Libya dibawah kepepimpinan Idris Al
Sanusi
oleh Fakhri
Di antara
beberapa negara Afrika Utara yang mengalami pedihnya cengkraman imperialisme
Barat adalah Libya. Negara ini mengalami perlakuan imperialis yang brutal di
bawah dominasi asing, sebelum mencapai kemerdekaan pada 24 Desember 1951,
negeri ini mengalami beberapa kali hidup di bawah negara penjajah. Selama tiga
dekade, libya mengalami penjajahan dibawah Italia, dan hampir satu dekade
admistrsi Libya diatur oleh Prancis dan Inggris. Pada saat itu Libya terbagi
kedalam tiga federasi dengan tiga pemerintahan propinsi luas lilayah 1.768.000
kilometer persegi, dengan populasi 2,5 juta jiwa. Propinsi-propinsi tersebut
adalah Cyrenaica, di bagian timur, yang beribukota Benghazi, Tripoli di barat
dengan Tripoli sebagai ibukota, dan Fezzan di selatan. Keadaan Libya pada
tahun 1951 sangat miskin. Libya merupakan negara yang underdeveloped dan
mempunyai tingkat ketergantungan sangat tinggi kepada bantuan Barat, terutama
kepada Amerika Serikat dan Inggris, yang menempatkan camp militer disana.
Muhammad Idris
adalah cucu dari pendiri tarakat Sufi Sanusiya , sekaligus raja yang memimpin
Libya dengan Raja Idris I. Raja Idris I menjalankan pemerintahan yang tidak
efektif, bahkan ceroboh. Selama berkuasa 17 tahun, rezimnya hanya dihiasi oleh
instabilitas sosial, konflik kesukuan dan persaingan politik. Selama waktu itu
pula dia telah membongkar pasang kabinetnya sebanyak tujuh kali. Sebab yang memicu
terjadinya instabilitas tersebut adalah persaingan antara kabinet dengan
eksekutif. Raja sendiri cenderung lebih mengutamakan kepentingan keluaraganya
dan wibawa kelompok keagamaan serta kepentinghanh basis kekuasaannya di Cyrenaica
dibandingkan pembelaannya terhadap rakyat banyak. Tetapi ia berhasil membuat
prestasi besar bagi Libya yaitu mempersatukan tiga federasi tersebut kedalam negara
kesatuan pada tahun 1963.
Dalam pengaruh
kekuatan asing, Raja Idris I tidak mendukung perjuangan Arab secara langsung,
bahkan ia justru lebih akrab dengan Barat, terutama Inggris dan Amerika. Dia
melakukan hal itu karena ia takut imbas dari gerakan revolusi dan pemikiran
radikal yang menghantarkan Mesir pada revolusi pada tahun 1952. Bila itu
terjadi, maka tentu saja posisi kekuasaannya terancam. Sebelum revolusi,
masyarakat Libya merupakan suku-suku yang berwawasan sempit.
Oleh karena
itu, semua bentuk partisipasi publik tidak berdasarkan kepentingan rakyat
banyak, tetapi berdasarka kepintingan pribadi, kelompok, keluarga atau suku.
Hal yang lebih memperparah keburukan sistem kerajaan ini adalah korupsi yang
sama sekali tak terkontrol, nepotisme, penyimpangan administrasi dan
penyelewengan fiskal. Sembilan puluh persen wiyah Libya merupakan padang pasir.
Fakta tersebut ditunjukkan oleh sedikitnya sumber air dan tidak dapat
dilaksanakannya sistem irigasi, sehingga hanya satu persen dari wilayah
teritorialnya yang dapat digarap dengan baik.
Sumber kekayaan
Libya sebelum ditemukannya minyak hanyalah dari pertanian dan peternakan.
Rata-rata pendapatan perkapita negara mencapai 30 dolar pertahun. Keadaan
seperi itu berubah secara dramatis pada saat ditemukannya minyak, yang mengubah
Libya menjadi negara keempat pengekspor minyak terbesar di dunia. Tetapi,
sayangnya, dengan kekayaan minyaknya, pembangunan sektor pertanian menjadi
terabaikan. Akibatnya, walaupun memilki potensi kekayaan, secara ekonomi tetap
Libya merupakan negara yang tidak berkembang. Masyarakat Libya secara
structural terdiri dari ikatan-ikatan keluarga, kelompok dan kesukuan. Ikatan
sosialnya berdasarkan atas nilai-nilai keagamaan dan adat. Sebenarnya
nilai-nilai keagamaan dan masyarakat merupakan hal yang positif untuk menata
hubungan social, pembinaan moral masyarakat dan terjadinya kerja sama antara
mereka. Namun lantaran pandangan keagamaan mereka sangat konservatif dan
sempit, mereka sulit mengalami transformasi.
Rakyat digiring
oleh pemimpin keagamaan ataupun kesukuan yang tidak mempunyai prinsip tetapi
mempunyai hak penuh untuk mengendalikan masyarakat guna melayani
kehendak-kehendak picik para pemimpin tersebut. Dengan demikian, sebelum
revolusi, pemimpin agama berada dalam posisi yang sangat penting secara
politis, saosial dan pendidikan masyarakat. Mereka memimpin perwakilan di
lembaga-lembaga pemerintah sekaligus menjadi pemimpin spiritual. Karena itu
tidaklah mengherankan jika symbol-simbil keagamaan memainkan peran penting
dalam mengontrol dan memobilisasi massa sepanjang sejarah Libya, terutama pada
masa Negara ini bebentuk kerajaan. Selama penjajahan Italia, orang Libya
asli tidak boleh mengikuti pendidikan umum yang mereka selenggarakan. Hanya ada
sedikit sekolah-sekolah tersebut, bahkan setelah kemerdekaan itupun hanya
diperuntukkan bagi anak laki-laki. Sebelum tahun 1959, di Libya hanya ada
25 orang guru dan 14 0rang sarjana. Pada tahun 1959, terdapat 31 sarjana
lulusan Universitas Qar Yunus, satu-satunya universitas di Libya. Setelah tahun
1959, pendidikan di Libya, walaupun tidak ada rintangan yang serius, dimana
seluruh warga Libya mendapat kesempatan yang sama untuk meraih pendidikan yang
lebih tinggi, jalan di tempat. Hal itu disebabkan oleh kesetiaan dan hutang
budi Raja Idris terhadap tarekat-tarekat keagamaan yang mempertahankan system
pendidikan tradisional, dimana merka hanya punya sedikit perhatiaan terhadap
pendidikan moderen.
Libya terkenal dengan Muamar Khadafi
ReplyDelete