Gerakan Sekte Keagamaan
Gerakan Samin
Samin Surosentiko lahir di Plosokediren, Randublatung, Blora pada
tahun 1859. Raden Kohar adalah nama kecilnya. Garis bangsawan mengalir dalam
darahnya dari garis ayahnya, Raden Surowijoyo yang merupakan keturunan dari
Pangeran Kusumaningayu, Adipati Sumoroto, daerah Tulungagung sekarang. Samin
Surosentiko dibesarkan dalam pengasuhannya ayahnya di Plosokediren. Realita masa
penjajahan kolonial menyadarkan dirinya akan hak-hak bangsa pribumi yang
tertindas. Terutama kebijakan Kompeni atas privatisasi hutan jati dan kewajiban
membayar pajak bagi masyarakat miskin.[1]
Raden Kohar tumbuh dengan jiwa dan semangat empatis atas masyarakat
sekitar. Ia melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk
pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata). Perlawanan
tidak dilakukan secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala
peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap pemerintah
Kolonial. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut, ia merekontruksi
sebuah tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan baru yang berbeda dari
kaidah-kaidah yang berlaku umum. Sebuah gerakan yang lebih bersifat sebagai
pembangkangan dan perlawanan sipil terhadap pemerintah Kolonial.[2]
Gerakan sosial Raden Kohar, yang selanjutnya bernama Samin
Surosentiko ~ sebuah nama yang lebih bernafaskan jiwa rakyat kebanyakan,
memiliki tiga unsur gerakan Saminisme. Pertama, gerakan yang mirip organisasi
proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan
agraris terselubung. Kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik
yang mencolok. Dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar
pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria
dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Sartono Kartodirjo,
gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan”
sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang
menentang kekuasaan kulit putih.[3]
Gerakan Samin merupakan gerakan social tradisional pedesaan yang
bersifat pasif. Gerakan ini dipimpin oleh Surontiko Samin. Gerakan ini dilakukan
oleh petani dan cakupan wilayahnya kecil. Gerakan ini muncul pada abad ke 19,
gerakan Samin tidak melakukan tindak kekerasan seperti gerakan yang lain.
gerakan Samin mengutamakan kejujuran, menghargai sesamanya dan menghargai kaum
perempuan. Pemerintah Hindia Belanda dan Snouk Hurgonje berpandangan bahwa
gerkan ini mesianistis yang non-Islam.
Gerakan ini tidak berbahaya dan mudah ditumpas jika pemimpinnya dibuang.
Surontiko Samin akhirnya dibuang ke Sumatra.[4]
Gerakan Samin muncul karena himpitan ekonomi akibat
kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Gerakan Samin menampakkan
peningkatan kegiatannya dan bersifat mesianistis pada abad ke 20. Gerakan Samin
tidak Homogen, hal ini terlihat di berbagai daerah yang mendapat pengaruh dari
gerakan Samin. Setelah Surontiko dibuang ke Sumatra, para pemimpin lainnya meneruskan
gerakan Samin dengan pandangan berbeda-beda. Hal ini terjadi karena tidak ada
doktrin tertulis yang ditinggalkan Surontiko.[5]
Gerakan Sekte keagamaan
Di luar arus perkembangan mesianisme selama abad 19 dan 20, muncul
lah sekte-sekte keagamaan baru, gerakan milenaristis sangat menarik bagi
golongan petani pada khususnya dan lapisan bawah pada umumnya. Ciri-ciri
gerakan sekte yaitu corak umum dari gerakan pemberontak, adanya unsur-unsur
protes rakyat terhadap tekanan dari golongan yang berkuasa seperti gerekan2
kerusuhan di pedesaan.Gerakan milenaristis atau gerakan sekte menampilkan
pemimpin-pemimpin karismatis yaitu para guru, haji atau kiai, dan memberikan
tempat rakyat untuk bersatu dalam ikatan keagamaan.
Pada abad ke 19 dan ke 20 gerakan mesianisme berkembang pesat,
disisi lain sekte-sekte keagamaan muncul. Gerakan ini diikuti oleh golongan
petani dan masyarakat lapisan bawah. Gerakan ini pada umumnya menunjukkan corak
umum dari gerakan pemberontakkan dan unsur-unsur protes rakyat terhadap
golongan yang berkuasa.Gerakan sekte pada umumnya dipimpin oleh pemimpin
karismatis seperti guru dan haji atau kiai yang menyatukan masyarakat dalam
ikatan keagamaan. Gerakan sekte memberikan jalan pelarian bagi mereka yang
pegangan hidupnya sedang mengalami masalah.
Gerakan mesianisme dan gerakan sekte (milenaristis) memiliki
persamaaan dan perbedaan. Kedua tipe gerakan tersebut didukung oleh masyarakat
lapisan bawah, dipimpin oleh elit agama, dan ideology milenaristis memiliki
pandangan hidup dimasa sekarang daripada kehidupan akhirat.[6]
Gerakan sekte di jawa muncul adanya perubahan-perubahan social dan
demorilisasi akibat dari westernisasi. Sekte merupakan ekspresi keagamaan dari
perasaan ketidakmampuan suatu masyarakat dan perasan-perasaaan untuk
memberontak, hasil perjuangan kelas, organisasi dari kelas bawah dan peralatan
dari sifat agresif mereka. Oleh karena itu dapat di pahami bahwa milenarisme
mendapat tempat di kalangan masyarakat yang tertindas karena dianggap
memperjuangkan hak mereka.
Ciri-ciri umum gerakan sekte dan mesianisme terdapat dalam masalah
peran pemimpin dan ajaran-ajarannya. Pemimpin dalam gerakan itu merupakan hal
yang vital (penting). Selain itu, masalah ekonomi dan social dalam
gerakan-gerakan sekte merupakan hall penting pula. Dalam hal ini, bahwa iklim
budaya memberikan tempat baik bagi
kelahiran seorang pemimpin agama yang kemudian mampu mewujudkan gerakan keagamaan.[7]
Tujuan gerakan sekte adalah menjawab persoalan kebendaan yang
dihadapi anggota-anggotanya. Jawaban tersebut adalah kehidupan duniawi yang
penuh kebahagiaan dan ketentraman. Hal tersebut dapat terwujud jika kerajaan
diperintah secara adil, damai dan bebas dari golongan penguasa yang buruk.
Ideology gerakan sekte dekat dengan ideology gerakan misianisme yaitu berorientasi
dengan kehidupan sekarang. Gerakan-gerakan sekte dijawa terdapat petunjuk bahwa
gerakan yang tidak dilembagakan cenderung mencari tujuan yang bersifat
kebendaan dan keduniawian. Sebaliknya gerakan yang terlembaga cenderung
mengerahkan pandangan kepada kehidupan akhirat.
Perbedaan sikap moral antara satu sekte dengan sekte lain
memperjelas adanya bermacam-macam sektarianisme. Di satu pihak terdapat satu
sekte secara keras melancarkan propaganda menentang kekenduran dalam
menjalankan kehidupan beragama secara ketat dalam kehidupan sehari-hari. Di
lain pihak terdapat golongan sekte yang memberikan kebebasan dalam melakukan
dasar-dasar agama. Salah satu ciri lain gerakan sekte ialah adanya pengawasan
yang ketat terhadap anggota-anggotanya. Sebagai syarat mutlak setiap calon
anggota yang hendak masuk terdalam tarikat harus mengucapkan sumpah setia
terlebih dahulu. Hal ini berbeda dengan gerakan mesianistis yang hanya
mengundang hak dari pihak pimpinan untuk mengeluarkan anggotanya
bila melakukan pengkhianatan.
Sifat kerahasiaan yang menyelubungi kehidupan sekte merupakan alat
pertahanan dan perlindungan terhadap dunia luar. Usaha untuk merahasiakan diri
timbul karena adanya kecurigaan dari pihak yang berkuasa.
Gerakan di Jawa
·
Jamaa’ah Rifa’i
Salah satu
gerakan sosial yang mengandung ciri gerakan protes sekaligus gerakan sekte
keagamaan adalah Jamaah Rifa’iyah. Nama gerakan ini diambil dari tokoh
pemimpinnya yaitu K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak. Sebagaimana lazimnya
gerakan-gerakan sosial yang bersifat tradisional, Jamaah Rifa’iyah sangat lekat
dengan sosok pemimpinnya yang karismatis. Lahir, tumbuh, dan berkembangnya
Jamaah Rifa’iyah pada dasarnya adalah implementasi dari pemikiran-pemikiran K.H.
Ahmad Rifa’i yang dituangkan dalam kitab-kitab karyanya. Oleh karena itu, kita
perlu memahami latar belakang dari sosok K.H. Ahmad Rifa’i dan juga pemikiran
yang terkandung dalam kitab-kitabnya. Dari riwayat hidupnya kita akan melihat
bahwa K.H. Ahmad Rifa’i adalah sosok seorang ulama yang konsisten melawan
pemerintah kolonial Belanda beserta elit birokrasi tradisional dan konsistensi
ini dapat ditemukan pula dalam tulisan yang terdapat pada kitab-kitabnya.
Kitab-kitab itu sendiri ditulis dalam rangka merespon kebutuhan masyarakat
ketika itu untuk mempelajari agama.[8]
Mohammad Rifa’i
dari Kalisalak pada abad 19. Sekte budiah merupakan jenis pemurniaan Islam
dengan tujuan mengadakan pembaharuan Islam dengan cara kembali kepada ajaran
yang murni. Haji Rifa’i menulis beberapa buku antara lain ilmu hukum Islam,
asas-asas kepercayaan dan mistisisme ditulis dalam bahasa Jawa dan dalam bentuk
puisi. Kumpulan karyanya disebut tardjumah. Kitab Tardjumah berisi terjemahan
kedalam bahasa Jawa yang terdapat dalam kitab suci yang berbahasa Arab.[9]
Haji Rifa’i berpendapat
bahwa kehidupan agama dari rakyat dan pemimpin telah menyimpang dari
petunjuk-petunjuk Tuhan. Selain konsepsi perjuangan melawan penjajah rifangi
juga menyatakan akan datang suatu masa bahwa pulau jawa akan menjadi makmur dan
tidak ada tindak criminal jika orang-orang bodoh patuh terhadap pemimpin yang
bijak.
Di Kalisalak ia
membangun sebuah komunitas pengajian, mula-mula ia mengajar anak-anak membaca
Al-Qur’an. Namun lambat laun orang dewasa dari Desa Kalisalak dan sekitarnya
tertarik untuk mengaji padanya. Di desa tersebut K.H. Ahmad Rifa’i menikah
dengan janda Demang Kalisalak yang bernama Nyai Sujinah. Pernikahan K.H. Ahmad
Rifa’i dengan Nyai Sujinah menunjukkan bahwa dirinya mendapat dukungan dari orang
yang mempunyai status sosial cukup tinggi yang nantinya dapat memberi manfaat
bagi kelangsungan dakwah. Di tempat barunya ini K.H. Ahmad Rifa’i menyebarkan
pemikiran Islam melalui kitab Tarojumah yang ia tulis sendiri. Kitab Tarojumah
ini berbentuk nazham atau syair dalam bahasa Jawa dan berhuruf Arab (Arab
Pegon). Hal ini tidak lepas dari kondisi sosio-kultural orang Jawa pada abad
ke-19 yang tidak memungkinkan untuk mempelajari dan memahami kitab-kitab yang
berbahasa Arab.
Selain itu agar
mudah dihafalkan dan dipahami. Lambat laun komunitas keagamaan yang dibangun
oleh K.H. Ahmad Rifa’i di Kalisalak menarik penduduk sekitar dan daerah lain
menjadi santrinya. Umumnya para santri pengikut K.H. Ahmad Rifa’i adalah
masyarakat desa yang mayoritas bekerja sebagai petani. Untuk memfasilitasi
minat para santrinya yang ingin tinggal dekat dengannya ia mendirikan masjid
dan pondok pesantren di Kalisalak sehingga pengikutnya sering juga disebut
Santri Kalisalak. Dalam kaitannya dengan upaya dakwah yang dilakukannya, ada
tujuh metode dakwah yang dikembangkan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut:[10]
1.
Menerjemahkan
Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab berbahasa Arab karangan ulama terdahulu ke
dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon berbentuk nazham atau syair;
2.
Mengadakan
kunjungan silaturahmi dari rumah ke rumah famili dan masyarakat;
3.
Menyelenggarakan
pengajian umum dan dakwah keliling ke daerah yang penduduknya miskin secara
materi dan agama guna membendung budaya asing;
4.
Menyelenggarakan
dialog di masjid atau di langgar (mushola);
5.
Mengadakan
kegiatan kesegaran jasmani bagi pemuda;
6.
Mengadakan
gerakan protes sosial keagamaan terhadap birokrat pribumi dan Belanda;
7.
Untuk
mempererat hubungan antara guru dengan murid dan antara murid dengan murid,
biasa dilakukan pula pernikahan sesama murid, anak guru dengan murid (Amin,
1996: 106).
Di Kalisalak
K.H. Ahmad Rifa’i tetap melakukan kecaman dan protes terhadap Pemerintah dan
birokrat pribumi. Tindakan ini tentu sangat meresahkan pemerintah kolonial yang
menganggap sikap militan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai ancaman. Kekhawatiran serupa
melanda birokrat pribumi yang khawatir kedudukan dan otoritasnya terancam.
·
Gerakan Igama
jawa-pasundan
Gerakan Igama
jawa-pasundan didirikan oleh Sadewa atau lenbih dikenal dengan Madrais. Sadewa
merupakan putra mahkota dari kerajaan Cirebon. Posisi Sadewa sebagai putra mahkota,
melancarkan pemikiran dan gerakannya tentang mengembalikan budaya Jawa dan
Sunda. Gerakan ini menyerukan kepada
pengikutnya agar meninggalkan upacara dan hokum Islam, menurut gerakan ini
Islam adalah agama orang Arab bukan diperuntukkan untuk orang Jawa. Gerakan ini
menyatakan dalam salah satu ajarannya menyebutkan kesetiaan terhadap Ratu
Belanda. Ajaran lainnya juga menyatakan bahwa orang harus percaya terhadap
Tuhan dan patuh terhadap hokum negara.[11]
·
Gerakan Oah
Gerakan Oah
merupakan salah sekte yang bergerak melalui tindak kriminalitas. Gerakan ini muncul di daerah Sukabumi dan
Cianjur. Sekte Oah memiliki 1000 orang anggota yang tersebar di berbagai desa.
Gerakan ini melakukan pemerasan, penipuan dan pembunuhan. Gerakan Oah dipimpin
oleh Fadil, Bapa Adna, Kosi, Arkam, Pak tasik dan Ibrahim. Kegiatan-kegiatan
sekte ini dibantu oleh badal-badal yang dipimpin oleh seorang jagoan.[12]
[1]Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 440
[2]Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 441
[3]Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 441
[4]Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 443
[5]Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 445
[6]Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 450
[7]Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 451
[8]Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 455
[9]Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 456
[10]Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 459
[11]Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 460
[12]Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 462
No comments:
Post a Comment