UPAYA PARA LINGUISTIK
DALAM PENELITIAN
BAHASA SEMIT
BAB I
PENDAHULUAN
Bangsa-bangsa Semit
di dunia meliputi bangsa Aramiyah, Finiqiyah, ‘Ibariyah, Arabiyah, Yamaniyah,
Babiliyah, dan beberapa bangsa yang merupakan keturunan dari bangsa-bangsa
tersebut. Dalam bangsa-bangsa Semit tersebut melahirkan berbagai bahasa-bahasa
Semit yang sudah ada dari ribuan tahun silam. Bahasa Semit diambil dari kata
Sam (anak nabi Nuh AS), sehingga pada waktu itu bahasa ini menyebar ke berbagai
belahan dunia. Hal ini yang menyebabkan para peneliti ingin meneliti tentang
keberadaan bahasa Semit, ciri-ciri diantara setiap bahasa Semit, dan pengguna dari bahasa Semit. Diantara
peneliti tersebut adalah Schlozer, Noldeke, Renan, dan Sibawaih.
Dalam penelitian itu dapat terlihat dari arah
politik, budaya, geografi, perkembangan zaman dan hubungan kekerabatan yang
saling terkait diantara bangsa-bangsa tersebut. Seperti bangsa ‘Ibariyah dan
bangsa Aramia mempunyai hubungan kekerabatan dengan bangsa Arabiyah. Begitu
juga sejarah mencatat masuknya bangsa Finiqiyyah dalam jajaran bangsa Semit
dilihat dari arah politik. Dalam perkembangan zaman, dapat terlihat antara
bahasa Amiyah dan bahasa Fusha. Pada dasarnya bahasa Fusha merupakan bahasa
resmi Arab, kemudian karena perkembangan zaman dan keinginan masyarakat untuk
mempermudah pengucapan bahasa maka terbentuklah bahasa Amiyah dan digunakan di
kalangan masyarakat Arab.
Dalam bahasa-bahasa
Semit terdapat perbedaan baik dalam pengucapan, penulisan, dan pengguna bahasa
Semit itu. Para peneliti mencoba membandingkan antara bahasa-bahasa Semit
seperti antara bahasa Arab, bahasa Ibrani, Aramia, dan bahasa Suryaniyah. Dari
bahasa-bahasa itu timbulah pertanyaan, Metode apa yang digunakan dalam
melakukan penelitian bahasa Semit? Apa kesamaan dari bahasa-bahasa diatas?
Apakah terjadi pertumbuhan kosakata baru dalam bahasa Arab? Apakah terjadi
perubahan bentuk dalam bahasa Semit?
BAB II
ISI
1.
Linguistik Modern
Para linguis Arab meneliti hubungan antara bahasa-bahasa
Semit, yaitu hubungan antara bahasa Arab dengan rumpun bahasa-bahasa Semit yang
lain. Dalam penelitian itu, para linguis Arab menggunakan linguistik modern.
Linguistik merupakan kajian bahasa secara alamiah. Para linguis menggunakan
macam-macam linguistik modern, yaitu linguistik komparatif, linguistik
deskriptif, dan linguistik historis.
1.1 Linguistik
Komparatif
Dalam linguistik komparatif (perbandingan), Suatu kajian
bahasa yang mengambil objek dua bahasa atau lebih yang berasal dari satu
rumpun.. Pada abad ke-19, para linguis membagi berbagai bahasa ke dalam
rumpun-rumpun bahasa, seperti para linguis Eropa telah mengenal bahwa bahasa
Arab berasal dari rumpun bahasa Semit yang juga mencakup bahasa Ibrani, bahasa
Aramea, bahasa Akadia, dan bahasa Habsyi. Para linguis dapat membagi berbagai
bahasa ke dalam rumpun-rumpun bahasa dengan membandingkan bahasa-bahasa ini dan
menemukan aspek-aspek kesamaan di antara bahasa-bahasa itu dari fonologi,
morfologi, sintaksis, dan leksikon. Dari aspek-aspek kesamaan di antara
sejumlah bahasa, mengungkapkan bahwa bahasa-bahasa itu berasal dari pangkal
yang sama. Oleh karena itu, para linguis menyimpulkan bahwa bahasa itu adalah
bahasa-bahasa yang membentuk satu rumpun bahasa dan berasal dari bahasa pangkal
yang sama. Jadi, Linguistik komparatif membandingkan bahasa Akadis, bahasa
Ugarit, bahasa Ibrani, bahasa Fenesia, bahasa Aramea, bahasa Arab Selatan,
bahasa Ibrani Utara, dan bahasa Habsyi. Sebagai contoh, studi banding antara
bahasa Arab dengan bahasa Ibrani yang kedua-duanya sama-sama termasuk rumpun
bahasa semit. Dimana dalam bahasa Arab terdapat kata اللسان dan dalam bahasa Ibrani
terdapat kata لاشون.Metode
yang ketiga bernama Metode Deskriptif yang merupakan Suatu bentuk kajian bahasa
secara ilmiah mengambil tataran bahasa atau dialek tertentu baik dari aspek
bunyi, kata, kalimat, atau makna pada kurun waktu dan tempat tertentu pula.
Dari metode ini bisa diambil contoh dari bahasa Fushah dan bahasa Amiyah dimana
kedua bahasa ini mulai berbeda pengucapan yaitu antara Kata الْعِنَب (anggur) menjadi الْعِيْنَب.
1.2 Linguistik Deskritif
Linguistik
deskriptif mengkaji secara ilmiah satu bahasa atau satu dialek pada masa
tertentu dan tempat tertentu. Teori yang di buat oleh De Saussure tentang
kemungkinan untuk mengkaji bahasa secara deskriptif atau historis, membuat para
linguis menaruh perhatian terhadap metode deskriptif di seluruh penjuru dunia.
Linguistik deskriptif mengkaji suatu konstruksi bahasa atau suatu dialek.
Setiap bahasa dan setiap dialek tersusun dari bunyi-bunyi bahasa yang tersusun
dalam katakata; dari kata-kata itu tersusunlah kalimat untuk menyatakan
berbagai makna. Perbedaan antara bahasa dan dialek merupakan perbedaan
peradaban yang tidak lahir dari konstruksi bahasa. Akan tetapi ia didasarkan
pada asas bidang-bidang pemakaian. Pemakaian dalam bidang budaya dan ilmu
menjadikan tataran bahasa yang dipakai itu sebagai sebuah bahasa. Metode
deskriptif dapat diterapkan dalam menganalisis konstruksi suatu bahasa atau
suatu dialek baik dari aspek bunyi, kata, kalimat atau makna pada kurun waktu
dan tempat tertentu.
Dari
metode ini bisa diambil contoh dari bahasa Fushah dan bahasa Amiyah dimana
kedua bahasa ini mulai berbeda pengucapan yaitu antara Kata الْعِنَب (anggur) menjadi الْعِيْنَب. Kedua bahasa itu
merupakan satu rumpun yang berbeda karena perbedaan kawasan yang dihuni. Dimana
perubahan bahasa Arab Amiyah berbeda jauh dari bahasa aslinya. Sebagai contoh
kata السَّوْط
(cambuk) menjadi اِسْطَوْط ,
kata ثَلاَثَةُ دَنَانِيْر (tiga dinar) menjadi ثَلْثَدَّا. Dalam pemakaian kedua
bahasa ini bisa dilihat dari letak geografis seperti di daerah atau desa di
Arab dimana mereka menggunakan bahasa Arab Fushah sedangkan di perkotaan,
masyarakat lebih senang memakai bahasa Amiyah yang mudah untuk diucapkan.Faktor
yang lain adalah karena kesalahan pelafalan manusia seiring dengan perkembangan
zaman. Padahal tadinya satu bahasa. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam
Suhaili tentang hubungan antara bahasa Arab dengan bahasa Suryania. Beliau
mengatakan: “Sesungguhnya terdapat banyak kemiripan bahkan kesamaan antara
bahasa Suryania dan bahasa Arab.”
1.3
Linguistik Historis
Linguistik
historis mengkaji perkembangan (sejarah) sebuah bahasa. Kajian fonologi
historis meliputi kajian perkembangan sistem fonologi bahasa arab fusha. Sementara
itu, kajian morfologi historis melalui perkembangan konstruksi morfologi dan
sarana pembentukan kosakata dalam bahasa Arab selama beberapa abad. Sedangkan kaijan sintaksis
historis meliputi perkembangan jumlah syarthiyah (kalimat syarat) atau jumlah
istifham (kalimat tanya) dalam bahasa Arab fusha. Lalu kamus historis yang
membukukan sejarah kehidupan setiap kata dalam bahasa itu termasuk teks yang
paling klasik yang dibawanya dengan menelusuri perkembangan maknanya lewat
perjalanan sejarah merupakan bagian linguistik historis. Sejarah bahasa tidak
mengkaji perkembangannya secara struktural dan leksikal saja, melainkan juga
mengkaji perkembangannya dan kehidupannya di masyarakat. Maka persebaran salah
satu bahasa, kondisi-kondisi, dan pengaruhnya terhadap konstruksi bahasa
merupakan bagian dari objek linguistik historis. Hubungan bahasa dengan fungsinya
atau berbagai fungsinya pada masyarakat bahasa tentu mempengaruhi kehidupan
bahasa. Jadi terdapat perbedaan antara bahasa yang di pakai oleh masyarakat
dahulu dengan masyarakat yang hidup sekarang. Sebagai contoh, Dalam sejarah
bahasa Arab, bagaimana keadaan bahasa
Arab dalam rentang waktu yang panjang mulai dari masa Jahiliyah sampai masa
kini, yaitu dalam masa jahiliyah terdapat penulisan arab atau khat Kufi yang
ditulis dalam bentuk kotak dan dalam masa kini mengenal dengan khat naskhi.
2.
Perubahan dalam Bentuk
Pada abad ke-2, terdapat seorang linguis bernama
Sibawaih yang menulis buku yang berjudul “Umda fin Nahwi”, dimana linguis besar
itu mengamati bunyi الضاد
termasuk bunyi-bunyi yang sulit diucapkan oleh orang-orang Badwi. Di Irak,
Sibawaih meneliti tentang pengucapan huruf الضاد yang ternyata tidak dikenal oleh dialek Aramea. Namun
pengucapan huruf الضاد dan الظاء diucapkan sama di Irak.
Sedangkan bunyi الضاد di
Mesir diucapkan seperti الدال. Dari dialek orang Badwi, terdapat perbedaan pengucapan antara
huruf القاف
menjadi الجاف
seperti dalam kalimat: هوقاللي menjadi هوجاللي. Sementara itu seorang
linguis bernama Dozi meneliti berbagai kosakata yang tidak dimiliki oleh bahasa
Arab, seperti إجتماء, انفعل, dan wazan yang lainnya
yang dimuat dalam kamus yang berjudul kamus Dozi.menurut Dozi, pola إجتماء belum dikenal dalam Lisanul Arab.
3.
Kata-Kata Baru
Perkembangan
kata-kata baru dalam bahasa arab berguna untuk memperjelas fungsinya. Sebagai
contoh wazan فاعل dan
wazan مفعول
(serta wazan-wazan lainnya, hampir tidak terjadi perubahan bentuk). Akan
tetapi perubahan dalam wazan-wazan ini terdapat dalam konstruksi
kata-kata baru yang tidak dikenal oleh masyarakat Badwi lama.
Perbandingan antara Lisanul Arab dengan kamus Dozy. Pada abad ke-7 H, Lisanul
Arab telah memanfaatkan kamus-kamus yang pernah disusun pada fase-fase
sebelumnya. Pada abad 4 H Azhari (kamus “Tahdzibul Lughah”) sendiri
telah membukukan korpus bahasa di Gurun Sahara. Jadi, sesungguhnya
korpus bahasa adalah korpus Badwi dan kebanyakannya merujuk ke abad 2 H.
Kamus At-Tahanawi karya ilmuwan Hendi Jalil pada abad 13 H, mengungkapkan
peristilahan seni. Bahasa Badwi telah membantu masyarakat peradaban Islam
dengan berbagai entri bahasa (kata-kata dasar). Dalam bahasa Badwi terdapat
sejumlah pola atau wazan, misalnya wazan انفعل dari entri جمع, yaitu انجمع. Kata itu tidak ada dalam Lisanul ‘Arab, tetapi ia
dipakai di Andalusia-Islam. Muqri mengatakan: النفوس على انجمعت.
Namun
dalam wazan جمع,
tidak mencangkup wazan-wazan yang lain seperti افعنلى , افعنلل , افعوعل , افعال . Pada kata جمع, akan ditemukan kata الجامعة. Kata ini dipakai dalam Lisanul ‘Arab sebagai sifat bagi
muannats dan sebagai isim. Sebagai sifat, misalnya, yaitu di dalamnya terkumpul
banyak hal. Dan kata الجامعة sebagai isim berarti الغال atau القيد. Ada
perbedaan antara pemakaian lama dan pemakaian baru. Kita mengenal الجامعة sekarang sebagai arus
politik, yaitu الاسلامية الجامعة sebagai organisasi
internasional, seperti الجامعة العربية sebagai lembaga akademik, seperti
القاهرة جامعة sebagai lembaga ilmiah
non akademik, seperti الشعبية الجامعة .
Kemudian
pemakaian kata (جماعة)
dalam bahasa amiyah sebagai kinayah dari (الزوجة). Ada sejumlah kata yang tidak dikenal dalam bahasa Arab hingga
abad 2 dan berasumsi bahwa Lisanul ‘Arab telah memberikan gambaran yang
terpercaya. Kata (جمعية)
tidak dikenal dalam Lisanul ‘Arab. Pertama kali kata itu kita dapati dalam
kamus Dozi. Di bawahnya ia menyebutkan (البلد أهل جمعية) . Akan tetapi sekarang kita menggunakan kata itu secara
istilah umum. Demikian juga tentang kata ( اجتماع). Kata ini tidak dikenal dalam Lisanul ‘Arab, tetapi disebutkan
oleh Dozi dari Abul Fida dengan arti “pertemuan”. Kemudian dikhususkan oleh
At-Tahanawi dalam “Kasysyaf Isthilahat al-Funun” dengan sajian yang panjang
lebar. Dia berbicara tentang konsep (اجتماع ) di kalangan ahli astronomi dan kalangan ulama ilmu kalam
serta para ahli nahwu. Setiap ilmu ada istilahnya, sekarang apabila kita
mengatakan kata (الاجتماع)
segera terlintas dalam pikiran kita (اجتماع) adalah pertemuan sekelompok manusia di suatu tempat atau
kesepakatan mereka terhadap sesuatu. Di samping itu, sekarang terdapat kata (المجموع) sebagai isim yang
berdiri sendiri. Demikian pula kata (مجموعة) sebagai isim lain, tetapi kata itu dahulunya telah dikenal.
Kata (المجموعة)
dahulunya tidak dikenal sebagai isim yang berdiri sendiri, melainkan sebagai
sifat.
4. Pertumbuhan Kosakata Baru dalam Bahasa Arab
Dalam
kitab Al-Fihrasat karya Ibnu Nadim: Asma an Naqalah min al-Lughat
ila al-Lisan al-‘Araby. Kata isim adalah kata dalam bahasa Semit
klasik yang akan didapatkan dalam satu gambaran atau gambaran lain dalam semua
bahasa Semit. Itu dapat ditemukan dalam prasasti-prasasti bahasa Akadia yang
tercatat dalam sejarah pada pertengahan 3000 tahun SM. Jadi, kata ini usianya
lebih dari 45 abad. Kata ini telah dikaji berdasarkan metode komparatif.
Kebanyakan linguis berpendapat bahwa kata itu berasal dari asal tsunai, yaitu (السين) dan (الميم) atau (الشين) dan (الميم). Kemudian setelah itu,
kata tersebut berkembang dalam kecenderungan tsulatsi, sedangkan (الألف) yang kita lihat dalam
khat Arab tentang kata ini adalah alif washal yang gugur ketika kata itu
diucapkan dalam konteks. Bentuk kata yang ada di hadapan kita adalah bentuk
jamak taksir. Bentuk jamak taksir merupakan fenomena yang bertalian dengan
kelompok bahasa Semit Selatan, dan bahasa Arab Utara, tetapi tidak terdapat
dalam bahasa-bahasa Semit klasik di Irak dan Syam. Kata yang kedua dalam frase
ini adalah kata (نقلة), yaitu
berasal dari entri dalam bahasa Arab (نقل). Dalam kitab Al-Fihrasat karya Ibnu Nadim bahwa pemakaian kata
(نقلة ناقل) berarti (مترجمين - مترجم)
yang telah dikenal pada abad 4 H.
Ibnu
Nadim menyebutkan kata (اللسان) adalah kata yang merujuk ke bahasa Semit yang paling klasik,
yaitu termasuk kamus dasar kolektif dalam bahasa-bahasa Semit. Kata ini
didorong oleh hijrahnya bahasa Akadia bersamanya. Kata itu lebih dahulu dari
3000 tahun SM. Terdapat perbandingan dalam bahasa-bahasa Semit lainnya apabila menggunakan
kata (اللسان),
yaitu dalam bahasa Ibrani (لاشون) dan dalam bahasa Aramea (لشان). Ketiga kata itu (لسان - لاشون - لسانا) merupakan satu kata dari
segi derivasinya. Huruf (السين) dalam bahasa Arab sepadan dengan huruf (الشين) dalam bahasa Ibrani dan
bahasa Aramea. Harakat yang ada sesudah (السين) dalam bahasa Arab adalah fathah thawilah (vokal a panjang),
dalam bahasa Ibrani terdapat dhammah thawilah (vokal u panjang) sesudah
(الشين).
Faktanya fathah thawilah dalam bahasa Arab selalu sepadan dengan dhammah
thawilah dalam bahasa-bahasa Kan’an, sedangkan bahasa Ibrani adalah salah satu
bahasa Kan’an. Ini juga merupakan kaidah fonologi yang berlaku umum. Dalam
bahasa Aramea (لشانا),
akan terdapat kata tersebut dengan menggunakan fathah thawilah. Fathah thawilah
ini merupakan adawat ta’rif (partikel definit) dalam bahasa Aramea. Kemudian
bahasa Arab mengembangkan adawat ta’rif yang sama, yaitu ( ال ) yang masuk pada awal
kata, sedangkan bahasa Aramea mengembangkan fathah thawilah yang sama
yang melekat pada akhir isim untuk memberikan pengertian ta’rif(definit).
Kata-kata (لشانا,لاشون,لسانا) merupakan satu kata secara derivatif;
masing-masing memberikan pengertian (اللسان) dengan makna sebagai bagian dari mulut.
Adapun
kata (لغة)
merujuk kepada asal non bahasa Semit, kata itu termasuk dalam bahasa Yunani
(logos); artinya adalah (كلمة) ,(كلام),
dan (لغة).
Dalam waktu dekat kata itu masuk dalam bahasa Arab. Para linguis Arab,
penghimpun bahasa pada abad 2 H telah berbicara tentang bahasa-bahasa kabilah.
Bentuk bahasa yang mereka anggap sekunder atau sampingan sering disebut (لغة). mereka juga berbicara
tentang bahasa (اللغة)
dengan arti istilah yang kita kenal sekarang bagi kata: ( كلام). Mereka mengatakan: (جيدة/فاسدة لغته). Kemudian makna kata ini berubah dalam bahasa Arab sampai
menduduki sedikit demi sedikit kata (لسان).
BAB III
KESIMPULAN
Penelitian
bahasa semit yang dilakukan oleh para peneliti linguistik menemukan kesamaan
diantara bahasa-bahasa semit, pertumbuhan kosakata baru dalam bahasa arab, dan perubahan
bentuk dalam bahasa arab melalui berbagai metode, yaitu metode komparatif, metode
historis, dan metode deskriptif. Dalam menggunakan metode-metode diatas,
peneliti berhasil menemukan kesamaan arti dari bahasa-bahasa semit sehingga
memudahkan manusia dalam mempelajari bahasa semit. Selain itu peneliti berhasil
menemukan pertumbuhan kosakata baru dalam bahasa arab yaitu jamak taksir,
hamzal washal, huruf-huruf yang telah ditemukan dari bahasa Akkadia melalui
metode komparatif.
Selanjutnya
dari pembahasan diatas dapat diketahui bahwa telah terjadi perubahan bentuk
dari dialek-dialek dan bahasa-bahasa di kawasan timur tengah. Hal itu
dikarenakan letak geografis dan perkembangan zaman sehingga terjadinya
perubahan tersebut. Lalu faktor nomaden yang dilakukan oleh penduduk arab
menjadi salah satu dasar terjadinya perubahan. Namun berkat suku Badwi yang
menjaga tradisi lisan sehingga memperkaya bahasa arab.
Akan
tetapi dari segi pengumulan artefak-artefak yang mengungkapkan tentang
bahasa-bahasa semit terdapat banyak artefak-artefak yang bacaannya banyak yang tidak jelas, dan informasi yang terdapat
pada artefak sedikit manfaatnya, karena materi kebahasaannya sangat sedikit. Oleh karena itu perlunya penelitian terhadap
bahasa semit secara terus menerus agar menemukan bahasa-bahasa semit yang baru
dan memperkaya bahasa-bahasa semit.
No comments:
Post a Comment