi Kempot, Sonny Joss, Cak Diqin sampai penyanyi campursari baru seperti Soimah bergantian menghiasi blantika musik campursari.
Musik campursari mengalami perkembangan yang cukup pesat terutama di daerah Jawa. Sebagai contoh, perkembangan kesenian campursari di wilayah Jawa Timur ditandai dengan sering ditayangkannya kesenian tersebut di televisi maupun media elektronik lainnya, setiap orang yang memiliki hajat nikahan anaknya juga banyak memanfaatkan seni hiburan gamelan plus dangdut ini. Jenis musik ini diakui sangat cocok dengan telinga masyarakat Jawa Timur karena jenis musiknya bisa dipadu antara lagu-lagu keroncong, langgam, pop, barat dan dangdut.
Pada awal kemunculannya, Campursari mendapat pertentangan dari berbagai pihak terutama oleh seniman musik tradisional karena dianggap menurunkan nilai musik gamelan yang merupakan musik istana.
Menurut penyanyi campursari terkenal, Waljinah, pelantun lagu-lagu campursari yang berhasil  kebanyakan berawal sebagai sinden. Menurut superstar keroncong asli Solo ini, untuk menyanyikan lagu campursari yang didominasi instrumen gamelan, penyanyi harus punya suara tinggi. Sebab, katanya, gamelan adalah instrumen mati, tidak bisa di-stem. Sedangkan jenis instrumen musik Barat bisa menyesuaikan dengan suara penyanyi.
Namun ramai-ramainya sinden ke campursari tidak akan membuat pentas wayang kulit redup. Wayang kulit dan keroncong masih tetap digemari. Bahwa campursari mewabah, menurut Waljinah, mungkin disebabkan biaya pementasan wayang kulit yang mahal ketimbang nanggap VCD campursari.
Lalu apakah sebenarnya campursari adalah suatu bentuk pelestarian budaya atau merupakan perusakan budaya tradisional?
Untuk menemukan jawabannya, kita perlu belajar lagi apa sebenarnya budaya dan seni tradisional dan dengan cara seperti apa budaya dan seni tradisional dapat bertahan hidup di masyarakat.
b.      Kesenian dan Kebudayaan
Istilah seni pada mulanya berasal dari kata Ars (latin) atau Art (Inggris) yang artinya kemahiran. Ada juga yang mengatakan kata seni berasal dari bahasa belanda yang artinya genius atau jenius. Sementara kata seni dalam bahasa Indonesia berasal dari kata sangsekerta yang berarti pemujaan. Dalam bahasa tradisional jawa, seni artinya Rawit (pekerjaan yang rumit – rumit / kecil). 
Menurut Ki Hajar Dewantara, seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari perasaan dan sifat indah, hingga menggerakan jiwa perasaan manusia. Sedangkan tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang keluar alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang terdahulu. Dari pengertian tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa seni tradisional adalah segala apresiasi keindahan oleh manusia yang dilakukan turun-temurun dari nenek moyang.
Setelah mengetahui arti seni, selanjutnya akan kita bahas mengenai pelestarian dan perusakan budaya tradisional. Berikut merupakan rumusan Ki Hajar Dewantara tentang Kebudayaan:
1.  Lahir, tumbuh, berkembang, berbuah, sakit, tua, mundur dan akhirnya mati.
2. Kawin dan berketurunan, kumpul tak bersatu, berasimilasi, manunggal melahirkan bentuk baru.
3.   Mengalami seleksi, yang kuat akan hidup, yang lemah akan mati.
                        4.   Menyesuaikan dengan alam (kodrat) dan zaman (masyarakat).

Dilihat dari rumusan tersebut, musik campursari masuk ke kategori dua. Perkembangan musik campursari dari awal munculnya sekitar tahun 1970 bukanlah sebuah bentuk perusakan kesenian tradisional, tapi merupakan representasi dari kedinamisan masyarakat. Karena masyarakat cenderung dinamis, maka sesuatu yang dihasilkanpun menjadi dinamis.
Berikut merupakan beberapa hal yang dapat dilakukan terhadap kesenian tradisional agar dapat bertahan hidup di dalam masyarakat sebagai bentuk pelestarian kesenian:
1.      Perlindungan kesenian
2.      Pengembangan kesenian
3.      Pemanfaatan kesenian

Ketiga hal tersebut merupakan wujud dari pelestarian kesenian. Secara universal ketiga hal tersebut berarti upaya pencegahan dan penanggulangan dari hal yang dapat menyebabkan kerusakan dan kepunahan karya seni, peningkatan kualitas dan kuantitas karya seni dalam masyarakat, serta upaya penggunaan seni demi kepentingan manusia di bidang pendidikan, agama, hiburan dan lain-lain.

c.       Campursari sebagai pelestarian kesenian tradisional
Dilihat dari beberapa upaya pelestarian kesenian tersebut, musik campursari tidak melanggar satu hal pun. Meskipun hasil dari gabungan genre musik, namun campursari tidak kehilangan unsur langgam jawa dan juga merupakan peningkatan kualitas kesenian dengan cara mencampurkan beberapa genre musik.
Hal yang paling penting didalam karya seni bukanlah ke-otentikan sebuah seni secara turun-temurun, namun dinamis tanpa menghilangkan sifat asli dari karya seni.
Selain mampu untuk mengimbangi masyarakat yang dinamis, musik campursari juga merupakan inovasi. Perpaduan penggunaan alat musik tradisional dengan alat musik modern seperti keyboard, gitar dan bass elektrik, dan lain-lain merupakan sisi inovatif dari campursari. Lirik yang dilantunkan pun mengenai kehidupan masyarakat sehari-hari ataupun lelucon jenaka yang sering kita temui. Jelas bahwa musik ini tergolong musik aliran alternatif karena musik ini memiliki sebuah aliran yang khas, yaitu perpaduan antara tradisi dan inovasi.
Berikut adalah contoh dari lirik lagu campursari berjudul sewu kutho yang dipopulerkan oleh musisi campursari Didi Kempot:
“Sewu kuto uwis tak liwati
Sewu ati tak takoni
Nanging kabeh podo rangerteni
Lungamu neng ngendi”
Lirik tersebut kurang lebih berarti:
“Seribu kota sudah kulewati
Seribu hati sudah kutanyai
Tapi tidak satupun yang mengerti
Kau pergi kemana,”
Dari segi lirik, lagu-lagu campursari cenderung memakai bahasa sederhana dan mudah dimengerti semua kalangan. Selain itu, dengan irama yang enak didengar dan lebih ekspresif, musik campursari masih dapat membawa nuansa tradisional. Komposisi musiknya juga menjadi terkesan tidak monoton karena ada beberapa genre dalam suatu karya seni. Ini membuat pendengar campursari mudah tertarik dengan dinamisme dari musik campursari. Selain itu, musik gamelan yang tadinya merupakan musik istana menjadi dapat dinikmati semua kalangan masyarakat dari kalangan atas maupun kalangan bawah. Tidak heran jika musik ini kemudian memiliki banyak peminat sebagai pemersatu semua kalangan masyarakat.
Campursari yang bertahan pada masyarakat saat ini sudah barang tentu berbeda dengan campursari pada awal kemunculannya pada tahun 1970-an. Seiring perubahan zaman, campursari dikemas semakin modern. Namun campursari tetap tidak kehilangan identitasnya sebagai musik kontemporer hasil penggabungan antara musik langgam jawa dan modern.
Berbeda dengan musik pop, kita tidak bisa membedakan antara musik pop Indonesia dan musik pop luar negeri tanpa teks musikal yang ada karena secara musikal bentuk musik tersebut akan sama. Namun kalau musik campursari, tanpa melihat teks musikalnya pun kita dapat menebak kalau musik tersebut adalah campursari karena ada perbedaan yang mendasar dalam musiknya dengan musik pop yang berkembang.
Ada kalangan yang berpendapat bahwa campursari adalah suatu kreasi dan inovasi, musik ini bersifat universal yang bisa menampilkan dan memadukan berbagai jenis lagu. Pada perkembangannya musik campursari sudah tumbuh dan terus berkembang dengan berbagai inovasinya. Perpaduan yang harmonis akan mendatangkan estetika keindahan, keselarasan yang bermanfaat bagi banyak orang.
Pada dasarnya, masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang statis namun selalu berkembang sedemikian pesat. Selain dinamis, masyarakat Indonesia juga terbuka dengan budaya-budaya baru yang masuk ke Indonesia. Ini terbukti ketika musik-musik melayu dan musik-musik India merajalela di awal tahun 2000, kemudian musik-musik Jepang yang merajalela mulai 2002, budaya musik K-Pop akhir-akhir ini. Hal ini tentu saja membuat pertanyaan besar apakah sebenarnya masyarakat Indonesia terbuka terhadap budaya asing, atau memang tidak memiliki identitas diri dalam musik. Mengapa Indonesia tidak mencoba untuk menciptakan sendiri genre musiknya? Namun bertahannya musik campursari merupakan penangkis dari anggapan tersebut. Campursari merupakan inovasi dan musik asli dari Indonesia. Dengan memiliki campursari dan musik-musik asli Indonesia lainnya, membuktikan bahwa Indonesia memiliki identitas sendiri.

II.                KESIMPULAN
Musik Campursari yang merupakan gabungan dari musik barat dan timur bukanlah merupakan perusakan budaya tradisional Indonesia. Dilihat dari segi inovasi, campursari mampu membawa nuansa tradisional dengan kemasan yang berbeda, lebih ekspresif dan alternatif. 
Musik Campursari merupakan salah satu hasil seleksi alam dalam kebudayaan serta adalah hasil dari pengembangan kesenian yang merupakan salah satu upaya pelestarian budaya. Musik campursari juga tidak kehilangan jati dirinya sebagai musik tradisional.
Menurut Panggah, campursari mewakili masyarakat Jawa dengan citranya yang baru.  Kendati munculnya pro dan kontra terhadap kemurnian aliran musik ini, 
namun semua pihak sepakat dan memahami bahwa campursari menghidupkan kembali musik-musik tradisional di wilayah tanah jawa. Karena musik campursari merupakan musik yang mampu mengusung suatu etnisitas dan patut diterima oleh masyarakat luas tanpa menghapus identitas dari masyarakat pemilik musik itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA


Campursari identitas dalam musik, http://id.shvoong.com/humanities/arts/1905136-campursari-identitas-di-dalam-musik/#ixzz2ADNpteri (diakses pada 17 Oktober 2012)
Awal mula musik campursari, http://doctorseducati.blogspot.com/2011/06/awal-mula-musik-campursari.html (diakses pada 17 Oktober 2012)
Campursari itu musik apa, http://hurek.blogspot.com/2009/10/campursari-itu-musik-apa.html (diakses pada 18 Oktober 2012)
Sejarah campursari dan kendang kempul, http://agunghariyadi37.blogspot.com/2011/06/sejarah-campursari-dan-kendang-kempul.html (diakses pada 21 Oktober 2012)
Sejarah dan perjalanan musik campursari, http://www.lestari.info/2012/01/sejarah-dan-perjalanan-musik-campursari.html (diakses pada 23 oktober 2012)
Makalah seni budaya musik campursari, http://story-putrilarasati.blogspot.com/2012/04/makalah-seni-budaya-musik-campur-sari.html (diakses pada 23 oktober 2012)
Campursari dan musik jawa, http://belajarjawa.com/campursari-dan-musik-jawa/ (diakses pada 24 Oktober 2012)

http//: lingkarstudy.com (diakses pada 23 Oktober 2012)

UPAYA PARA LINGUISTIK DALAM PENELITIAN BAHASA SEMIT

UPAYA PARA LINGUISTIK DALAM PENELITIAN
BAHASA SEMIT

BAB I
PENDAHULUAN
            Bangsa-bangsa Semit di dunia meliputi bangsa Aramiyah, Finiqiyah, ‘Ibariyah, Arabiyah, Yamaniyah, Babiliyah, dan beberapa bangsa yang merupakan keturunan dari bangsa-bangsa tersebut. Dalam bangsa-bangsa Semit tersebut melahirkan berbagai bahasa-bahasa Semit yang sudah ada dari ribuan tahun silam. Bahasa Semit diambil dari kata Sam (anak nabi Nuh AS), sehingga pada waktu itu bahasa ini menyebar ke berbagai belahan dunia. Hal ini yang menyebabkan para peneliti ingin meneliti tentang keberadaan bahasa Semit, ciri-ciri diantara setiap bahasa Semit, dan pengguna dari bahasa Semit. Diantara peneliti tersebut adalah Schlozer, Noldeke, Renan, dan Sibawaih.
             Dalam penelitian itu dapat terlihat dari arah politik, budaya, geografi, perkembangan zaman dan hubungan kekerabatan yang saling terkait diantara bangsa-bangsa tersebut. Seperti bangsa ‘Ibariyah dan bangsa Aramia mempunyai hubungan kekerabatan dengan bangsa Arabiyah. Begitu juga sejarah mencatat masuknya bangsa Finiqiyyah dalam jajaran bangsa Semit dilihat dari arah politik. Dalam perkembangan zaman, dapat terlihat antara bahasa Amiyah dan bahasa Fusha. Pada dasarnya bahasa Fusha merupakan bahasa resmi Arab, kemudian karena perkembangan zaman dan keinginan masyarakat untuk mempermudah pengucapan bahasa maka terbentuklah bahasa Amiyah dan digunakan di kalangan masyarakat Arab.
            Dalam bahasa-bahasa Semit terdapat perbedaan baik dalam pengucapan, penulisan, dan pengguna bahasa Semit itu. Para peneliti mencoba membandingkan antara bahasa-bahasa Semit seperti antara bahasa Arab, bahasa Ibrani, Aramia, dan bahasa Suryaniyah. Dari bahasa-bahasa itu timbulah pertanyaan, Metode apa yang digunakan dalam melakukan penelitian bahasa Semit? Apa kesamaan dari bahasa-bahasa diatas? Apakah terjadi pertumbuhan kosakata baru dalam bahasa Arab? Apakah terjadi perubahan bentuk dalam bahasa Semit?

  
BAB II
ISI
1.                  Linguistik Modern
Para linguis Arab meneliti hubungan antara bahasa-bahasa Semit, yaitu hubungan antara bahasa Arab dengan rumpun bahasa-bahasa Semit yang lain. Dalam penelitian itu, para linguis Arab menggunakan linguistik modern. Linguistik merupakan kajian bahasa secara alamiah. Para linguis menggunakan macam-macam linguistik modern, yaitu linguistik komparatif, linguistik deskriptif, dan linguistik historis.
1.1       Linguistik Komparatif
Dalam linguistik komparatif (perbandingan), Suatu kajian bahasa yang mengambil objek dua bahasa atau lebih yang berasal dari satu rumpun.. Pada abad ke-19, para linguis membagi berbagai bahasa ke dalam rumpun-rumpun bahasa, seperti para linguis Eropa telah mengenal bahwa bahasa Arab berasal dari rumpun bahasa Semit yang juga mencakup bahasa Ibrani, bahasa Aramea, bahasa Akadia, dan bahasa Habsyi. Para linguis dapat membagi berbagai bahasa ke dalam rumpun-rumpun bahasa dengan membandingkan bahasa-bahasa ini dan menemukan aspek-aspek kesamaan di antara bahasa-bahasa itu dari fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Dari aspek-aspek kesamaan di antara sejumlah bahasa, mengungkapkan bahwa bahasa-bahasa itu berasal dari pangkal yang sama. Oleh karena itu, para linguis menyimpulkan bahwa bahasa itu adalah bahasa-bahasa yang membentuk satu rumpun bahasa dan berasal dari bahasa pangkal yang sama. Jadi, Linguistik komparatif membandingkan bahasa Akadis, bahasa Ugarit, bahasa Ibrani, bahasa Fenesia, bahasa Aramea, bahasa Arab Selatan, bahasa Ibrani Utara, dan bahasa Habsyi. Sebagai contoh, studi banding antara bahasa Arab dengan bahasa Ibrani yang kedua-duanya sama-sama termasuk rumpun bahasa semit. Dimana dalam bahasa Arab terdapat kata اللسان dan dalam bahasa Ibrani terdapat kata لاشون.Metode yang ketiga bernama Metode Deskriptif yang merupakan Suatu bentuk kajian bahasa secara ilmiah mengambil tataran bahasa atau dialek tertentu baik dari aspek bunyi, kata, kalimat, atau makna pada kurun waktu dan tempat tertentu pula. Dari metode ini bisa diambil contoh dari bahasa Fushah dan bahasa Amiyah dimana kedua bahasa ini mulai berbeda pengucapan yaitu antara Kata الْعِنَب (anggur) menjadi الْعِيْنَب.


1.2       Linguistik Deskritif
Linguistik deskriptif mengkaji secara ilmiah satu bahasa atau satu dialek pada masa tertentu dan tempat tertentu. Teori yang di buat oleh De Saussure tentang kemungkinan untuk mengkaji bahasa secara deskriptif atau historis, membuat para linguis menaruh perhatian terhadap metode deskriptif di seluruh penjuru dunia. Linguistik deskriptif mengkaji suatu konstruksi bahasa atau suatu dialek. Setiap bahasa dan setiap dialek tersusun dari bunyi-bunyi bahasa yang tersusun dalam katakata; dari kata-kata itu tersusunlah kalimat untuk menyatakan berbagai makna. Perbedaan antara bahasa dan dialek merupakan perbedaan peradaban yang tidak lahir dari konstruksi bahasa. Akan tetapi ia didasarkan pada asas bidang-bidang pemakaian. Pemakaian dalam bidang budaya dan ilmu menjadikan tataran bahasa yang dipakai itu sebagai sebuah bahasa. Metode deskriptif dapat diterapkan dalam menganalisis konstruksi suatu bahasa atau suatu dialek baik dari aspek bunyi, kata, kalimat atau makna pada kurun waktu dan tempat tertentu.
Dari metode ini bisa diambil contoh dari bahasa Fushah dan bahasa Amiyah dimana kedua bahasa ini mulai berbeda pengucapan yaitu antara Kata الْعِنَب (anggur) menjadi الْعِيْنَب. Kedua bahasa itu merupakan satu rumpun yang berbeda karena perbedaan kawasan yang dihuni. Dimana perubahan bahasa Arab Amiyah berbeda jauh dari bahasa aslinya. Sebagai contoh kata السَّوْط (cambuk) menjadi اِسْطَوْط , kata ثَلاَثَةُ دَنَانِيْر  (tiga dinar) menjadi ثَلْثَدَّا. Dalam pemakaian kedua bahasa ini bisa dilihat dari letak geografis seperti di daerah atau desa di Arab dimana mereka menggunakan bahasa Arab Fushah sedangkan di perkotaan, masyarakat lebih senang memakai bahasa Amiyah yang mudah untuk diucapkan.Faktor yang lain adalah karena kesalahan pelafalan manusia seiring dengan perkembangan zaman. Padahal tadinya satu bahasa. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Suhaili tentang hubungan antara bahasa Arab dengan bahasa Suryania. Beliau mengatakan: “Sesungguhnya terdapat banyak kemiripan bahkan kesamaan antara bahasa Suryania dan bahasa Arab.”
1.3       Linguistik Historis
Linguistik historis mengkaji perkembangan (sejarah) sebuah bahasa. Kajian fonologi historis meliputi kajian perkembangan sistem fonologi bahasa arab fusha. Sementara itu, kajian morfologi historis melalui perkembangan konstruksi morfologi dan sarana pembentukan kosakata dalam bahasa Arab selama beberapa abad. Sedangkan kaijan sintaksis historis meliputi perkembangan jumlah syarthiyah (kalimat syarat) atau jumlah istifham (kalimat tanya) dalam bahasa Arab fusha. Lalu kamus historis yang membukukan sejarah kehidupan setiap kata dalam bahasa itu termasuk teks yang paling klasik yang dibawanya dengan menelusuri perkembangan maknanya lewat perjalanan sejarah merupakan bagian linguistik historis. Sejarah bahasa tidak mengkaji perkembangannya secara struktural dan leksikal saja, melainkan juga mengkaji perkembangannya dan kehidupannya di masyarakat. Maka persebaran salah satu bahasa, kondisi-kondisi, dan pengaruhnya terhadap konstruksi bahasa merupakan bagian dari objek linguistik historis. Hubungan bahasa dengan fungsinya atau berbagai fungsinya pada masyarakat bahasa tentu mempengaruhi kehidupan bahasa. Jadi terdapat perbedaan antara bahasa yang di pakai oleh masyarakat dahulu dengan masyarakat yang hidup sekarang. Sebagai contoh, Dalam sejarah bahasa Arab,  bagaimana keadaan bahasa Arab dalam rentang waktu yang panjang mulai dari masa Jahiliyah sampai masa kini, yaitu dalam masa jahiliyah terdapat penulisan arab atau khat Kufi yang ditulis dalam bentuk kotak dan dalam masa kini mengenal dengan khat naskhi.

2.                  Perubahan dalam Bentuk
Pada abad ke-2, terdapat seorang linguis bernama Sibawaih yang menulis buku yang berjudul “Umda fin Nahwi”, dimana linguis besar itu mengamati bunyi الضاد termasuk bunyi-bunyi yang sulit diucapkan oleh orang-orang Badwi. Di Irak, Sibawaih meneliti tentang pengucapan huruf الضاد yang ternyata tidak dikenal oleh dialek Aramea. Namun pengucapan huruf الضاد dan الظاء diucapkan sama di Irak. Sedangkan bunyi الضاد di Mesir diucapkan seperti الدال. Dari dialek orang Badwi, terdapat perbedaan pengucapan antara huruf القاف menjadi الجاف seperti dalam kalimat: هوقاللي  menjadi هوجاللي. Sementara itu seorang linguis bernama Dozi meneliti berbagai kosakata yang tidak dimiliki oleh bahasa Arab, seperti إجتماء, انفعل, dan wazan yang lainnya yang dimuat dalam kamus yang berjudul kamus Dozi.menurut Dozi, pola  إجتماء belum dikenal dalam Lisanul Arab.
3.                  Kata-Kata Baru
Perkembangan kata-kata baru dalam bahasa arab berguna untuk memperjelas fungsinya. Sebagai contoh wazan فاعل dan wazan مفعول (serta wazan-wazan lainnya, hampir tidak terjadi perubahan bentuk). Akan tetapi perubahan dalam wazan-wazan ini terdapat dalam konstruksi kata-kata baru yang tidak dikenal oleh masyarakat Badwi lama. Perbandingan antara Lisanul Arab dengan kamus Dozy. Pada abad ke-7 H, Lisanul Arab telah memanfaatkan kamus-kamus yang pernah disusun pada fase-fase sebelumnya. Pada abad 4 H Azhari (kamus “Tahdzibul Lughah”) sendiri telah membukukan korpus bahasa di Gurun Sahara. Jadi, sesungguhnya korpus bahasa adalah korpus Badwi dan kebanyakannya merujuk ke abad 2 H. Kamus At-Tahanawi karya ilmuwan Hendi Jalil pada abad 13 H, mengungkapkan peristilahan seni. Bahasa Badwi telah membantu masyarakat peradaban Islam dengan berbagai entri bahasa (kata-kata dasar). Dalam bahasa Badwi terdapat sejumlah pola atau wazan, misalnya wazan انفعل dari entri جمع, yaitu انجمع. Kata itu tidak ada dalam Lisanul ‘Arab, tetapi ia dipakai di Andalusia-Islam. Muqri mengatakan: النفوس على انجمعت.
Namun dalam wazan جمع, tidak mencangkup wazan-wazan yang lain seperti افعنلى , افعنلل , افعوعل , افعال . Pada kata جمع, akan ditemukan kata الجامعة. Kata ini dipakai dalam Lisanul ‘Arab sebagai sifat bagi muannats dan sebagai isim. Sebagai sifat, misalnya, yaitu di dalamnya terkumpul banyak hal. Dan kata الجامعة sebagai isim berarti الغال atau القيد. Ada perbedaan antara pemakaian lama dan pemakaian baru. Kita mengenal الجامعة sekarang sebagai arus politik, yaitu الاسلامية الجامعة sebagai organisasi internasional, seperti الجامعة العربية sebagai lembaga akademik, seperti القاهرة  جامعة sebagai lembaga ilmiah non akademik, seperti  الشعبية الجامعة .
Kemudian pemakaian kata (جماعة) dalam bahasa amiyah sebagai kinayah dari (الزوجة). Ada sejumlah kata yang tidak dikenal dalam bahasa Arab hingga abad 2 dan berasumsi bahwa Lisanul ‘Arab telah memberikan gambaran yang terpercaya. Kata (جمعية) tidak dikenal dalam Lisanul ‘Arab. Pertama kali kata itu kita dapati dalam kamus Dozi. Di bawahnya ia menyebutkan (البلد أهل جمعية) . Akan tetapi sekarang kita menggunakan kata itu secara istilah umum. Demikian juga tentang kata ( اجتماع). Kata ini tidak dikenal dalam Lisanul ‘Arab, tetapi disebutkan oleh Dozi dari Abul Fida dengan arti “pertemuan”. Kemudian dikhususkan oleh At-Tahanawi dalam “Kasysyaf Isthilahat al-Funun” dengan sajian yang panjang lebar. Dia berbicara tentang konsep (اجتماع ) di kalangan ahli astronomi dan kalangan ulama ilmu kalam serta para ahli nahwu. Setiap ilmu ada istilahnya, sekarang apabila kita mengatakan kata (الاجتماع) segera terlintas dalam pikiran kita (اجتماع) adalah pertemuan sekelompok manusia di suatu tempat atau kesepakatan mereka terhadap sesuatu. Di samping itu, sekarang terdapat kata (المجموع) sebagai isim yang berdiri sendiri. Demikian pula kata (مجموعة) sebagai isim lain, tetapi kata itu dahulunya telah dikenal. Kata (المجموعة) dahulunya tidak dikenal sebagai isim yang berdiri sendiri, melainkan sebagai sifat.


4.      Pertumbuhan Kosakata Baru dalam Bahasa Arab
Dalam kitab Al-Fihrasat karya Ibnu Nadim: Asma an Naqalah min al-Lughat ila al-Lisan al-‘Araby. Kata isim adalah kata dalam bahasa Semit klasik yang akan didapatkan dalam satu gambaran atau gambaran lain dalam semua bahasa Semit. Itu dapat ditemukan dalam prasasti-prasasti bahasa Akadia yang tercatat dalam sejarah pada pertengahan 3000 tahun SM. Jadi, kata ini usianya lebih dari 45 abad. Kata ini telah dikaji berdasarkan metode komparatif. Kebanyakan linguis berpendapat bahwa kata itu berasal dari asal tsunai, yaitu (السين) dan (الميم) atau (الشين) dan (الميم). Kemudian setelah itu, kata tersebut berkembang dalam kecenderungan tsulatsi, sedangkan (الألف) yang kita lihat dalam khat Arab tentang kata ini adalah alif washal yang gugur ketika kata itu diucapkan dalam konteks. Bentuk kata yang ada di hadapan kita adalah bentuk jamak taksir. Bentuk jamak taksir merupakan fenomena yang bertalian dengan kelompok bahasa Semit Selatan, dan bahasa Arab Utara, tetapi tidak terdapat dalam bahasa-bahasa Semit klasik di Irak dan Syam. Kata yang kedua dalam frase ini adalah kata (نقلة), yaitu berasal dari entri dalam bahasa Arab (نقل). Dalam kitab Al-Fihrasat karya Ibnu Nadim bahwa pemakaian kata (نقلة ناقل) berarti (مترجمين - مترجم) yang telah dikenal pada abad 4 H.
Ibnu Nadim menyebutkan kata (اللسان) adalah kata yang merujuk ke bahasa Semit yang paling klasik, yaitu termasuk kamus dasar kolektif dalam bahasa-bahasa Semit. Kata ini didorong oleh hijrahnya bahasa Akadia bersamanya. Kata itu lebih dahulu dari 3000 tahun SM. Terdapat perbandingan dalam bahasa-bahasa Semit lainnya apabila menggunakan kata (اللسان), yaitu dalam bahasa Ibrani (لاشون) dan dalam bahasa Aramea (لشان). Ketiga kata itu (لسان - لاشون - لسانا) merupakan satu kata dari segi derivasinya. Huruf (السين) dalam bahasa Arab sepadan dengan huruf (الشين) dalam bahasa Ibrani dan bahasa Aramea. Harakat yang ada sesudah (السين) dalam bahasa Arab adalah fathah thawilah (vokal a panjang), dalam bahasa Ibrani terdapat dhammah thawilah (vokal u panjang) sesudah (الشين). Faktanya fathah thawilah dalam bahasa Arab selalu sepadan dengan dhammah thawilah dalam bahasa-bahasa Kan’an, sedangkan bahasa Ibrani adalah salah satu bahasa Kan’an. Ini juga merupakan kaidah fonologi yang berlaku umum. Dalam bahasa Aramea (لشانا), akan terdapat kata tersebut dengan menggunakan fathah thawilah. Fathah thawilah ini merupakan adawat ta’rif (partikel definit) dalam bahasa Aramea. Kemudian bahasa Arab mengembangkan adawat ta’rif yang sama, yaitu ( ال ) yang masuk pada awal kata, sedangkan bahasa Aramea mengembangkan fathah thawilah yang sama yang melekat pada akhir isim untuk memberikan pengertian ta’rif(definit). Kata-kata (لشانا,لاشون,لسانا) merupakan satu kata secara derivatif; masing-masing memberikan pengertian (اللسان) dengan makna sebagai bagian dari mulut.

Adapun kata (لغة) merujuk kepada asal non bahasa Semit, kata itu termasuk dalam bahasa Yunani (logos); artinya adalah (كلمة) ,(كلام), dan (لغة). Dalam waktu dekat kata itu masuk dalam bahasa Arab. Para linguis Arab, penghimpun bahasa pada abad 2 H telah berbicara tentang bahasa-bahasa kabilah. Bentuk bahasa yang mereka anggap sekunder atau sampingan sering disebut (لغة). mereka juga berbicara tentang bahasa (اللغة) dengan arti istilah yang kita kenal sekarang bagi kata: ( كلام). Mereka mengatakan: (جيدة/فاسدة لغته). Kemudian makna kata ini berubah dalam bahasa Arab sampai menduduki sedikit demi sedikit kata (لسان). 

BAB III
KESIMPULAN
            Penelitian bahasa semit yang dilakukan oleh para peneliti linguistik menemukan kesamaan diantara bahasa-bahasa semit, pertumbuhan kosakata baru dalam bahasa arab, dan perubahan bentuk dalam bahasa arab melalui berbagai metode, yaitu metode komparatif, metode historis, dan metode deskriptif. Dalam menggunakan metode-metode diatas, peneliti berhasil menemukan kesamaan arti dari bahasa-bahasa semit sehingga memudahkan manusia dalam mempelajari bahasa semit. Selain itu peneliti berhasil menemukan pertumbuhan kosakata baru dalam bahasa arab yaitu jamak taksir, hamzal washal, huruf-huruf yang telah ditemukan dari bahasa Akkadia melalui metode komparatif.
            Selanjutnya dari pembahasan diatas dapat diketahui bahwa telah terjadi perubahan bentuk dari dialek-dialek dan bahasa-bahasa di kawasan timur tengah. Hal itu dikarenakan letak geografis dan perkembangan zaman sehingga terjadinya perubahan tersebut. Lalu faktor nomaden yang dilakukan oleh penduduk arab menjadi salah satu dasar terjadinya perubahan. Namun berkat suku Badwi yang menjaga tradisi lisan sehingga memperkaya bahasa arab.
            Akan tetapi dari segi pengumulan artefak-artefak yang mengungkapkan tentang bahasa-bahasa semit terdapat banyak artefak-artefak yang bacaannya banyak yang tidak jelas, dan informasi yang terdapat pada artefak sedikit manfaatnya, karena materi kebahasaannya sangat sedikit. Oleh karena itu perlunya penelitian terhadap bahasa semit secara terus menerus agar menemukan bahasa-bahasa semit yang baru dan memperkaya bahasa-bahasa semit.   

Kerajaan Demak

Kerajaan Demak
A.    Letak Geografis Kerajaan Demak
Kerajaan Demak terletak di pantai utara Pulau Jawa, sebelah timur dari Cirebon, dan sebelah barat dari Juwana. Sebelum datangnya Raden Patah, daerah  ini merupakan sebuah desa yang banyak ditumbuhi oleh Gelagah Wangi, sehingga disebut desa Glagah Wangi. Desa yang kemudian akan menjadi pusat kerajaan ini, terletak di wilayah kadipaten Jepara, sebelah selatan Pulau Muria, atau lebih tepatnya lagi tepi selat yang memisahkan Pulau Muria dan daratan Jawa Tengah.[1]
Pusat kerajaan Demak yg terletak  di tepi selat yang memisahkan Demak dengan Pulau Muria ini, begitu menguntungkan untuk perdagangan. Karena, pada sekitar abad 16, selat ini cukup luas, sehingga cukup leluasa untuk dilewati sebagai jalan pintas oleh kapal-kapal pedagang dari Semarang yang kemudian melewati Jepara, Demak, Pati lalu berlayar ke Rembang. Namun, akibat pengendapan, sejak abad ke-17 selat ini hanya bisa dilewati saat musim hujan oleh sampan kecil saja. [2]
 Kerajaan Demak terletak pula di pinggir Sungai Tuntang yang berhulu di pedalaman Jawa Tengah. Sungai ini selain menjadi pendukung pengairan untuk kegiatan pertanian, juga menjadi penghubung antara Demak dengan daerah-daerah pedalaman, seperti Pengging dan Pajang. Sungai tersebut sampai dengan abad ke-18 masih bisa dilalui dengan perahu dagang kecil. Sehingga menjadi jalur perdagangan dan distribusi pertanian yang baik ke pedalaman. [3]

B.     Sejarah Berdirinya Kerajaan Demak
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang didirikan sekitar abad ke 16 oleh Raden Patah. Ia merupakan putra dari Prabu Brawijaya Kertabumi, Raja Majapahit dengan salah satu putri dari Cina. Pada mulanya, wilayah Demak sendiri adalah sebuah desa yang dikelilingi rawa-rawa,  dan dilindungi oleh tanaman Gelagah Wangi. Desa ini termasuk di dalam wilayah Majapahit, tepatnya Kadipaten Jepara. Karena ketika itu Jepara telah menjadi bandar yang ramai.[4]
Hingga kemudian datang Raden Patah yang ketika itu sedang dalam perantauan untuk mencari desa yang terlindungi oleh gelagah wangi atas perintah gurunya, yaitu Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri adalah seorang penyebar agama islam yang berasal dari daerah Surabaya. Dengan saran gurunya pula, Raden Patah kemudian membangun desa Gelagah wangi tersebut. Desa itu kemudian mulai berkembang menjadi menjadi bandar yang ramai. Banyak pedagang dari berbagai daerah dari luar dan dalam pulau Jawa berdatangan.[5]
 Bandar itu kemudian berkembang menjadi sebuah kota bernama Demak, sesuai dengan kondisi lingkungan kota tersebut yang masih dipenuhi rawa-rawa. Ketika di kota Demak dimulai pembangunan Masjid agung Demak, muncul ide dari Raden Patah untuk melepaskan diri dari kerajaan Majapahit, karena sulit untuk menyebarkan agama Islam apabila masih berada dibawah kerajaan Hindu tersebut. Dengan tanpa kekerasan, pada sekitar pertengahan abad 15, Demak resmi melepaskan diri dari kerajaan Majapahit, dan diangkatlah Raden Patah sebagai raja pertama. [6]

C.    Raja-Raja Di Kerajaan Demak
Raden Patah adalah pendiri kerajaan Demak, Ia adalah putra Prabu Brawijaya Kertabhumi, Raja majapahit, dengan selirnya dari kerajaan cina. Ia menghabiskan Masa kecilnya di Palembang, dan kembali ke Majapahit ketika dewasa dan telah memeluk islam. Ketika dewasa, Ia belajar agama dengan Sunan Ampel. Setelah itu Ia diutus sebagai Patih oleh ayahnya dan berkuasa di Demak. Tak lama berselang, Ia kemudian melepaskan diri dari Majapahit. Sebagai Raja di pesisir, Ia memperluas kerajaannya dengan menguasai kota di pantai Utara seperti Cirebon. [7]
Pada sekitar tahun 1507, Raden Patah digantikan oleh putranya, Pati Unus. Yang dikenal juga dengan Pangeran Sabrang Lor. Ketika naik tahta, umurnya masih 17 tahun. Sehingga Ia mempunyai ambisi yang besar untuk menjadi raja yang berkuasa. Hal ini terbukti saat Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 dibawah Alfonso d’Albuquerque. Ia langsung membangun armada laut di pelabuhan-pelabuhan pantai utara jawa, dan juga meminta bantuan Palembang,  untuk melawan Portugis yang bertujuan merebut Malaka.[8]
Penyerangan ke  Malaka ini akhirnya terlaksana pada sekitar tahun 1512-1513. Walaupun diceritakan bahwa armada angkatan laut gabungan dari pantai utara Jawa Tengah dan Palembang ini menang jumlah, namun serangan ini gagal dan armada tersebut dihancurkan. Sehingga yang kembali hanya sebagian kecil saja. Menurut Tome Pires, ada sebuah kapal perang dan berlapis baja sengaja didamparkan di pantai Jepara oleh PatiUnus, untuk mengenang penyerangan tersebut. Sebagai kenang-kenangan akan perang yang telah Ia lancarkan terhadap bangsa yang paling gagah berani di dunia.[9]
Pada masa Pemerintahan Pati Unus pula, Kerajaan Majapahit yang berada  dibawah Pemerintahan Girindhawardhana dari Kedir atau disebut juga Dayo, dapat dikalahkan. Serangan ini terjadi sekitar tahun 1519, pasukan dari Demak berhasil mengalahkan pasukan Majapahit yang kala itu sudah melemah. Dan setelah dikalahkan, pusaka-pusaka dari kerajaan Majapahit dipindahkan ke Demak. Sehingga secara tidak langsung berpindahlah kedaulatan Kerajaan Hindu yang terkenal ini ke Kerajaan Demak.[10]
Setelah Pati Unus Wafat, terjadi perebutan kekuasaan karena Pati Unus tidak memiliki keturunan, yang kemudian memunculkan nama Sultan Trenggana sebagai Sultan Demak Ketiga. Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana inilah, Kerajaan Demak mencapai masa kejayaan berkat keberhasilan ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan. Ia melakukan ekspedisi ke arah barat pada tahun 1522-1527, yang membawa Sunda Kelapa di bawah kekuasaannya. Perluasan kekuasaan ini lalu berlajut ke arah timur. Namun, akhirnya harus terhenti karena ketika hendak menyerang blambangan pada sekitar tahun 1546, Sultan Trenggana mengehembuskan nafas terakhirnya.[11]
Dengan wafatnya Sultan Trenggana, maka anaknya  yaitu Sunan Prawata naik tahta sebagai Sultan di Kerajaan Demak. Namun masa pemerintahannya sangatlah singkat, yaitu hanya kurang lebih 9 tahun saja, karena Ia dan keluarganya kemudian dibunuh oleh anak dari Pangeran Sekar yang dibunuh oleh suruhan Sunan Prawata, yaitu Arya Penangsang, bupati Jipang. Yang kemudian Arya penangsang ini berperang dengan Hadiwijaya dari Pajang dan pada akhirnya menjadi akhir dari Kesultanan Demak [12]

D.    Masa Kejayaan Kerajaan Demak
Kerajaan Demak, mencapai masa kejayaanya pada masa pemerintahan Sultan Trenggana, sekitar tahun 1521-1546. Disebut masa kejayaan, dikarenakan wilayah kekuasaannya kala itu meliputi hampir seluruh Pulau Jawa, termasuk kota-kota pelabuhan penting di pantai utara Jawa. Semua itu bisa dicapai setelah Sultan Trenggana melakukan ekspedisi-ekspedisi untuk menaklukan pantai barat Jawa dan bekas daerah kekuasaan Majapahit. Ekspedisi ini selain berlatar belakang ekonomi, juga berlatar belakang agama, yaitu menyebarkan agama Islam ke seluruh Jawa. [13]
Pada pertengahan abad ke-16, dengan bantuan Sunan Gunung Jati, Daerah seperti Cirebon sudah berhasil dikuasai sepenuhnya. Begitu pula dengan pelabuhan Banten, yang menjadi salah satu bandar utama kerajaan Padjajaran. Dengan direbutnya dua bandar tersebut, tersisalah satu bandar terakhir kerajaan Padjajaran. yaitu pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan yang menjadi pintu keluar masuk perdagangan antar bangsa kerajaan tersebut dapat direbut sebelum Portugis mendirikan benteng disana, walaupun mereka telah mengadakan perjanjian kerja sama pada sekitar agustus 1522. Pada 22 Juni 1527 Demak berhasil menguasai pelabuhan Sunda Kelapa hingga kemudian dinamakan Jaya Karta.[14]
Selanjutnya, pasukan ekspedisi Sultan Trenggono bergerak ke daerah-daerah bekas kekuasaan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Daerah-Daerah ini sudah melepaskan diri dari Majapahit dan berkembang menjadi kerajaan sendiri. Pada akhirnya daerah seperti Tuban, Madiun, Surabaya dan Pasuruhan berturut-turut telah dikuasai pula.[15]
Sultan Trenggana juga meluaskan pengaruhnya ke luar Pulau Jawa. Pengaruhnya mencakup Pulau Sumatera seperti palembang, dan wilayah selatan Pulau Kalimantan. Bahkan nama Demak terkenal sampai pulau Sulawesi, Maluku dan Sumbawa. Hal ini bisa tercapai dikarenakan ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh Sultan Trenggana boleh dikatakan berhasil dan semangat jihad  yang digelorakan begitu besar. [16]

E.     Penyebaran Islam Di Kerajaan Demak
Perkembangan agama Islam di Kerajaan Demak pada abad 15-16 ini begitu pesat. Kerajaan Demak menjadi pusat penyebaran agama Islam pada masa tersebut. Dengan Masjid Agung Demak sebagai pusatnya, Islam menyebar ke seluruh pelosok pulau Jawa. Banyak ulama atau santri yang mengunjungi tempat tersebut dalam rangka mencari ilmu dan belajar berdakwah. Islam kemudian mekar dan bertebaran begitu indahnya di bumi Pulau Jawa. Semua hal ini tidak terlepas dari peranan rajanya yang  telah memeluk agama Islam, penaklukan-penaklukan yang dilakukan, dakwah para Wali atau Sunan, juga pembangunan masjid-masjid.[17]
 Sebagai Raja pertama yang telah masuk Islam, Raden Patah melakukan perluasan kekuasaan dan pengaruh ke seluruh pesisir Jawa, sehingga rakyat yang ada di bawah kekuasaannya turut memeluk agama Islam. Perluasan ini kemudian dilanjutkan dengan ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan oleh Sultan Trenggana sehingga hampir semua daerah di pesisir Pulau Jawa telah memeluk agama Islam. Peran para Wali juga sangat penting dalam penyebaran Islam ini, terutama Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Kudus.[18]
Simbol keislaman yang paling penting di Demak adalah Masjid Demak. Hingga abad ke-19, mesjid Agung Demak menjadi pusat kegiatan bagi umat islam masa lalu di Jawa Tengah. Banyak legenda yang menceritakan bagaimana proses Masjid ini dibangun, dan berbagai cerita mistik lainnya. Masjid ini konon dibangun pada masa kekuasaan Raden Patah oleh para Wali Songo. Masjid ini sampai sekarang masih berdiri kokoh di pusat kota Demak, walaupun telah mengalami pemugaran berkali-kali, bentuk aslinya tetap dijaga agar tidak mengubah nilai keagungan masjid tersebut. [19]

F.     Ulama-ulama Penyebar Agama Islam Di Kerajaan Demak
Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa sekitar abad ke-16, jelas bahwa peranan para Wali tidak dapat dipisahkan. Banyak sumber babad yang menceritakan berkumpulnya para Wali di Masjid Demak, masjid yang mereka dirikan bersama, untuk bermusyawarah dan juga bertukar pikiran. Sunan Ampel dan Sunan Kudus adalah beberapa contoh para ulama penyebar Agama Islam kala itu. [20]
Selain para wali, penyebar islam di kerajaan Demak adalah para imam masjid Agung Demak. Sebagaimana  dikisahkan dalam suatu bagian di dalam Hikayat Hassanuddin, imam masjid Demak tersebut, ada lima. Para imam ini, yang disebut juga penghulu, yang dalam bahasa Melayu artinya kepala. Kekuasaan para imam ini, bukan hanya dalam memimpin ibadah saja, tetapi juga berperan di kehidupan masyarakatnya.[21]
Imam pertama masjid Demak konon ialah Pangeran Bonang, yang kelak disebut Sunan Bonang. Beliau juga adalah putra dari Pangeran Rahmat, yang sering disebut Sunan Sunan Ampel. Beliau meninggal di Tuban setelah berdakwah ke beberapa daerah. Imam kedua, ialah Makdum Sampang, suami dari cucu Nyai Gede Pancuran, Putri dari Sunan Ampel. Setelah wafat, konon ia dimakamkan di sdebelah barat masjid Demak.[22]
Imam ketiga masjid Demak adalah putra dari Makdum Sampang, yaitu kiai Pambayun, yang hanya beberapa waktu menjadi imam Masjid Demak, karena ia kemudian pindah ke Jepara. Imam keempat, ialah anak dari Nyai Pambarep, ipar perempuan Makdum Sampang, yang mendapat gelar Penghulu Rahmatullah. Imam kelima ialah orang yang mendapat julukan Pangeran Kudus, sesuai dengan tempat tinggalnya kemudian. Orang yang terakhir disebut memang memiliki pengaruh yang besar dalam politik di dalam kerajaan Demak.[23]

G.    Keruntuhan Kerajaan Demak
Sepeninggal Sultan Trenggana yang tewas dalam pertempuran di Panarukan, terjadi kericuhan di kalangan istana tentang siapa penggantinya. Hingga kemudian muncul nama Sunan Prawata yang merupakan anak dari Sultan Trenggono. Namun, di saat yang sama, muncul Arya Penangsang, seorang bupati Jipang dan Putra dari Pangeran Sekar Seda Lepen yang dibunuh oleh suruhan Sunan Prawata. Arya penangsang merasa berhak atas takhta kerajaan Demak dan berencana  menghabisi seluruh keturunan Sultan Trenggana.[24]
Usahanya untuk membunuh Keluarga Sunan Prawata berhasil. Kemudian Arya Penangsang melanjutkan rencana pembunuhan  ke keturunan Sultan Trenggana. Usaha itu hampir berhasil, namun ia kesulitan berhadapan dengan Pangeran Hadiri, yang merupakan bupati Jipang. Hal ini kemudian berkembang menjadi peperangan antara Jipang dan Pajang, yang akhirnya dimenangi oleh Pangeran Hadiri dengan terbunuhnya Arya Panangsang pada tahun 1558 dan memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang. Pemindahan ini yang kemudian menandakan akhir dari Kerajaan Demak, kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa. [25]


H.    Peninggalan Kerajaan Demak
Masjid Agung Demak, terletak di pusat kota Demak, tepatnya sebelah barat alun-alun kota.  Menurut berbagai cerita jawa, masjid ini dibangun oleh para Wali, dalam jangka waktu satu tahun dan selesai pada 1506 M. masjid ini ditopang oleh 4 tiang besar, atau disebut juga Saka Guru, 6 tiang penyangga dan 8 tiang serambi. Pada awal berdirinya, masjid ini belum mempunyai serambi seperti dewasa ini.  Fungsi masjid Demak, selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga berperan sebagai pusat penyebaran agama islam di Jawa Tengah. Masjid ini mempunyai ciri khas, yaitu atapnya yang tumpang tiga, yang dikatakan melambangkan iman, islam, dan ihsan. [26]
Pada masjid ini, terdapat beberapa peninggalan kerajaan Demak, diantaranya adalah Soko Guru yang konon dibuat oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Ngampel, dan Sunan Gunung Jati. Pada Soko Guru yang dibuat oleh Sunan Kalijaga, tiang ini disusun dari potongan potongan kayu yang sepertiganya terbuat dari potongan-potongan kayu, dan sisanya merupakan kayu utuh. Bagian bagian kayu tersebut kin telah diganti dan yang asli telah disimpan di museum Masjid.[27]
Selain Soko Guru, terdapat juga peninggalan lainnya yang masih terjaga hingga kini, yaitu, mihrab dan mimbar. Bila kita melihat ke dinding mihrab masjid, kita akan menemukan Candrasengkala bebentuk bulus dari keramik. Lalu di sekitar dinding barat masjid tersebut, ada tiga buah hiasan keramik berwarna biru putih dan dua buah keramik cina. Pada dinding diatas lengkung pengimaman ini juga terdapat hiasan dari kayu yang diukir yang melambangkan matahari.[28]





Daftar Pustaka
Hayati, Chusnul. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara., Jakarta: Depdiknas.
 Rahardjo, supratikno. 1994. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang. Jakarta: Depdikbud.
de Graff, H. J. dan Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti.
Hasan. 1974. Girindrawardhana Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Jakarta: Depdikbud.
Rahardjo, supratikno. 1994. Sunda Kelapa Sebagai bandar di Jalur Sutra, Jakarta: Depdikbud.    



[1] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000. hlm. 3.
[2] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 37.
[3] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 38.
[4] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 39.
[5] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 39.
[6] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000.  hlm. 4.
[7] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000.  hlm. 5.
[8] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000.  hlm. 7.
[9] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 49.
[10] Hasan. Girindrawardhana Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Jakarta: Depdikbud. 1974. hlm. 91-97.
[11] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000. hlm. 10-12.
[12] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000. hlm. 15.
[13] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 63.
[14] Supratikno Rahardjo. Sunda Kelapa Sebagai bandar di Jalur Sutra, Jakarta: 1994  Depdikbud. hlm. 47-51.
[15] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 65.
[16] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000. hlm. 87.
[17] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 52
[18] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000.  hlm. 17-20.
[19] S. Rahardjo. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang. Jakarta: Depdikbud. 1994. hlm. 42.
[20] S. Rahardjo. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang. Jakarta: Depdikbud. 1994. hlm. 18.
[21] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 52.
[22] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 53.
[23] H. J. De Graff. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti. 1985. hlm. 54-55.
[24] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000.  hlm. 86.
[25] Chusnul Hayati. Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara. Jakarta: Depdiknas. 2000.  hlm. 87-89.
[26] S. Rahardjo. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang. Jakarta: Depdikbud. 1994.  hlm. 40-48.
[27] S. Rahardjo. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang. Jakarta: Depdikbud. 1994.  hlm. 40-48.
[28] S. Rahardjo. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang. Jakarta: Depdikbud. 1994.  hlm. 40-48.

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts