September 10, 2015

Gunung Tambora & Gunung Krakatau



Makalah MPKT B
 oleh Ata

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1   LATAR BELAKANG
Gunung merupakan salah satu kekayaan bumi yang tercipta melalui proses yang sangat lama. Gunung juga merupakan wajah dari permukaan bumi yang menyebabkan kondisi dipermukaan bumi menjadi berbeda-beda. Contohnya seperti sumber mata air yang sangat di perlukan bagi makhluk hidup yang ada di bumi, manusia, hewan, tumbuhan pasti memerlukan air, selain itu gunung juga sebagai tempat tinggal flora dan fauna serta sumber daya alam lainnya.
Indonesia banyak memiliki gunung api yang aktif, hal ini disebabkan karena Indonesia terletak pada pertemuan lempeng tektoni, Eurasia dan Indo-Australia. Kedua lempeng yang bertumbukan ini mengakibatkan banyak terbentuk gunung api di Indonesia. Salah satu gunung yang terbentuk adalah Gunung Krakatau dan Gunung Tambora. Tepatnya di daerah selat sunda dan Sumbawa.
 Kedua gunung tersebut merupakan tipe gunung Stratovolcano yang memiliki isi kandungan dan ciri-ciri yang sama. Isi kandungan dari tipe gunung Stratovolcano merupakan lava, magma, material piroklastik, dan gas; karbondioksida (CO2), uap air (H2O), sulfur dioksida (SO2), klorin (CL) dan fluorin. Stratovolcano memiliki cirri-ciri bentuk yang tinggi dan kerucut, kemudian dibangun oleh banyak lapisan (strata) yang berasal dari lava mengeras, tephra, batu apung, dan abu vulkanik serta ditandai oleh profil curam dan letusan bersifat eksplosif.[1]
Kedua gunung yang telah meletus tersebut mengakibatkan sedikit banyak dampak terhadap cuaca dan lingkungan di Indonesia. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dipaparkan dampak letusan dari kedua gunung tersebut beserta efeknya pada cuaca dan lingkungan menggunakan metode deskriptif analitis, kajian pustaka, Home Group Discussion, dan analisis statistic.
1.2  RUMUSAN MASALAH

1.2.1        Dampak apa yang ditimbulkan oleh letusan gunung Krakatau dan gunung Tambora terhadap cuaca di Indonesia?
1.2.2        Manakah letusan kedua gunung tersebut yang mengakibatkan dampak yang lebih buruk terhadap cuaca dan lingkungan di Indonesia?

1.3  TUJUAN

1.3.1        Mengetahui dampak apa saja yang timbul dari letusan gunung Krakatau dan gunung Tambora terhadap cuaca dan lingkungan di Indonesia.
1.3.2        Mengetahui dampak terburuk yang ditimbulkan dari kedua gunung tersebut terhadapa cuaca dan linkungan di Indonesia.

1.4  METODE ANALISIS
Makalah ini dibuat menggunakan metode penulisan :
1.      Deskripsi analitis
2.      Kajian pustaka
3.      Home group discussion
4.      Analisis Statistik

1.6  RUANG LINGKUP

Pembahasan dalam makalah ini hanya mencakup Indonesia, khususnya daerah-daaerah yang berada di lingkungan gunung Krakatau dan gunung Tambora.

1.7  SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan makalah ini dibuat dalam lima bab, yang merupakan satu kesatuan dan masing-masing bab memiliki sub bab yang kan menjelaskan permasalahan secara lebih mendetail. Bab pertama adalah pendahuluan, bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, ruang lingkup peneletian, metode peneltian, tujuan penelitian, dan sistematika penelitian. Bab ini merupakan pokok pikiran yang memberikan gambaran secara menyeluruh penulisan makalah ini.
Bab kedua akan dibicarakan tentang perkembangan Gunung Tambora dan Gunung Krakatau. Sub bab pertama membicarakan tentang Gunung Tambora. Sub bab kedua membicarakan tentang Gunung Krakatau.
            Bab ketiga membicarakan tentang meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1815 dan Gunung Krakatau pada tahun 1883. Pada sub bab pertama membicarakan tentang terjadinya letusan Gunung Tambora. Pada sub bab kedua membicarakan tentang
            Bab keempat membicarakan tentang Pasca Letusan Gunung Tambora 1815 dan Letusan Gunung Krakatau 1883. Pada sub bab pertama membicarakan dampak letusan Gunung Tambora. Pada sub bab kedua membicarakan dampak letusan Gunung Krakatau.
Bab kelima merupakan bab penutup. Dalam bab ini akan disimpulkan permasalahan yang telah dibahas untuk mendapatkan gambaran secara utuh.

 


BAB 2

PERKEMBANGAN GUNUNG TAMBORA DAN GUNUNG KRAKATAU
2.1 Gunung Tambora
Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah stratovolcano aktif yang terletak dipulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Gunung Tambora adalah bagian dari busur Sunda, tali dari kepulauan vulkanik yang membentuk rantai selatan kepulauan Indonesia. Gunung ini terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut, dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak sisi timur hingga utara). Tambora membentuk semenanjungnya sendiri di pulau Sumbawa yang disebut semenanjung Sanggar. Di sisi utara semenanjung tersebut, terdapat laut Flores, dan di sebelah selatan terdapat teluk Saleh dengan panjang 86 km dan lebar 36 km. Pada mulut teluk Saleh, terdapat pulau kecil yang disebut Mojo.[2]
Selain seismologis dan vulkanologis yang mengamati aktivitas gunung tersebut, gunung Tambora adalah daerah untuk riset ilmiah arkeolog dan biologi. Gunung ini juga menarik turis untuk mendaki gunung dan aktivitas margasatwa. Dompu dan Bima adalah kota yang letaknya paling dekat dengan gunung ini. Di lereng gunung Tambora, terdapat beberapa desa. Di sebelah timur terdapat desa Sanggar. Di sebelah barat laut, terdapat desa Doro Peti dan desa Pesanggrahan. Di sebelah barat, terdapat desa Calabai.
Terdapat dua jalur pendakian untuk mencapai kaldera gunung Tambora. Rute pertama dimulai dari desa Doro Mboha yang terletak di sisi tenggara gunung Tambora. Rute ini mengikuti jalan beraspal melalui perkebunan kacang medesampai akhirnya mencapai ketinggian 1.150 m di atas permukaan laut. Rute ini berakhir di bagian selatan kaldera dengan ketinggian 1.950 m yang dapat dicapai oleh titik pertengahan jalur pendakian. Lokasi ini biasanya digunakan sebagai kemah untuk mengamati aktivitas vulkanik karena hanya memerlukan waktu satu jam untuk mencapai kaldera. Rute kedua dimulai dari desa Pancasila di sisi barat laut gunung Tambora. Jika menggunakan rute kedua, maka kaldera hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki).

 2.2 Gunung Krakatau
Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, banyak para ahli memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba. Gunung ini tersusun dari bebatuan andesitik dan merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883.
Catatan mengenai letusan Krakatau Purba diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara lain menyatakan:
“ Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula.... Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera[3]
Pakar geologi Berend George Escher dan beberapa ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks tersebut disebut Gunung Batuwara. Menurut buku Pustaka Raja Parwa tersebut, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.
Akibat letusan yang hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur dan menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Pulau Sertung, dalam catatan lain disebut sebagai Pulau Rakata, Pulau Rakata Kecil dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir bertanggung- jawab atas terjadinya abad kegelapan di muka bumi. Penyakit sampar bubonic terjadi karena temperatur mendingin. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi. Letusan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut juga telah membentuk perisai atmosfer setebal 20 – 150 meter dan  menurunkan temperatur sebesar 5 – 10  derajat selama 10 – 20  tahun.
Gunung Krakatau terletak di Selat Sunda yang memisahkan wilayah Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa. Wilayah Krakatau merupakan sebuah kelompok pulau yang terdiri atas Pulau Sertung, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Rakata sebagai pulau utama dengan tiga gunung api aktif, yaitu Gunung Rakata, Gunung Danan, dan Gunung Perbuwatan.
Munculnya Gunung Krakatau berawal ketika Pulau Rakata yang merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba tumbuh sesuai dengan dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang pada akhirnya memunculkan Gunung Krakatau (atau Gunung Rakata) yang terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang kemudian disebut Gunung Krakatau[4].

 
BAB 3

MELETUSNYA GUNUNG TAMBORA (1815) dan GUNUNG KRAKATAU (1883)
3.1 Terjadinya Letusan Gunung Tambora
Tambora terbentang 340 km di sebelah utara sistem palung Jawa dan 180-190 km di atas zona subduksi. Gunung ini terletak baik di sisi utara dan selatan kerak oseanik. Gunung ini memiliki laju konvergensi sebesar 7.8 cm per tahun. Tambora diperkirakan telah berada di bumi sejak 57.000 BP (penanggalan radiokarbon standar). Ketika gunung ini meninggi akibat proses geologi di bawahnya, dapur magmayang besar ikut terbentuk dan sekaligus mengosongkan isi magma. Pulau Mojo pun ikut terbentuk sebagai bagian dari proses geologi ini di mana teluk Saleh pada awalnya merupakan cekungan samudera (sekitar 25.000 BP). [5]
Menurut penyelidikan geologi, kerucut vulkanik yang tinggi sudah terbentuk sebelum letusan tahun 1815 dengan karakteristik yang sama dengan bentuk stratovolcano. Diameter lubang tersebut mencapai 60 km. Lubang utama sering kali memancarkan lava yang mengalir turun secara teratur dengan deras ke lereng yang curam.
Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, dinyatakan bahwa gunung Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun1815, tetapi besarnya letusan tidak diketahui. Perkiraan tanggal letusannya ialah tahun 3910 SM ± 200 tahun, 3050 SM dan 740 ± 150 tahun. Ketiga letusan tersebut memiliki karakteristik letusan yang sama. Masing-masing letusan memiliki letusan di lubang utama, tetapi terdapat pengecualian untuk letusan ketiga. Pada letusan ketiga, tidak terdapat aliran piroklastik. [6]
Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak letusannya terjadi pada bulan April tahun 1815. Besar letusan ini masuk ke dalam skala tujuh Volcanic Explosivity Index (VEI), dengan jumlah semburan tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter kubik. Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang utama, aliran piroklastik, korban jiwa, kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera. Letusan ketiga ini memengaruhi iklim global dalam waktu yang lama. Gunung Tambora mengalami ketidakaktifan selama beberapa abad sebelum tahun 1815, dikenal dengan nama gunung berapi "tidur", yang merupakan hasil dari pendinginan hydrous magma di dalam dapur magma yang tertutup. Didalam dapur magma dalam kedalaman sekitar 1,5-4,5 km, larutan padat dari cairan magma bertekanan tinggi terbentuk pada saat pendinginan dan kristalisasi magma. Tekanan di kamar makma sekitar 4-5kbar muncul dan temperatur sebesar 700 °C-850 °C.
Pada tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai bergemuruh dan menghasilkan awan hitam. Pada tanggal 5 April 1815, letusan terjadi, diikuti dengan suara guruh yang terdengar di MakassarSulawesi (380 km dari gunung Tambora), Batavia (kini Jakarta) di pulau Jawa (1.260 km dari gunung Tambora), dan Ternate di Maluku (1400 km dari gunung Tambora). Suara guruh ini terdengar sampai ke pulau Sumatera pada tanggal 10-11 April 1815 (lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang awalnya dianggap sebagai suara tembakan senapan. Pada pagi hari tanggal 6 April 1815, abu vulkanik mulai jatuh di Jawa Timur dengan suara guruh terdengar sampai tanggal 10 April 1815. [7]
Pada pukul 7:00 malam tanggal 10 April, letusan gunung ini semakin kuat. Tiga lajur api terpancar dan bergabung. Seluruh pegunungan berubah menjadi aliran besar api. Batuan apung dengan diameter 20 cm mulai menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan abu pada pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas mengalir turun menuju laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan besar terdengar sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bau "nitrat" tercium di Batavia dan hujan besar yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara tangal 11 dan 17 April 1815.
Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore hari tanggal 5 April, mereka menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut dengan jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah detasemen tentara bergerak dari Djocjocarta, dengan perkiraan bahwa pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat.
Letusan tersebut masuk dalam skala tujuh pada skala Volcanic Explosivity Index. Letusan ini empat kali lebih kuat daripada letusan gunung Krakatau tahun 1883. Diperkirakan 100 km³ piroklastiktrakiandesit dikeluarkan, dengan perkiraan massa 1,4×1014 kg. Hal ini meninggalkan kaldera dengan ukuran 6-7 km dan kedalaman 600-700 m. Massa jenis abu yang jatuh di Makassar sebesar 636 kg/m². Sebelum letusan, gunung Tambora memiliki ketinggian kira-kira 4.300 m, salah satu puncak tertinggi di Indonesia. Setelah letusan, tinggi gunung ini hanya setinggi 2.851 m.
Letusan Tambora tahun 1815 adalah letusan terbesar dalam sejarah. Letusan gunung ini terdengar sejauh 2.600 km, dan abu jatuh setidaknya sejauh 1.300 km. Kegelapan terlihat sejauh 600 km dari puncak gunung selama lebih dari dua hari. Aliran piroklastik menyebar setidaknya 20 km dari puncak.
  Aktivitas Tambora setelah letusan tersebut baru berhenti pada tanggal 15 Juli 1815. Aktivitas selanjutnya kemudian terjadi pada bulan Agustus tahun 1819 dengan adanya letusan-letusan kecil dengan api dan bunyi gemuruh disertai gempa susulan yang dianggap sebagai bagian dari letusan tahun 1815. Letusan ini masuk dalam skala kedua pada skala VEI. Sekitar tahun 1880 ± 30 tahun, Tambora kembali meletus, tetapi hanya di dalam kaldera. Letusan ini membuat aliran lava kecil dan ekstrusi kubah lava, yang kemudian membentuk kawah baru bernama Doro Api Toi di dalam kaldera.
Gunung Tambora masih berstatus aktif. Kubah lava kecil dan aliran lava masih terjadi pada lantai kaldera pada abad ke-19 dan abad ke-20. Letusan terakhir terjadi pada tahun 1967, yang disertai dengan gempa dan terukur pada skala 0 VEI, yang berarti letusan terjadi tanpa disertai dengan ledakan
3.3 Terjadinya Letusan Gunung Krakatau
Letusan pertama Krakatau tercatat terjadi sekitar tahun 1680. Gunung ini kemudian tetap hening selama lebih dari dua ratus tahun, hingga siklus letusan dimulai pada bulan Mei 1883. Pada tanggal 20 Mei 1883, tanda-tanda akan meletusnya Gunung Krakatau mulai muncul ketika terjadi letusan di Gunung Perbuwatan yang terdengar sampai sejauh 160 km dan lontaran debu dan batu setinggi 11 km dari gunung tersebut. Kegiatan vulkanik terus terjadi selama 3 bulan termasuk Gunung Danan yang mulai aktif di bulan Juni. Pada tanggal 11 Agustus, gas dan debu dalam jumlah besar keluar dari 7 kantong uap yang terdapat di Perbuwatan dan juga dari kaki dan puncak gunung Danan yang membakar hutan di pulau tersebut.
            Pada tanggal 26 Agustus pukul 1 siang, letusan mulai terdengar dan menyemburkan debu dan asap setinggi 36 km selama 4 jam serta menimbulkan tsunami pertama yang terjadi pada pukul 5 sore. Menjelang sore dan malam, terjadi letusan-letusan yang semakin keras terdengar. Keesokan harinya empat letusan dahsyat terjadi pada pukul 5:30, 6:42, 8:20 (yang terbesar) dan terakhir 10:02 yang semuanya terdengar di lebih dari 1/13 permukaan bumi mulai dari Pulau Rodriguez dekat Kepulauan Mauritius yang berjarak 4653 km, Srilanka, dan  letusan ini telah membangunkan orang-orang di Australia yang jaraknya lebih dari 2.500 Mil (lebih dari 4.000 km).
Letusan ini menyemburkan debu dan asap ke udara setinggi 80 km yang telah mengelilingi bumi berkali-kali dan tumpukkan debu tersebut nyaris terdapat di mana-mana di planet ini. Debu tersebut begitu tebal, sehingga Selat Sunda mengalami kegelapan total selama dua hari penuh. Letusan itu juga menimbulkan 9 kali gelombang tsunami. Gelombang ini telah mengelilingi bumi sekitar tujuh kali, dengan kecepatan mendekati 700 Mil (1.125 km) per jam, tiga kali secara searah, dan empat kali dalam arah berlawanan. Krakatau juga mengakibatkan 17 gunung api yang lebih kecil lainnya meletus di pulau itu, dan gabungan panas dari keseluruhan ledakan ini sangat  mengejutkan, yaitu sebesar 60 derajat. [9]
           
BAB 4

PASCA LETUSAN GUNUNG TAMBORA 1815 dan LETUSAN GUNUNG KRAKATAU 1883
4.1 Dampak Letusan Gunung Tambora
            Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang, bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km . Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober1815. Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal 23 April. Ledakan berhenti pada tanggal 15 Juli, walaupun emisi asab masih terlihat pada tanggal 23 Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun 1819, empat tahun setelah letusan.
Dalam perjalananku menuju bagian barat pulau, aku hampir melewati seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap penduduk yang berkurang memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda banyak lainnya telah terkubur: desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah rubuh, penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan.
...
Sejak letusan, 
diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir, yang menyerang jumlah penduduk yang besar. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga meninggal, dalam jumlah yang besar untuk masalah yang sama.
—Letnan Philips diperintahkan Sir Stamford Rafflesuntuk pergi ke Sumbawa. [10]
Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam. Tsunami setinggi 1-2 m dilaporkan terjadi di Besuki,Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi diMaluku.
Tinggi asap letusan mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km. Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km. Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di LondonInggris antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815dan 3 September dan 7 Oktober 1815. Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.
Jumlah perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada. Tanguy (1998) merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah letusan dan catatan Raffles. Tanguy menunjukan bahwa terdapat banyak korban di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal karena pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan setelah letusan. Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa.
4.2 Dampak Letusan Gunung Krakatau
Daya ledakan Krakatau diperkirakan mencapai 10.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II. Ledakan ini mengakibatkan Gelombang kejut yang terbentuk mampu merusak tembok dan menghancurkan jendela pada jarak 160 km. Gelombang tsunami yang mencapai ketinggian 36 – 40  meter telah menghancurkan 165 desa nelayan dan merusak 132 lainnya di pesisir pantai barat pulau Jawa dan pantai selatan pulau Sumatera serta menelan korban paling tidak 36.417 jiwa.
Tsunami bertemperatur tinggi ini mampu menghempaskan kapal Loudon yang sedang bersandar di Teluk Betung, Lampung sejauh 2,5 km ke daratan di ketinggian 10 meter, menghempaskan kapal The Berouw sejauh 3,3 km ke dalam hutan, dan juga mampu memindahkan terumbu karang seberat 600 ton ke daratan. Gelombang tsunami ini dirasakan di Auckland, Selandia Baru yang berjarak 7.767 km setinggi 2 meter, Aden yaitu sebuah kota di pesisir selatan Jazirah Arab yang terletak 7.000 km jauhnya dari Krakatau, Tanjung Harapan yang berjarak 14.076 km, Panama yang berjarak 20.646 km, Hawaii, pantai barat Amerika, Amerika Selatan dan bahkan sampai selat Inggris yang berjarak 19.873 km dari Krakatau. Di Tanjung Harapan dan Panama, kecepatan tsunami mencapai rata-rata 720 km per jam.
Debu yang dilontarkan sebanyak 21 km³, terbawa angin sampai ke Madagaskar yang mempengaruhi sinar matahari dan iklim global yang mampu menurunkan suhu di bumi sampai 1,2°C selama beberapa tahun akibat terbawa oleh angin di lapisan Stratosfer. Matahari terlihat biru dan hijau dari beberapa lokasi sebagai akibat dari terlontarnya debu dan aerosol ke stratosfer. Efek lainnya menyebabkan sunset dan sunrise berwarna sangat merah selama hampir 3 tahun yang pada saat pertama kali kemunculannya mampu membuat pemadam kebakaran di kota New York dan New Haven bersiaga penuh.
Letusan dahsyat ini juga menghancurkan 2/3 bagian pulau dari arah utara ke selatan, menghancurkan Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan serta hanya menyisakan sebagian gunung Rakata yang terletak di bagian selatan pulau. Gunung Danan yang sebelum letusan berketinggian 450 meter di atas permukaan laut berubah menjadi 250 meter di bawah permukaan laut. Dua pulau baru yaitu Calmeyer dan Steers juga terbentuk dari debu vulkanik dan batuan yang terletak di sebelah utara hanya dalam waktu semalam. Krakatau akhirnya tenggelam ke dalam laut, energinya telah terkuras, kekuatannya telah habis. Di tempatnya sekarang terdapat Anak Krakatau, sebuah pulau gunung berapi yang lebih kecil, yang terbentuk dalam letusan kecil pada tahun 1928, dan terus meletus secara berkala. Sangat kecil kemungkinannya Anak Krakatau dapat mencapai kekuatan bencana layaknya Krakatau. [11]


 BAB V

KESIMPULAN
            Letusan Gunung Tambora dan Krakatau merupakan letusan gunung terbesar hingga saat ini dan merupakan salah satu fenomena yang sangat menabjubkan di dunia. Peristiwa ini telah menyebabkan banyak kerugian baik itu nyawa manusia dan harta benda. Letusan ini menyemburkan debu dan asap ke udara yang menyebabkan kawasan Sumbaea dan Selat Sunda mengalami kegelapan total. Letusan Krakatau ini juga menimbulkan 9 kali gelombang tsunami yang meporak-porandakan wilayah sekitarnya. Selain itu, letusan ini juga mempengaruhi sinar matahari dan iklim global yang mampu menurunkan suhu di bumi sampai 1,2°C selama beberapa tahun akibat terbawa oleh angin di lapisan Stratosfer. Matahari menjadi terlihat biru dan hijau dari beberapa lokasi sebagai akibat dari terlontarnya debu dan aerosol ke stratosfer.
Letusan Gunung Tambora dan Gunung Krakatau telah menyadarkan kepada kita betapa kecilnya dan tidak berdayanya kita ketika berada di tengah-tengah kegaiban jagat raya yang mampu menggerakkan kekuatan raksasa yang sangat dahsyat. Selain itu, juga menyadarkan kepada kita agar selau beribadat dan taat kepada Tuhan  agar dilindungi dan terhindar dari bencana, baik yang besar maupun yang kecil.  
            Kini walaupun Gunung Tambora sudah tertidur kembali dan Gunung Krakatau sudah tenggelam ke dalam laut, di Selat Sunda telah muncul gunung baru yang masih aktif dan disebut anak Krakatau yang terletak di tempat Gunung Krakatau berada. Diperkirakan suatu saat nanti anak Krakatau akan memiliki potensi ledakan yang sama atau mungkin lebih besar dari ledakan yang dimiliki induknya. Tapi hal tersebut masih membutuhkan waktu yang sangat lama.


DAFTAR PUSTAKA
Buku
Astranto, Soni. 2008. E.Explore Bumi. Jakarta. Erlangga
Febiani, Tessa. 2007. Bencana Alam di Indonesia : gunung Meletus. Jakarta. Erlangga
Furgang, Kathy. 2006. Tambora a Killer Volcano from Indonesia. New York. The
Rosen Publishing Grup. Inc
Hidayat, Bern. 2006. Krakatau, Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883.Jakarta. PT.
Serambi Ilmu Semesta.
Kartodirdjo, Sartono, 1966. The peasant’s revoltof Banten in1888, it’s conditions,
course, and sequel. A case study of social movements in Indonesia.
Den Haag. Martinus Nijhoff,.
Kindersley, Dorling. 2006. Volcano. Dk Publishing. New York
Lapian, A.B. Bencana Alam dan Penulisan Sejarah (Krakatau 1883 dan
Cilegon 1888)
Rose, van Susanna. 1999. Volcanoes. London. Natural History Museum London.


[1]Febiani, Tessa. 2007. Bencana Alam di Indonesia : gunung Meletus. Jakarta. Erlangga, 43-45

[2]Furgang, Kathy. 2006. Tambora a Killer Volcano from Indonesia. New York. The Rosen Publishing Grup. Inc

[3]http://wapedia.mobi/id/Gunung_Krakatau

[4] Kompas, Edisi 3 Juli 2007

[5]Furgang, Kathy. 2006. Tambora a Killer Volcano from Indonesia. New York. The Rosen Publishing Grup. Inc
[6]Astranto, Soni. 2008. E.Explore Bumi. Jakarta. Erlangga
[7]Furgang, Kathy. 2006. Tambora a Killer Volcano from Indonesia. New York. The Rosen Publishing Grup. Inc

[8]Furgang, Kathy. 2006. Tambora a Killer Volcano from Indonesia. New York. The Rosen Publishing Grup. Inc
[9]Rose, van Susanna. 1999. Volcanoes. London. Natural History Museum London.

[10]Kartodirdjo, Sartono, 1966. The peasant’s revoltof Banten in1888, it’s conditions, course, and sequel. A case study of social movements in Indonesia. Den Haag. Martinus Nijhoff,.
[11]Kindersley, Dorling. 2006. Volcano. Dk Publishing. New York

No comments:

Post a Comment

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts