September 12, 2015

Libya dibawah kepepimpinan Idris Al Sanusi



Libya dibawah kepepimpinan Idris Al Sanusi

oleh Fakhri
Di antara beberapa negara Afrika Utara yang mengalami pedihnya cengkraman imperialisme Barat adalah Libya. Negara ini mengalami perlakuan imperialis yang brutal di bawah dominasi asing, sebelum mencapai kemerdekaan pada 24 Desember 1951, negeri ini mengalami beberapa kali hidup di bawah negara penjajah. Selama tiga dekade, libya mengalami penjajahan dibawah Italia, dan hampir satu dekade admistrsi Libya diatur oleh Prancis dan Inggris. Pada saat itu Libya terbagi kedalam tiga federasi dengan tiga pemerintahan propinsi luas lilayah 1.768.000 kilometer persegi, dengan populasi 2,5 juta jiwa. Propinsi-propinsi tersebut adalah Cyrenaica, di bagian timur, yang beribukota Benghazi, Tripoli di barat dengan Tripoli sebagai ibukota, dan Fezzan di selatan.  Keadaan Libya pada tahun 1951 sangat miskin. Libya merupakan negara yang underdeveloped dan mempunyai tingkat ketergantungan sangat tinggi kepada bantuan Barat, terutama kepada Amerika Serikat dan Inggris, yang menempatkan  camp militer disana.
Muhammad Idris adalah cucu dari pendiri tarakat Sufi Sanusiya , sekaligus raja yang memimpin Libya dengan Raja Idris I. Raja Idris I menjalankan pemerintahan yang tidak efektif, bahkan ceroboh. Selama berkuasa 17 tahun, rezimnya hanya dihiasi oleh instabilitas sosial, konflik kesukuan dan persaingan politik. Selama waktu itu pula dia telah membongkar pasang kabinetnya sebanyak tujuh kali. Sebab yang memicu terjadinya instabilitas tersebut adalah persaingan antara kabinet dengan eksekutif. Raja sendiri cenderung lebih mengutamakan kepentingan keluaraganya dan wibawa kelompok keagamaan serta kepentinghanh basis kekuasaannya di Cyrenaica dibandingkan pembelaannya terhadap rakyat banyak. Tetapi ia berhasil membuat prestasi besar bagi Libya yaitu mempersatukan tiga federasi tersebut kedalam negara kesatuan pada tahun 1963.
Dalam pengaruh kekuatan asing, Raja Idris I tidak mendukung perjuangan Arab secara langsung, bahkan ia justru lebih akrab dengan Barat, terutama Inggris dan Amerika. Dia melakukan hal itu karena ia takut imbas dari gerakan revolusi dan pemikiran radikal yang menghantarkan Mesir pada revolusi pada tahun 1952. Bila itu terjadi, maka tentu saja posisi kekuasaannya terancam. Sebelum revolusi, masyarakat Libya merupakan suku-suku yang berwawasan sempit.
Oleh karena itu, semua bentuk partisipasi publik tidak berdasarkan kepentingan rakyat banyak, tetapi berdasarka kepintingan pribadi, kelompok, keluarga atau suku. Hal yang lebih memperparah keburukan sistem kerajaan ini adalah korupsi yang sama sekali tak terkontrol, nepotisme, penyimpangan administrasi dan penyelewengan fiskal. Sembilan puluh persen wiyah Libya merupakan padang pasir. Fakta tersebut ditunjukkan oleh sedikitnya sumber air dan tidak dapat dilaksanakannya sistem irigasi, sehingga hanya satu persen dari wilayah teritorialnya yang dapat digarap dengan baik.
Sumber kekayaan Libya sebelum ditemukannya minyak hanyalah dari pertanian dan peternakan. Rata-rata pendapatan perkapita negara mencapai 30 dolar pertahun. Keadaan seperi itu berubah secara dramatis pada saat ditemukannya minyak, yang mengubah Libya menjadi negara keempat pengekspor minyak terbesar di dunia. Tetapi, sayangnya, dengan kekayaan minyaknya, pembangunan sektor pertanian menjadi terabaikan. Akibatnya, walaupun memilki potensi kekayaan, secara ekonomi tetap Libya merupakan negara yang tidak berkembang.  Masyarakat Libya secara structural terdiri dari ikatan-ikatan keluarga, kelompok dan kesukuan. Ikatan sosialnya berdasarkan atas nilai-nilai keagamaan dan adat. Sebenarnya nilai-nilai keagamaan dan masyarakat merupakan hal yang positif untuk menata hubungan social, pembinaan moral masyarakat dan terjadinya kerja sama antara mereka. Namun lantaran pandangan keagamaan mereka sangat konservatif dan sempit, mereka sulit mengalami transformasi.
Rakyat digiring oleh pemimpin keagamaan ataupun kesukuan yang tidak mempunyai prinsip tetapi mempunyai hak penuh untuk mengendalikan masyarakat guna melayani kehendak-kehendak picik para pemimpin tersebut. Dengan demikian, sebelum revolusi, pemimpin agama berada dalam posisi yang sangat penting secara politis, saosial dan pendidikan masyarakat. Mereka memimpin perwakilan di lembaga-lembaga pemerintah sekaligus menjadi pemimpin spiritual. Karena itu tidaklah mengherankan jika symbol-simbil keagamaan memainkan peran penting dalam mengontrol dan memobilisasi massa sepanjang sejarah Libya, terutama pada masa Negara ini bebentuk kerajaan.  Selama penjajahan Italia, orang Libya asli tidak boleh mengikuti pendidikan umum yang mereka selenggarakan. Hanya ada sedikit sekolah-sekolah tersebut, bahkan setelah kemerdekaan itupun hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki. Sebelum tahun 1959, di Libya hanya ada 25 orang guru dan 14 0rang sarjana. Pada tahun 1959, terdapat 31 sarjana lulusan Universitas Qar Yunus, satu-satunya universitas di Libya. Setelah tahun 1959, pendidikan di Libya, walaupun tidak ada rintangan yang serius, dimana seluruh warga Libya mendapat kesempatan yang sama untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi, jalan di tempat. Hal itu disebabkan oleh kesetiaan dan hutang budi Raja Idris terhadap tarekat-tarekat keagamaan yang mempertahankan system pendidikan tradisional, dimana merka hanya punya sedikit perhatiaan terhadap pendidikan moderen.

1 comment:

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts