GERAKAN SOSIAL DI MASA
KOLONIAL
A. Gerakan Melawan
Perampasan
Agitasi kaum petani
yang timbul di tanah partikelir (particuliere
landerijen) sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan suatu gejala
historis dari masyarakat petani pribumi. Pada umumnya hampir semua perlawanan
atau keursuhan yang terjadi di tanah partikelir merupakan akibat dari adanya
tuntunan pajak dan kerja rodi yang tidak adil terhadap kaum petani di daerah
itu. Oleh karena itu, kerusuhan-kerusuhan di tanah partikelir sering disebut
sebagai kerusuhan cuke, sesuai dengan salah satu nama jenis pungutan pajak yang
paling membebani petani-petani didaerah itu. Kerusuhan cuke pada hakikatnya
tidak mempunyai ciri-ciri umum sebagai gerakan sosial.
Meskipun isu-isu
tentang adanya kebangkitan agama atau fanatisme islam sering kali disertakan
dalam laporan-laporan tuan tanah atau pemerintah, bukti yang menunjukan
intensitas fanatisme itu tidak banyak kelihatan. Menurut Sartono Kartodirjo,
pergolakan di tanah partikelir itu lebih terarah secara khusus pada suatu rasa
dendam tertentu. Selain itu, gerakan tersebut mempunyai sefat magico religious
seperti yang tercermin dalam tujuannya yang bersifat milenaristis atau
mesianistis. Oleh karena adanya harapan yang milenaristis itu,
kerusuhan-kerusuhan ditanah partikelir dapat dianggap sebagai contoh pergolakan
yang dijiwai oleh semangat keagamaan. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi itu kadang-kadang
tidak hanya bersifat sporadis, tetapi tidak jarang juga muncul sebagai
perlawanan yang teratur. Untuk dapat memahami sebab-sebab timbulnya
kerusuhan-kerusuhan di tanah partikelir, perlu kiranya lebih dahulu diutarakan
sedikit tentang terjadinya tanah partikelir dan keadaan di dalamnya.
Tanah-tanah partikelir
adalah tanah milik swasta yang muncul akibat praktik-praktik penjualan oleh
kompeni (VOC 1602-1799). Kebijakan seperti itu kemudian dilanjutkan oleh
pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (1808-1816) yang berlanjut
sampai sekitar tahun 1820-an. Di dalam prosesnya, penjualan tanah partikelir
berbeda dengan penjualan tanah biasa seperti yang dikenal pada masa kini.
Konflik
Tuan Tanah dan Petani
Hindia Belanda
menjejakkan kakinya di wilayah Indonesia pada akhir abad 18 sampai awal abad 20
berlomba mendapatkan tanah subur seluas-luasnya. Sejak zaman Kolonial bahkan
Kerajaan, sejarah pertanahan tak akan selesai dibahas karena persoalan tanah
akan menjadi persoalan setiap kekuasaan dalam periodesasi sejarah.
Sepanjang abad 19 – awal abad 20
permasalahan terjadi pada hak kepemilikan tanah partikelir yaitu
tanah . Tanah partikelir muncul karena sebagai akibat praktek penjualan tanah
oleh Belanda semenjak VOC sampai seperempat abad 19. Permasalahan yang terjadi
pada tanah partikelir adalah adanya pungutan paksa pajak oleh “pemilik tanah”
terhadap petani atau masyarakat yang menempati tanah tersebut. Beberapa
sikap para tuan tanah terhadap petani antara lain :
-
Menuntut
peguasaan tenaga kerja
-
Mengusir petani
dengan alasan yang sangat memberatkan petani.
-
Memaksakan
kehendaknya
Para
tuan tanah mengambil seperlima dari hasil panen para petani. Kesepakatan
seperti ini diambil menjelang masa panen oleh kepala daerah, tuan tanah, dan
petani. Melihat posisi itu, kita bisa mengindikasikan bahwa posisi petani
sungguh dilema. Selain itu para petani juga dikenakan kerja lembur atau kerja
paksa (kompenian) dengan jenis kerja yang beraneka ragam. Ada yang bekerja
lembur selama lima hari dalam sebulan, tiga hari setiap bulan, kerja untuk pria
yang masih kuat (kroyo), dan ronda desa (kemit). Tidak seperti sekarang dimana
jaminan keselamatan kerja sudah ada, pada zaman tanah partikelir para
petani tidak mendapat jaminan kesehatan, dan jaminan perlindungan jika ada
gagal panen, dan halangan lainnya yang meyebabkan petani merugi.
Dari
penindasan-penindasan seperti itulah yang menyebabkan terjadinya gerakan sosial
atau pergolakan perlawanan yang bermula dari sengketa tanah partikelir.
Selain itu adanya dominasi kekuasaan oleh orang Barat dalam berbagai bidang
(politik, ekonomi, kultural) juga menjadi pemicu gerakan perlawanan. Dalam
pembahasan lebih dalam lagi perlawanan petani akan dijiwai oleh semangat lain,
yang semakin mengobarkan perlawanan terhadap hegemoni tuan tanah dan para
penindas mereka. Pergolakan itu muncul sebagai puncak ketegangan, permusuhan,
atau pertentangan dalam masyarakat pedesaan. Dalam pembahasan berikut akan kami
sampaikan pada spesifikasi wilayah Jawa.
Gerakan
Perlawanan di Jawa Barat
Daerah Jawa Barat
menjadi contoh pergolakan para petani yang terus berulang. Gerakan-gerakan ini
bukan hanya sebagai wujud ketidakpuasan petani terhadap tuan tanah tetapi lebih
kepada sistem yang diterapkan dalam mengelola hasi pertanian dan kesejahteraan
petani. Sebagai salah satu contohnya adalah peristiwa Ciomas (1886) dengan
tokoh utamanya tak lain adalah petani, tuan tanah, dan pemerintah. Kerusuhan di
ciomas (Bogor) menunjukan beberapa kerusuhan antara petani dan tuan tanah.
Sebab dari perlawanan para petani adalah seperti yang telah kami jelasan
diatas, antara lain : para petani mendapatkan pajak atau cuke yang begitu besar
dari hasil panen nya. Kemudian perlakuan tuan tanah dengan memperbudak para
petani. Petani-petani tersebut disuruh mengangkat hasil panen nya dari sawah
ketempat lumbung sejauh 15-18 km, wanita dan anak-anak turut pula dipekerjakan
selama 9 hari setiap bulan.
Sebagai tokoh
pemberontakan kita bisa mengenal Muhammad Idris yang merupakan penduduk asli
kelahiran Ciomas. Muhammad Idris dan kawan-kawan nya pada bulan mei
merencanakan pemberontakan ke wilayah Ciomas bagian selatan. Serangan dari
Muhammad Idris ini dan kawan-kawannya ditujukkan kepada pribadi tuan tanah.
Puncaknya pada tanggal 20 mei. Saat itu diadakan upacara sedekah bumi yang
dihadiri oleh semua pegawai tuan tanah, melihat antek-antek tuan tanah itu
pasukan Idris meluapkan kemarahannya dengan membunuh antek-antek tuan tanah
tersebut.
Memang dalam
pemberontakan ini yang menjadi sasaran bagi pasukan Idris adalah, pegawai
pemerintah,lintah darat,tuan tanah karena mereka yang menjadi penyebab
kesengsaraan bagi masyarakat. Dari pemberontakan yang terjadi di Ciomas, selain
karena adanya penindasan oleh tuan tanah pemberontakan di Ciomas juga di jiwai
oleh semangat mesianitas yaitu semangat keberadaan Ratu Adil atau juga
semangat keagamaan. Hal ini terlihat saat muhammad Idris mengasingkan diri di
wilayah Campea dan dia telah mengambil gelar Panembahan. Suatu gelar dari
sebuah aliran kepercayaan di wilayah jawa.
Hal yang menjadi ciri
khas pemberontakan melawan pemerasan yang terjadi di Jawa Barat yaitu, adanya
tradisi kepercayaan mengenai kedatangan Ratu Adil yang akan membawa kedamaian
dan kesejahteraan bagi masyarakat. Kedua, bahwa pemegang komando bukan berada
pada seorang kyai,ulama atau agamawan, bisa disimpulkan bahwa pusat perlawanan
tidak terletak pada daerah yang berbasis islam taat (abangan). Ketiga, yang
menjadi tokoh pendukung utama adalah sosok seorang dukun. Para dukun ini
dipercaya mampu memberikan kekuatan lahir dan batin bagi para pemberontak (para
petani).
Pada wilayah Ciomas ini
menjadi sebuah ikon perlawanan oleh petani yang digawangi oleh orang “awam”
agama sebagai akibat kekuasaan mutlak tuan tanah dalam mengamil pajak. Mereka
sebagai pemimpin, bukan terkenal sebagai ulamak, namun sebagai sosok pemimpin
adat yang mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Namun sebagai penganut
Islam, para pemimpin ini juga mampu mengobarkan ideologi Jihad yang disebarkan
kepada kaum petani.
Baca artikel lanjutan:
Baca artikel lanjutan:
- Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 1
- Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 2
- Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 3
- Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 4
- Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 5
- Gerakan Sosial Indonesia Abad 19 Bagian 6
No comments:
Post a Comment