Gerakan
Sekte Keagamaan di Jawa
Jamaa’ah Rifa’i
Salah satu gerakan sosial yang mengandung ciri
gerakan protes sekaligus gerakan sekte keagamaan adalah Jamaah Rifa’iyah. Nama
gerakan ini diambil dari tokoh pemimpinnya yaitu K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak.
Sebagaimana lazimnya gerakan-gerakan sosial yang bersifat tradisional, Jamaah
Rifa’iyah sangat lekat dengan sosok pemimpinnya yang karismatis. Lahir, tumbuh,
dan berkembangnya Jamaah Rifa’iyah pada dasarnya adalah implementasi dari
pemikiran-pemikiran K.H. Ahmad Rifa’i yang dituangkan dalam kitab-kitab karyanya.
Oleh karena itu, kita perlu memahami latar belakang dari sosok K.H. Ahmad
Rifa’i dan juga pemikiran yang terkandung dalam kitab-kitabnya. Dari riwayat
hidupnya kita akan melihat bahwa K.H. Ahmad Rifa’i adalah sosok seorang ulama
yang konsisten melawan pemerintah kolonial Belanda beserta elit birokrasi
tradisional dan konsistensi ini dapat ditemukan pula dalam tulisan yang
terdapat pada kitab-kitabnya. Kitab-kitab itu sendiri ditulis dalam rangka
merespon kebutuhan masyarakat ketika itu untuk mempelajari agama.[1]
Mohammad Rifa’i dari Kalisalak pada abad 19. Sekte
budiah merupakan jenis pemurniaan Islam dengan tujuan mengadakan pembaharuan
Islam dengan cara kembali kepada ajaran yang murni. Haji Rifa’i menulis
beberapa buku antara lain ilmu hukum Islam, asas-asas kepercayaan dan
mistisisme ditulis dalam bahasa Jawa dan dalam bentuk puisi. Kumpulan karyanya
disebut tardjumah. Kitab Tardjumah berisi terjemahan kedalam bahasa Jawa yang
terdapat dalam kitab suci yang berbahasa Arab.[2]
Haji Rifa’i berpendapat bahwa kehidupan agama dari
rakyat dan pemimpin telah menyimpang dari petunjuk-petunjuk Tuhan. Selain
konsepsi perjuangan melawan penjajah rifangi juga menyatakan akan datang suatu
masa bahwa pulau jawa akan menjadi makmur dan tidak ada tindak criminal jika orang-orang
bodoh patuh terhadap pemimpin yang bijak.
Di Kalisalak ia membangun sebuah komunitas
pengajian, mula-mula ia mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an. Namun lambat laun
orang dewasa dari Desa Kalisalak dan sekitarnya tertarik untuk mengaji padanya.
Di desa tersebut K.H. Ahmad Rifa’i menikah dengan janda Demang Kalisalak yang
bernama Nyai Sujinah. Pernikahan K.H. Ahmad Rifa’i dengan Nyai Sujinah
menunjukkan bahwa dirinya mendapat dukungan dari orang yang mempunyai status
sosial cukup tinggi yang nantinya dapat memberi manfaat bagi kelangsungan
dakwah. Di tempat barunya ini K.H. Ahmad Rifa’i menyebarkan pemikiran Islam
melalui kitab Tarojumah yang ia tulis sendiri. Kitab Tarojumah ini berbentuk
nazham atau syair dalam bahasa Jawa dan berhuruf Arab (Arab Pegon). Hal ini
tidak lepas dari kondisi sosio-kultural orang Jawa pada abad ke-19 yang tidak
memungkinkan untuk mempelajari dan memahami kitab-kitab yang berbahasa Arab.
Selain itu agar mudah dihafalkan dan dipahami.
Lambat laun komunitas keagamaan yang dibangun oleh K.H. Ahmad Rifa’i di
Kalisalak menarik penduduk sekitar dan daerah lain menjadi santrinya. Umumnya
para santri pengikut K.H. Ahmad Rifa’i adalah masyarakat desa yang mayoritas
bekerja sebagai petani. Untuk memfasilitasi minat para santrinya yang ingin
tinggal dekat dengannya ia mendirikan masjid dan pondok pesantren di Kalisalak
sehingga pengikutnya sering juga disebut Santri Kalisalak. Dalam kaitannya
dengan upaya dakwah yang dilakukannya, ada tujuh metode dakwah yang
dikembangkan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut:[3]
- Menerjemahkan Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab berbahasa Arab karangan ulama terdahulu ke dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon berbentuk nazham atau syair;
- Mengadakan kunjungan silaturahmi dari rumah ke rumah famili dan masyarakat;
- Menyelenggarakan pengajian umum dan dakwah keliling ke daerah yang penduduknya miskin secara materi dan agama guna membendung budaya asing;
- Menyelenggarakan dialog di masjid atau di langgar (mushola);
- Mengadakan kegiatan kesegaran jasmani bagi pemuda;
- Mengadakan gerakan protes sosial keagamaan terhadap birokrat pribumi dan Belanda;
- Untuk mempererat hubungan antara guru dengan murid dan antara murid dengan murid, biasa dilakukan pula pernikahan sesama murid, anak guru dengan murid (Amin, 1996: 106).
Di Kalisalak K.H. Ahmad Rifa’i tetap melakukan
kecaman dan protes terhadap Pemerintah dan birokrat pribumi. Tindakan ini tentu
sangat meresahkan pemerintah kolonial yang menganggap sikap militan K.H. Ahmad
Rifa’i sebagai ancaman. Kekhawatiran serupa melanda birokrat pribumi yang
khawatir kedudukan dan otoritasnya terancam.
Gerakan Igama
Jawa-Pasundan
Gerakan Igama jawa-pasundan didirikan oleh Sadewa
atau lenbih dikenal dengan Madrais. Sadewa merupakan putra mahkota dari
kerajaan Cirebon. Posisi Sadewa sebagai putra mahkota, melancarkan pemikiran
dan gerakannya tentang mengembalikan budaya Jawa dan Sunda. Gerakan ini menyerukan kepada pengikutnya
agar meninggalkan upacara dan hokum Islam, menurut gerakan ini Islam adalah
agama orang Arab bukan diperuntukkan untuk orang Jawa. Gerakan ini menyatakan
dalam salah satu ajarannya menyebutkan kesetiaan terhadap Ratu Belanda. Ajaran
lainnya juga menyatakan bahwa orang harus percaya terhadap Tuhan dan patuh
terhadap hokum negara.[4]
Gerakan Oah
Gerakan Oah merupakan salah sekte yang bergerak
melalui tindak kriminalitas. Gerakan ini
muncul di daerah Sukabumi dan Cianjur. Sekte Oah memiliki 1000 orang anggota
yang tersebar di berbagai desa. Gerakan ini melakukan pemerasan, penipuan dan
pembunuhan. Gerakan Oah dipimpin oleh Fadil, Bapa Adna, Kosi, Arkam, Pak tasik
dan Ibrahim. Kegiatan-kegiatan sekte ini dibantu oleh badal-badal yang dipimpin
oleh seorang jagoan.[5]
Baca artikel lanjutan:
No comments:
Post a Comment