Makalah MPKT B
oleh Ata
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Gunung merupakan salah satu kekayaan
bumi yang tercipta melalui proses yang sangat lama. Gunung juga merupakan wajah
dari permukaan bumi yang menyebabkan kondisi dipermukaan bumi menjadi
berbeda-beda. Contohnya seperti sumber mata air yang sangat di perlukan bagi
makhluk hidup yang ada di bumi, manusia, hewan, tumbuhan pasti memerlukan air,
selain itu gunung juga sebagai tempat tinggal flora dan fauna serta sumber daya
alam lainnya.
Indonesia banyak memiliki gunung api
yang aktif, hal ini disebabkan karena Indonesia terletak pada pertemuan lempeng
tektoni, Eurasia dan Indo-Australia. Kedua lempeng yang bertumbukan ini
mengakibatkan banyak terbentuk gunung api di Indonesia. Salah satu gunung yang
terbentuk adalah Gunung Krakatau dan Gunung Tambora. Tepatnya di daerah selat
sunda dan Sumbawa.
Kedua gunung tersebut merupakan tipe gunung
Stratovolcano yang memiliki isi kandungan dan ciri-ciri yang sama. Isi
kandungan dari tipe gunung Stratovolcano merupakan lava, magma, material
piroklastik, dan gas; karbondioksida (CO2), uap air (H2O), sulfur dioksida
(SO2), klorin (CL) dan fluorin. Stratovolcano memiliki cirri-ciri bentuk yang
tinggi dan kerucut, kemudian dibangun oleh banyak lapisan (strata) yang berasal
dari lava mengeras, tephra, batu apung, dan abu vulkanik serta ditandai oleh
profil curam dan letusan bersifat eksplosif.[1]
Kedua gunung yang telah meletus
tersebut mengakibatkan sedikit banyak dampak terhadap cuaca dan lingkungan di
Indonesia. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dipaparkan dampak letusan dari
kedua gunung tersebut beserta efeknya pada cuaca dan lingkungan menggunakan
metode deskriptif analitis, kajian pustaka, Home Group Discussion, dan
analisis statistic.
1.2
RUMUSAN
MASALAH
1.2.1
Dampak
apa yang ditimbulkan oleh letusan gunung Krakatau dan gunung Tambora terhadap
cuaca di Indonesia?
1.2.2
Manakah
letusan kedua gunung tersebut yang mengakibatkan dampak yang lebih buruk
terhadap cuaca dan lingkungan di Indonesia?
1.3
TUJUAN
1.3.1
Mengetahui
dampak apa saja yang timbul dari letusan gunung Krakatau dan gunung Tambora terhadap
cuaca dan lingkungan di Indonesia.
1.3.2
Mengetahui
dampak terburuk yang ditimbulkan dari kedua gunung tersebut terhadapa cuaca dan
linkungan di Indonesia.
1.4
METODE
ANALISIS
Makalah ini dibuat menggunakan
metode penulisan :
1. Deskripsi analitis
2. Kajian pustaka
3. Home
group discussion
4. Analisis Statistik
1.6
RUANG
LINGKUP
Pembahasan dalam makalah ini hanya
mencakup Indonesia, khususnya daerah-daaerah yang berada di lingkungan gunung
Krakatau dan gunung Tambora.
1.7
SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan makalah ini dibuat dalam lima bab, yang merupakan satu
kesatuan dan masing-masing bab memiliki sub bab yang kan menjelaskan
permasalahan secara lebih mendetail. Bab pertama adalah pendahuluan, bab ini
memuat latar belakang, perumusan masalah, ruang lingkup peneletian, metode
peneltian, tujuan penelitian, dan sistematika penelitian. Bab ini merupakan
pokok pikiran yang memberikan gambaran secara menyeluruh penulisan makalah ini.
Bab kedua akan dibicarakan tentang perkembangan Gunung Tambora dan
Gunung Krakatau. Sub bab pertama membicarakan tentang Gunung Tambora. Sub bab
kedua membicarakan tentang Gunung Krakatau.
Bab
ketiga membicarakan tentang meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1815 dan
Gunung Krakatau pada tahun 1883. Pada sub bab pertama membicarakan tentang
terjadinya letusan Gunung Tambora. Pada sub bab kedua membicarakan tentang
Bab keempat
membicarakan tentang Pasca Letusan Gunung Tambora 1815 dan Letusan Gunung
Krakatau 1883. Pada sub bab pertama membicarakan dampak letusan Gunung Tambora.
Pada sub bab kedua membicarakan dampak letusan Gunung Krakatau.
Bab kelima merupakan bab penutup. Dalam bab ini akan disimpulkan
permasalahan yang telah dibahas untuk mendapatkan gambaran secara utuh.
BAB
2
PERKEMBANGAN
GUNUNG TAMBORA DAN GUNUNG KRAKATAU
2.1 Gunung Tambora
Gunung Tambora (atau Tomboro) adalah sebuah stratovolcano aktif yang terletak dipulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Gunung Tambora adalah bagian dari busur Sunda, tali dari kepulauan
vulkanik yang membentuk
rantai selatan kepulauan Indonesia. Gunung ini terletak di
dua kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut, dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki hingga puncak
sisi timur hingga utara). Tambora membentuk semenanjungnya sendiri di pulau Sumbawa yang disebut semenanjung Sanggar. Di sisi
utara semenanjung tersebut, terdapat laut Flores, dan di sebelah selatan terdapat teluk Saleh dengan panjang 86 km dan lebar 36 km. Pada mulut teluk Saleh, terdapat pulau kecil yang disebut Mojo.[2]
Selain seismologis dan vulkanologis yang mengamati aktivitas gunung tersebut, gunung Tambora adalah
daerah untuk riset ilmiah arkeolog dan biologi. Gunung ini juga menarik turis untuk mendaki gunung dan aktivitas
margasatwa. Dompu dan Bima adalah kota yang letaknya paling dekat dengan
gunung ini. Di lereng gunung Tambora, terdapat beberapa desa. Di sebelah timur
terdapat desa Sanggar. Di sebelah barat laut, terdapat desa Doro Peti dan desa
Pesanggrahan. Di sebelah barat, terdapat desa Calabai.
Terdapat dua jalur pendakian untuk mencapai kaldera gunung Tambora. Rute
pertama dimulai dari desa Doro Mboha yang terletak di sisi tenggara gunung
Tambora. Rute ini mengikuti jalan beraspal melalui perkebunan kacang medesampai akhirnya mencapai ketinggian 1.150 m di atas permukaan laut. Rute ini berakhir di bagian selatan kaldera
dengan ketinggian 1.950 m yang dapat dicapai oleh titik pertengahan jalur pendakian. Lokasi ini biasanya digunakan sebagai kemah untuk mengamati aktivitas
vulkanik karena hanya memerlukan waktu satu jam untuk mencapai kaldera. Rute
kedua dimulai dari desa Pancasila di sisi barat laut gunung Tambora. Jika
menggunakan rute kedua, maka kaldera hanya dapat dicapai dengan berjalan kaki).
2.2 Gunung Krakatau
Melihat kawasan Gunung Krakatau di Selat Sunda, banyak para ahli
memperkirakan bahwa pada masa purba terdapat gunung yang sangat besar di Selat
Sunda yang akhirnya meletus dahsyat yang menyisakan sebuah kaldera (kawah
besar) yang disebut Gunung Krakatau Purba. Gunung ini tersusun dari bebatuan andesitik dan merupakan induk dari Gunung Krakatau yang meletus pada 1883.
Catatan mengenai letusan Krakatau Purba diambil dari sebuah teks Jawa
Kuno yang berjudul Pustaka Raja Parwa yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Isinya antara
lain menyatakan:
“ Ada suara guntur
yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang
menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin
dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah
banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung
Kamula.... Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera ”[3]
Pakar geologi Berend
George Escher dan beberapa
ahli lainnya berpendapat bahwa kejadian alam yang diceritakan berasal dari
Gunung Krakatau Purba, yang dalam teks tersebut disebut Gunung Batuwara.
Menurut buku Pustaka Raja Parwa tersebut, tinggi Krakatau Purba ini mencapai 2.000 meter di atas
permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.
Akibat letusan yang hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba
hancur dan menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda. Sisi-sisi atau tepi
kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau
Panjang dan Pulau
Sertung, dalam catatan lain disebut sebagai
Pulau Rakata, Pulau Rakata Kecil dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini
disinyalir bertanggung- jawab atas terjadinya abad kegelapan di muka bumi.
Penyakit sampar bubonic terjadi karena temperatur mendingin. Sampar ini secara
signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi. Letusan Krakatau Purba
diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan
massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut juga telah membentuk
perisai atmosfer setebal 20 – 150 meter dan
menurunkan temperatur sebesar 5 – 10
derajat selama 10 – 20 tahun.
Gunung Krakatau terletak di Selat Sunda yang memisahkan wilayah
Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa. Wilayah Krakatau merupakan sebuah kelompok
pulau yang terdiri atas Pulau Sertung, Pulau Rakata Kecil, dan Pulau Rakata
sebagai pulau utama dengan tiga gunung api aktif, yaitu Gunung Rakata, Gunung
Danan, dan Gunung Perbuwatan.
Munculnya Gunung Krakatau berawal ketika Pulau Rakata yang
merupakan satu dari tiga pulau sisa Gunung Krakatau Purba tumbuh sesuai dengan
dorongan vulkanik dari dalam perut bumi yang pada akhirnya memunculkan Gunung
Krakatau (atau Gunung Rakata) yang terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunung api muncul dari tengah kawah, bernama Gunung
Danan dan Gunung
Perbuwatan yang kemudian menyatu dengan Gunung
Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang
kemudian disebut Gunung Krakatau[4].
BAB
3
MELETUSNYA
GUNUNG TAMBORA (1815) dan GUNUNG KRAKATAU (1883)
3.1 Terjadinya Letusan
Gunung Tambora
Tambora terbentang 340 km di sebelah utara sistem palung Jawa dan 180-190 km di atas zona subduksi. Gunung ini terletak baik di sisi utara dan selatan kerak oseanik. Gunung ini memiliki laju konvergensi sebesar 7.8 cm per tahun. Tambora diperkirakan telah berada di bumi sejak 57.000 BP
(penanggalan radiokarbon standar). Ketika gunung ini meninggi
akibat proses geologi di bawahnya, dapur magmayang besar ikut terbentuk dan sekaligus mengosongkan isi magma. Pulau Mojo
pun ikut terbentuk sebagai bagian dari proses geologi ini di mana teluk Saleh
pada awalnya merupakan cekungan
samudera (sekitar 25.000 BP). [5]
Menurut penyelidikan geologi, kerucut vulkanik yang tinggi sudah terbentuk
sebelum letusan tahun 1815 dengan karakteristik yang sama dengan bentuk stratovolcano. Diameter lubang tersebut mencapai 60 km. Lubang utama sering kali memancarkan lava yang mengalir turun secara
teratur dengan deras ke lereng yang curam.
Dengan menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, dinyatakan bahwa gunung Tambora telah meletus tiga kali sebelum letusan
tahun1815, tetapi besarnya letusan tidak diketahui. Perkiraan tanggal
letusannya ialah tahun 3910 SM ± 200 tahun, 3050 SM dan 740 ± 150 tahun. Ketiga letusan tersebut memiliki karakteristik letusan
yang sama. Masing-masing letusan memiliki letusan di lubang utama, tetapi
terdapat pengecualian untuk letusan ketiga. Pada letusan ketiga, tidak
terdapat aliran piroklastik. [6]
Pada tahun 1812, gunung Tambora menjadi lebih aktif, dengan puncak
letusannya terjadi pada bulan April tahun 1815. Besar letusan ini masuk ke dalam skala tujuh Volcanic Explosivity Index (VEI), dengan jumlah semburan tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter kubik.
Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang utama, aliran piroklastik,
korban jiwa, kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera. Letusan ketiga ini memengaruhi iklim global dalam waktu yang lama. Gunung Tambora mengalami ketidakaktifan selama beberapa abad sebelum tahun
1815, dikenal dengan nama gunung berapi "tidur", yang merupakan hasil dari pendinginan hydrous magma di dalam dapur magma yang tertutup. Didalam dapur magma dalam kedalaman sekitar 1,5-4,5 km, larutan padat dari cairan magma
bertekanan tinggi terbentuk pada saat pendinginan dan kristalisasi magma.
Tekanan di kamar makma sekitar 4-5kbar muncul dan temperatur sebesar 700 °C-850 °C.
Pada tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai bergemuruh dan menghasilkan
awan hitam. Pada tanggal 5 April 1815, letusan terjadi, diikuti dengan suara guruh yang terdengar di Makassar, Sulawesi (380 km dari gunung Tambora), Batavia (kini Jakarta) di pulau Jawa (1.260 km dari gunung Tambora), dan Ternate di Maluku (1400 km dari gunung Tambora). Suara guruh ini terdengar sampai ke
pulau Sumatera pada tanggal 10-11 April 1815 (lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang awalnya dianggap
sebagai suara tembakan senapan. Pada pagi hari tanggal 6 April 1815, abu vulkanik mulai jatuh di Jawa Timur dengan suara guruh terdengar sampai tanggal 10 April 1815. [7]
Pada pukul 7:00 malam tanggal 10 April, letusan gunung ini semakin kuat. Tiga lajur api terpancar dan
bergabung. Seluruh pegunungan berubah menjadi aliran besar api. Batuan apung dengan diameter 20 cm mulai menghujani pada pukul 8:00
malam, diikuti dengan abu pada pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas
mengalir turun menuju laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa
Tambora. Ledakan besar terdengar sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bau "nitrat" tercium di Batavia dan hujan besar yang disertai
dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara tangal 11 dan 17 April 1815.
Letusan pertama terdengar
di pulau ini pada sore hari tanggal 5 April, mereka menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut dengan
jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh pertama, hampir
dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah detasemen tentara bergerak
dari Djocjocarta, dengan perkiraan bahwa pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir,
perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang
semestinya berada dalam keadaan darurat.
Letusan tersebut masuk dalam skala tujuh pada skala Volcanic Explosivity Index. Letusan ini empat kali lebih kuat daripada letusan gunung Krakatau tahun 1883. Diperkirakan 100 km³ piroklastiktrakiandesit dikeluarkan, dengan perkiraan massa 1,4×1014 kg. Hal
ini meninggalkan kaldera dengan ukuran 6-7 km dan kedalaman 600-700
m. Massa jenis abu yang jatuh di Makassar sebesar 636 kg/m². Sebelum letusan, gunung Tambora memiliki
ketinggian kira-kira 4.300 m, salah satu puncak tertinggi di Indonesia.
Setelah letusan, tinggi gunung ini hanya setinggi 2.851 m.
Letusan Tambora tahun 1815 adalah letusan terbesar dalam
sejarah. Letusan gunung ini terdengar sejauh 2.600 km, dan abu jatuh
setidaknya sejauh 1.300 km. Kegelapan terlihat sejauh 600 km dari puncak
gunung selama lebih dari dua hari. Aliran piroklastik menyebar setidaknya 20 km
dari puncak.
Aktivitas Tambora setelah letusan tersebut
baru berhenti pada tanggal 15 Juli 1815. Aktivitas selanjutnya kemudian terjadi pada bulan Agustus tahun 1819 dengan adanya letusan-letusan kecil dengan api dan bunyi gemuruh
disertai gempa susulan yang dianggap sebagai bagian dari letusan tahun 1815. Letusan ini masuk dalam skala kedua pada skala VEI. Sekitar tahun 1880 ± 30 tahun, Tambora kembali meletus, tetapi hanya di dalam
kaldera. Letusan ini membuat aliran lava kecil dan ekstrusi kubah lava, yang kemudian membentuk kawah baru bernama Doro
Api Toi di dalam kaldera.
Gunung Tambora masih berstatus aktif. Kubah lava kecil dan aliran lava
masih terjadi pada lantai kaldera pada abad ke-19 dan abad ke-20. Letusan
terakhir terjadi pada tahun 1967, yang disertai dengan gempa dan terukur pada skala 0 VEI, yang berarti
letusan terjadi tanpa disertai dengan ledakan
3.3 Terjadinya Letusan Gunung Krakatau
Letusan pertama Krakatau tercatat terjadi sekitar tahun 1680.
Gunung ini kemudian tetap hening selama lebih dari dua ratus tahun, hingga
siklus letusan dimulai pada bulan Mei 1883. Pada tanggal 20 Mei 1883,
tanda-tanda akan meletusnya Gunung Krakatau mulai muncul ketika terjadi letusan
di Gunung Perbuwatan yang terdengar sampai sejauh 160 km dan lontaran debu dan
batu setinggi 11 km dari gunung tersebut. Kegiatan vulkanik terus terjadi
selama 3 bulan termasuk Gunung Danan yang mulai aktif di bulan Juni. Pada
tanggal 11 Agustus, gas dan debu dalam jumlah besar keluar dari 7 kantong uap
yang terdapat di Perbuwatan dan juga dari kaki dan puncak gunung Danan yang
membakar hutan di pulau tersebut.
Pada
tanggal 26 Agustus pukul 1 siang, letusan mulai terdengar dan menyemburkan debu
dan asap setinggi 36 km selama 4 jam serta menimbulkan tsunami pertama yang
terjadi pada pukul 5 sore. Menjelang sore dan malam, terjadi letusan-letusan
yang semakin keras terdengar. Keesokan harinya empat letusan dahsyat terjadi
pada pukul 5:30, 6:42, 8:20 (yang terbesar) dan terakhir 10:02 yang semuanya
terdengar di lebih dari 1/13 permukaan bumi mulai dari Pulau Rodriguez dekat
Kepulauan Mauritius yang berjarak 4653 km, Srilanka, dan letusan ini telah membangunkan orang-orang di
Australia yang jaraknya lebih dari 2.500 Mil (lebih dari 4.000 km).
Letusan ini menyemburkan debu dan asap ke udara setinggi 80 km yang
telah mengelilingi bumi berkali-kali dan tumpukkan debu tersebut nyaris
terdapat di mana-mana di planet ini. Debu tersebut begitu tebal, sehingga Selat
Sunda mengalami kegelapan total selama dua hari penuh. Letusan itu juga menimbulkan
9 kali gelombang tsunami. Gelombang ini telah mengelilingi bumi sekitar tujuh
kali, dengan kecepatan mendekati 700 Mil (1.125 km) per jam, tiga kali secara
searah, dan empat kali dalam arah berlawanan. Krakatau juga mengakibatkan 17
gunung api yang lebih kecil lainnya meletus di pulau itu, dan gabungan panas
dari keseluruhan ledakan ini sangat
mengejutkan, yaitu sebesar 60 derajat. [9]
BAB 4
PASCA LETUSAN GUNUNG TAMBORA 1815 dan LETUSAN GUNUNG KRAKATAU 1883
4.1 Dampak
Letusan Gunung Tambora
Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang, bercampur dengan
abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5
km . Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober1815. Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal 23 April. Ledakan berhenti pada tanggal 15 Juli, walaupun emisi asab masih terlihat pada tanggal 23 Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun 1819, empat tahun setelah letusan.
Dalam perjalananku menuju
bagian barat pulau, aku hampir melewati seluruh Dompo dan banyak bagian dari
Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap penduduk yang berkurang memberikan
pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda
banyak lainnya telah terkubur: desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan
rumah-rumah rubuh, penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan.
...
Sejak letusan, diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir, yang menyerang jumlah penduduk yang besar. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga meninggal, dalam jumlah yang besar untuk masalah yang sama.
...
Sejak letusan, diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir, yang menyerang jumlah penduduk yang besar. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga meninggal, dalam jumlah yang besar untuk masalah yang sama.
Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00
malam. Tsunami setinggi 1-2 m dilaporkan terjadi di Besuki,Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi diMaluku.
Tinggi asap letusan mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km. Partikel abu jatuh 1 sampai 2
minggu setelah letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km.
Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat
terjadinya fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat
di London, Inggris antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815dan 3 September dan 7 Oktober 1815. Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat
ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.
Jumlah perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada.
Tanguy (1998) merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber dari
Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah letusan dan
catatan Raffles. Tanguy menunjukan bahwa terdapat banyak korban di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal karena
pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan
setelah letusan. Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari
71.000 jiwa.
4.2 Dampak Letusan Gunung Krakatau
Daya ledakan Krakatau diperkirakan mencapai
10.000 kali bom atom yang
diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II. Ledakan ini
mengakibatkan Gelombang kejut yang terbentuk mampu merusak tembok dan
menghancurkan jendela pada jarak 160 km. Gelombang tsunami yang mencapai
ketinggian 36 – 40 meter telah
menghancurkan 165 desa nelayan dan merusak 132 lainnya di pesisir pantai barat
pulau Jawa dan pantai selatan pulau Sumatera serta menelan korban paling tidak
36.417 jiwa.
Tsunami bertemperatur tinggi ini mampu menghempaskan kapal Loudon
yang sedang bersandar di Teluk Betung, Lampung sejauh 2,5 km ke daratan di
ketinggian 10 meter, menghempaskan kapal The Berouw sejauh 3,3 km ke dalam
hutan, dan juga mampu memindahkan terumbu karang seberat 600 ton ke daratan.
Gelombang tsunami ini dirasakan di Auckland, Selandia Baru yang berjarak 7.767
km setinggi 2 meter, Aden yaitu sebuah kota di pesisir selatan Jazirah Arab
yang terletak 7.000 km jauhnya dari Krakatau, Tanjung Harapan yang berjarak
14.076 km, Panama yang berjarak 20.646 km, Hawaii, pantai barat Amerika,
Amerika Selatan dan bahkan sampai selat Inggris yang berjarak 19.873 km dari
Krakatau. Di Tanjung Harapan dan Panama, kecepatan tsunami mencapai rata-rata
720 km per jam.
Debu yang dilontarkan sebanyak 21 km³, terbawa angin sampai ke
Madagaskar yang mempengaruhi sinar matahari dan iklim global yang mampu
menurunkan suhu di bumi sampai 1,2°C selama beberapa tahun akibat terbawa oleh
angin di lapisan Stratosfer. Matahari terlihat biru dan hijau dari beberapa
lokasi sebagai akibat dari terlontarnya debu dan aerosol ke stratosfer. Efek
lainnya menyebabkan sunset dan sunrise berwarna sangat merah selama hampir 3
tahun yang pada saat pertama kali kemunculannya mampu membuat pemadam kebakaran
di kota New York dan New Haven bersiaga penuh.
Letusan dahsyat ini juga menghancurkan 2/3 bagian pulau dari arah
utara ke selatan, menghancurkan Gunung Perbuwatan dan Gunung Danan serta hanya
menyisakan sebagian gunung Rakata yang terletak di bagian selatan pulau. Gunung
Danan yang sebelum letusan berketinggian 450 meter di atas permukaan laut
berubah menjadi 250 meter di bawah permukaan laut. Dua pulau baru yaitu
Calmeyer dan Steers juga terbentuk dari debu vulkanik dan batuan yang terletak
di sebelah utara hanya dalam waktu semalam. Krakatau akhirnya tenggelam ke
dalam laut, energinya telah terkuras, kekuatannya telah habis. Di tempatnya
sekarang terdapat Anak Krakatau, sebuah pulau gunung berapi yang lebih kecil,
yang terbentuk dalam letusan kecil pada tahun 1928, dan terus meletus secara
berkala. Sangat kecil kemungkinannya Anak Krakatau dapat mencapai kekuatan
bencana layaknya Krakatau. [11]
BAB
V
KESIMPULAN
Letusan Gunung Tambora dan Krakatau merupakan letusan gunung
terbesar hingga saat ini dan merupakan salah satu fenomena yang sangat
menabjubkan di dunia. Peristiwa ini telah menyebabkan banyak kerugian baik itu
nyawa manusia dan harta benda. Letusan ini menyemburkan debu dan asap ke udara
yang menyebabkan kawasan Sumbaea dan Selat Sunda mengalami kegelapan total.
Letusan Krakatau ini juga menimbulkan 9 kali gelombang tsunami yang
meporak-porandakan wilayah sekitarnya. Selain itu, letusan ini juga
mempengaruhi sinar matahari dan iklim global yang mampu menurunkan suhu di bumi
sampai 1,2°C selama beberapa tahun akibat terbawa oleh angin di lapisan
Stratosfer. Matahari menjadi terlihat biru dan hijau dari beberapa lokasi
sebagai akibat dari terlontarnya debu dan aerosol ke stratosfer.
Letusan Gunung Tambora dan Gunung Krakatau telah menyadarkan kepada
kita betapa kecilnya dan tidak berdayanya kita ketika berada di tengah-tengah
kegaiban jagat raya yang mampu menggerakkan kekuatan raksasa yang sangat
dahsyat. Selain itu, juga menyadarkan kepada kita agar selau beribadat dan taat
kepada Tuhan agar dilindungi dan
terhindar dari bencana, baik yang besar maupun yang kecil.
Kini
walaupun Gunung Tambora sudah tertidur kembali dan Gunung Krakatau sudah
tenggelam ke dalam laut, di Selat Sunda telah muncul gunung baru yang masih
aktif dan disebut anak Krakatau yang terletak di tempat Gunung Krakatau berada.
Diperkirakan suatu saat nanti anak Krakatau akan memiliki potensi ledakan yang
sama atau mungkin lebih besar dari ledakan yang dimiliki induknya. Tapi hal
tersebut masih membutuhkan waktu yang sangat lama.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Astranto,
Soni. 2008. E.Explore Bumi. Jakarta. Erlangga
Febiani, Tessa. 2007. Bencana Alam di Indonesia : gunung Meletus. Jakarta. Erlangga
Furgang,
Kathy. 2006. Tambora a Killer Volcano from Indonesia. New York. The
Rosen Publishing Grup. Inc
Hidayat,
Bern. 2006. Krakatau, Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883.Jakarta. PT.
Serambi Ilmu Semesta.
Kartodirdjo,
Sartono, 1966. The peasant’s revoltof
Banten in1888, it’s conditions,
course, and
sequel. A case study of social movements in Indonesia.
Den Haag. Martinus Nijhoff,.
Kindersley,
Dorling. 2006. Volcano. Dk Publishing. New York
Lapian,
A.B. Bencana Alam dan Penulisan Sejarah
(Krakatau 1883 dan
Cilegon 1888)
Rose, van Susanna. 1999. Volcanoes. London. Natural History Museum London.
[2]Furgang, Kathy. 2006. Tambora a Killer Volcano from Indonesia.
New York. The Rosen Publishing Grup. Inc
[3]http://wapedia.mobi/id/Gunung_Krakatau
[4] Kompas, Edisi 3 Juli 2007
[5]Furgang, Kathy. 2006. Tambora a Killer Volcano from Indonesia.
New York. The Rosen Publishing Grup. Inc
[6]Astranto, Soni. 2008. E.Explore Bumi. Jakarta. Erlangga
[7]Furgang, Kathy. 2006. Tambora a Killer Volcano from Indonesia.
New York. The Rosen Publishing Grup. Inc
[8]Furgang, Kathy. 2006. Tambora a Killer Volcano from Indonesia.
New York. The Rosen Publishing Grup. Inc
[10]Kartodirdjo, Sartono, 1966. The
peasant’s revoltof Banten in1888, it’s conditions, course, and sequel. A case
study of social movements in Indonesia. Den Haag. Martinus Nijhoff,.
[11]Kindersley, Dorling. 2006. Volcano. Dk Publishing. New York
No comments:
Post a Comment