May 6, 2019

Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 1

GERAKAN SOSIAL DI MASA KOLONIAL



A.    Gerakan Melawan Perampasan
Agitasi kaum petani yang timbul di tanah partikelir (particuliere landerijen) sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan suatu gejala historis dari masyarakat petani pribumi. Pada umumnya hampir semua perlawanan atau keursuhan yang terjadi di tanah partikelir merupakan akibat dari adanya tuntunan pajak dan kerja rodi yang tidak adil terhadap kaum petani di daerah itu. Oleh karena itu, kerusuhan-kerusuhan di tanah partikelir sering disebut sebagai kerusuhan cuke, sesuai dengan salah satu nama jenis pungutan pajak yang paling membebani petani-petani didaerah itu. Kerusuhan cuke pada hakikatnya tidak mempunyai ciri-ciri umum sebagai gerakan sosial.
Meskipun isu-isu tentang adanya kebangkitan agama atau fanatisme islam sering kali disertakan dalam laporan-laporan tuan tanah atau pemerintah, bukti yang menunjukan intensitas fanatisme itu tidak banyak kelihatan. Menurut Sartono Kartodirjo, pergolakan di tanah partikelir itu lebih terarah secara khusus pada suatu rasa dendam tertentu. Selain itu, gerakan tersebut mempunyai sefat magico religious seperti yang tercermin dalam tujuannya yang bersifat milenaristis atau mesianistis. Oleh karena adanya harapan yang milenaristis itu, kerusuhan-kerusuhan ditanah partikelir dapat dianggap sebagai contoh pergolakan yang dijiwai oleh semangat keagamaan. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi itu kadang-kadang tidak hanya bersifat sporadis, tetapi tidak jarang juga muncul sebagai perlawanan yang teratur. Untuk dapat memahami sebab-sebab timbulnya kerusuhan-kerusuhan di tanah partikelir, perlu kiranya lebih dahulu diutarakan sedikit tentang terjadinya tanah partikelir dan keadaan di dalamnya.
Tanah-tanah partikelir adalah tanah milik swasta yang muncul akibat praktik-praktik penjualan oleh kompeni (VOC 1602-1799). Kebijakan seperti itu kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (1808-1816) yang berlanjut sampai sekitar tahun 1820-an. Di dalam prosesnya, penjualan tanah partikelir berbeda dengan penjualan tanah biasa seperti yang dikenal pada masa kini.

Konflik Tuan Tanah dan Petani
Hindia Belanda menjejakkan kakinya di wilayah Indonesia pada akhir abad 18 sampai awal abad 20 berlomba mendapatkan tanah subur seluas-luasnya. Sejak zaman Kolonial bahkan Kerajaan, sejarah pertanahan tak akan selesai dibahas karena persoalan tanah akan menjadi persoalan setiap kekuasaan dalam periodesasi sejarah.
            Sepanjang abad 19 – awal abad 20 permasalahan terjadi pada hak kepemilikan tanah partikelir yaitu tanah . Tanah partikelir muncul karena sebagai akibat praktek penjualan tanah oleh Belanda semenjak VOC sampai seperempat abad 19. Permasalahan yang terjadi pada tanah partikelir adalah adanya pungutan paksa pajak oleh “pemilik tanah” terhadap petani atau masyarakat yang menempati tanah tersebut.  Beberapa sikap para tuan tanah terhadap petani antara lain :
-          Menuntut peguasaan tenaga kerja
-          Mengusir petani dengan alasan yang sangat memberatkan petani.
-          Memaksakan kehendaknya
      Para tuan tanah mengambil seperlima dari hasil panen para petani. Kesepakatan seperti ini diambil menjelang masa panen oleh kepala daerah, tuan tanah, dan petani. Melihat posisi itu, kita bisa mengindikasikan bahwa posisi petani sungguh dilema. Selain itu para petani juga dikenakan kerja lembur atau kerja paksa (kompenian) dengan jenis kerja yang beraneka ragam. Ada yang bekerja lembur selama lima hari dalam sebulan, tiga hari setiap bulan, kerja untuk pria yang masih kuat (kroyo), dan ronda desa (kemit). Tidak seperti sekarang dimana jaminan keselamatan kerja sudah ada, pada zaman tanah partikelir para petani tidak mendapat jaminan kesehatan, dan jaminan perlindungan jika ada gagal panen, dan halangan lainnya yang meyebabkan petani merugi.
Dari penindasan-penindasan seperti itulah yang menyebabkan terjadinya gerakan sosial atau pergolakan perlawanan yang bermula dari sengketa tanah partikelir. Selain itu adanya dominasi kekuasaan oleh orang Barat dalam berbagai bidang (politik, ekonomi, kultural) juga menjadi pemicu gerakan perlawanan. Dalam pembahasan lebih dalam lagi perlawanan petani akan dijiwai oleh semangat lain, yang semakin mengobarkan perlawanan terhadap hegemoni tuan tanah dan para penindas mereka. Pergolakan itu muncul sebagai puncak ketegangan, permusuhan, atau pertentangan dalam masyarakat pedesaan. Dalam pembahasan berikut akan kami sampaikan pada spesifikasi wilayah Jawa.

Gerakan Perlawanan di Jawa Barat
Daerah Jawa Barat menjadi contoh pergolakan para petani yang terus berulang. Gerakan-gerakan ini bukan hanya sebagai wujud ketidakpuasan petani terhadap tuan tanah tetapi lebih kepada sistem yang diterapkan dalam mengelola hasi pertanian dan kesejahteraan petani. Sebagai salah satu contohnya adalah peristiwa Ciomas (1886) dengan tokoh utamanya tak lain adalah petani, tuan tanah, dan pemerintah. Kerusuhan di ciomas (Bogor) menunjukan beberapa kerusuhan antara petani dan tuan tanah. Sebab dari perlawanan para petani adalah seperti yang telah kami jelasan diatas, antara lain : para petani mendapatkan pajak atau cuke yang begitu besar dari hasil panen nya. Kemudian perlakuan tuan tanah dengan memperbudak para petani. Petani-petani tersebut disuruh mengangkat hasil panen nya dari sawah ketempat lumbung sejauh 15-18 km, wanita dan anak-anak turut pula dipekerjakan selama 9 hari setiap bulan.
Sebagai tokoh pemberontakan kita bisa mengenal Muhammad Idris yang merupakan penduduk asli kelahiran Ciomas. Muhammad Idris dan kawan-kawan nya pada bulan mei merencanakan pemberontakan ke wilayah Ciomas bagian selatan. Serangan dari Muhammad Idris ini dan kawan-kawannya ditujukkan kepada pribadi tuan tanah. Puncaknya pada tanggal 20 mei. Saat itu diadakan upacara sedekah bumi yang dihadiri oleh semua pegawai tuan tanah, melihat antek-antek tuan tanah itu pasukan Idris meluapkan kemarahannya dengan membunuh antek-antek tuan tanah tersebut.
Memang dalam pemberontakan ini yang menjadi sasaran bagi pasukan Idris adalah, pegawai pemerintah,lintah darat,tuan tanah karena mereka yang menjadi penyebab kesengsaraan bagi masyarakat. Dari pemberontakan yang terjadi di Ciomas, selain karena adanya penindasan oleh tuan tanah pemberontakan di Ciomas juga di jiwai oleh semangat mesianitas yaitu semangat keberadaan Ratu Adil atau juga semangat keagamaan. Hal ini terlihat saat muhammad Idris mengasingkan diri di wilayah Campea dan dia telah mengambil gelar Panembahan. Suatu gelar dari sebuah aliran kepercayaan di wilayah jawa.
Hal yang menjadi ciri khas pemberontakan melawan pemerasan yang terjadi di Jawa Barat yaitu, adanya tradisi kepercayaan mengenai kedatangan Ratu Adil yang akan membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat. Kedua, bahwa pemegang komando bukan berada pada seorang kyai,ulama atau agamawan, bisa disimpulkan bahwa pusat perlawanan tidak terletak pada daerah yang berbasis islam taat (abangan). Ketiga, yang menjadi tokoh pendukung utama adalah sosok seorang dukun. Para dukun ini dipercaya mampu memberikan kekuatan lahir dan batin bagi para pemberontak (para petani).
Pada wilayah Ciomas ini menjadi sebuah ikon perlawanan oleh petani yang digawangi oleh orang “awam” agama sebagai akibat kekuasaan mutlak tuan tanah dalam mengamil pajak. Mereka sebagai pemimpin, bukan terkenal sebagai ulamak, namun sebagai sosok pemimpin adat yang mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Namun sebagai penganut Islam, para pemimpin ini juga mampu mengobarkan ideologi Jihad yang disebarkan kepada kaum petani. 

Baca artikel lanjutan:


  1. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 1
  2. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 2
  3. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 3
  4. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 4
  5. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 5
  6. Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 6


No comments:

Post a Comment

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts