December 28, 2018

KRAKATAU TSUNAMI

TSUNAMI 1883
sumber : Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 3 September 2006: 143-153 (IGAN SUPRIATMAN SUTAWIDJAJA Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Jln. Diponegoro No. 57 Bandung, Indonesia)

Tsunami yang ditimbulkan oleh letusan Krakatau telah menelan korban jiwa 36.417 orang dan menghancurkan kehidupan dan harta benda sepanjang pantai Lampung Selatan dan Jawa Barat. Efek tsunami ini yang menyebar ke seluruh dunia, dipelajari oleh Verbeek (1884 dan 1885) yang diamatinya lebih dari seratus pelabuhan melalui catatan gelas ukur. Ia berpendapat bahwa kecepatan penyebaran tsunami bergantung pada kedalaman laut dan samudera dari studinya mengenai oseanografi . Hasil penyelidikannya mengenai tsunami Krakatau menunjukan bahwa gelombang yang paling tinggi terjadi di Merak, 36 m; Teluk Betung, 24 m; dan pantai selatan Bengkulu, 15 m. Efek resonansi dan kembalinya tsunami mengakibatkan erosi dan pengendapan sedimen di dasar laut secara bergantian. Pada watergauge di Tanjung Priuk, Jakarta tercatat bahwa antara 27 Agustus, pukul 12.00 dan 28 Agustus, pukul 24.00 terjadi 18 kali gelombang air pasang yang dihubungkan dengan letusan Krakatau (Verbeek, 1884). Ia menerangkan bahwa pada 27 Agustus, pukul 12.10 datang gelombang pertama dengan ketinggian 2 m lebih. Gelombang tertinggi 3,15 m pada pukul 12.30, kemudian menurun pada pukul 13.30 menjadi 2,35 m. Pada pukul 14.30 tercatat lagi gelombang pasang setinggi 1,95 m dan menurun menjadi 1,5 m. Gelombang pasang berikutnya terjadi pada pukul 16.30 setinggi 1,25 m hingga menurun pada pukul 17.30 mencapai 0,4 m. Verbeek (1884) juga mencatat bahwa di Padang, Sumatera Barat, tsunami tercatat pertama kali pada Gambar 4. Terumbu karang yang tumbuh di sekitar Lagun Cabe, Pulau Rakata. pukul 13.25, kemudian disusul gelombang kedua pada pukul 14.20. Gelombang ketiga merupakan gelombang tertinggi, 3,52 m terjadi pada pukul 15.12. Antara 27 Agustus, pukul 12.00 sampai 28 Agustus, pukul 7.30 tercatat 13 kali gelombang air pasang. Berdasarkan berita yang dihimpun dari laporan seluruh dunia, Verbeek (1885) memperhitungkan bahwa penyebaran tsunami yang tertinggi mempunyai kecepatan antara 540 sampai 810 km/jam.

Tsunami mengelilingi dunia dari Krakatau ke arah barat dan timur, kemudian dipantulkan kembali sebanyak 6 kali dari catatan watergauge yang terpasang di seluruh dunia. Tsunami yang terjadi pada jam 10 pagi, 27 Agustus 1883 mengundang dua pendapat yang berbeda sampai saat ini. Pendapat pertama dikemukakan oleh Stehn (1939) bahwa pembentukan kaldera terjadi akibat runtuhan gunung api atau longsoran di dasar laut oleh pengosongan magma dan gas. Runtuhan ini menekan air laut sehingga menyebabkan terjadinya tsunami yang menyapu pantai barat Jawa dan pantai selatan Sumatera. Pendapat lain adalah pelepasan energi yang sangat besar. Yokoyama (1981) melakukan survei gravimetri di kawasan Krakatau, dan berkeyakinan bahwa tsunami terjadi akibat hempasan erupsi material 18 km3 yang menekan air laut. Pembentukan kaldera pertama yang menghancurkan Gunung Api Krakatau purba, para ahli menduga terjadi pada 416 Sebelum Masehi yang juga menimbulkan tsunami, kemudian pembentukan kaldera kedua terjadi pada tahun 1200 (Sigurdsson, 1982) dan terakhir terjadi pada tahun 1883. De Neve (1981) mencatat bahwa sebelum terjadi letusan 1883, terjadi beberapa kegiatan letusan besar, yaitu pada abad 3, 9, 10, 11, 12, 14, 16, dan 17 yang kemudian diikuti pertumbuhan tiga buah gunung api, yaitu Rakata, Danan, dan Perbuwatan. Kegiatan gunung api ini berhenti pada tahun 1681 dan setelah beristirahat selama lebih kurang 200 tahun, Krakatau aktif kembali yang diawali dengan letusan Gunung Api Danan dan Gunung Api Perbuwatan. Gunung Api Perbuwatan meletus pada 20 Mei 1883 sebagai awal terjadinya letusan dahsyat pada 27 Agustus 1883 yang memuntahkan sejumlah besar batuapung.

KRAKATAU

KRAKATAU
sumber : Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 3 September 2006: 143-153 (IGAN SUPRIATMAN SUTAWIDJAJA Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Jln. Diponegoro No. 57 Bandung, Indonesia)

Gunung Api Anak Krakatau, yang terletak di Selat Sunda, termasuk ke dalam wilayah Lampung Selatan (Gambar 1) dan merupakan salah satu gunung api aktif dari 129 gunung api Indonesia, yang berderet sepanjang 7000 km mulai ujung utara Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku sampai ke Sulawesi Utara. Dari sejumlah gunung api tersebut, sekurang-kurangnya meletus salah satu setiap tahun. Gunung Api Anak Krakatau sendiri sejak lahir tahun 1929 sampai sekarang telah meletus sekurang-kurang 80 kali atau terjadi setiap tahun berupa erupsi eksplosif atau efusif. Waktu istirahat antara 1 – 8 tahun, tetapi letusannya dapat terjadi 1 – 6 kali dalam setahun, bahkan pada tahun 1993 dan 2001 letusan terjadi hampir setiap hari. Gunung Api Anak Krakatau merupakan pulau gunung api yang tersusun oleh perselingan lapisan antara aliran lava dan endapan piroklastika. Perlapisan tersebut membentuk kerucut yang sampai sekarang mencapai tinggi 315 m. Kompleks Gunung Api Krakatau terdiri atas empat pulau, yaitu Rakata, Sertung, Panjang, dan Anak Krakatau. Ketiga pulau pertama merupakan sisa pembentukan kaldera Gunung Krakatau purba, sedangkan Pulau Rakata adalah gunung api yang tumbuh bersamaan dengan Gunung Api Danan dan Perbuatan sebelum terjadi letusan besar pada tahun 1883. Evolusi perkembangan Gunung Api Krakatau tersaji pada Gambar 2 (Francis, 1985; dan Self, 1981). Komplek Gunung Api Krakatau ini tidak dihuni oleh penduduk, tetapi menjadi obyek menarik bagi para wisatawan maupun para ahli gunung api sebagai obyek penelitian atau untuk dinikmati keindahan alamnya.

LETUSAN KATASTROFIS 1883 DAN KEHIDUPAN SEBELUMNYA

Setiap letusan tipe Plini merupakan suatu percobaan alamiah yang dapat merubah luas permukaan bumi bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang. Letusan tersebut tidak dapat dibandingkan dengan percobaan-percobaan yang dilakukan manusia. Prestasi manusia untuk menghancurkan dan membinasakan yang paling dahsyat adalah bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Bila dibandingkan antara kekuatan letusan gunung api dan bom atom, maka orang Amerika dengan bangga mengatakan bahwa Gunung Api St. Helens yang meletus tahun 1980 sebanding dengan kekuatan 1.000 kali bom atom (De Neve, 1984). De Neve (1984) menyatakan bahwa peletusan Gunung Api St. Helens tersebut kecil bila dibandingkan dengan percobaan alamiah letusan Gunung Api Agung di Bali tahun 1963 (2.606 kali bom atom), Krakatau di Selat Sunda (21.574 kali bom atom) atau Tambora di Sumbawa (171.428 kali bom atom). Ia juga berpendapat bahwa Gunung Api Anak Krakatau dilahirkan dengan kekuatan 45 kali bom atom, dan hingga kini peletusan Tambora merupakan letusan yang paling besar di seluruh dunia dan yang tercatat (8 kali lebih besar dari Krakatau 1883), akan tetapi masih lebih kecil bila dibandingkan dengan kekuatan pembentukan kaldera atau depresi tektonik, seperti Toba, Maninjau, Ranau, Tengger, dan lain-lain di Indonesia. Sebelum letusan Krakatau 1883, diketahui bahwa vegetasi pernah ada, demikian pula sebelum letusan tahun 1680. Stehn (1929) menemukan sisasisa tumbuhan di bawah lava prasejarah Tanjung Hitam, Pulau Rakata.

Catatan tentang fauna dari Cook (1780) mengatakan bahwa orang pada saat itu dapat membeli daging rusa, kambing, burung, merpati, ayam, dan buah-buahan di kampung yang terletak di pantai timur Pulau Rakata, dan dilaporkan pula mengenai adanya mata air panas, hutan, dan pesawahan penduduk setempat. Pendapat tentang letusan Krakatau 1883 terhadap kelangsungan hidup dan kehidupan dikemukakan oleh Treub. Treub (1888) berkeyakinan bahwa vegetasi asli di kawasan Krakatau musnah sama sekali karena suhu tinggi abu vulkanik dan batu apung setebal 80 m yang menutup kawasan ini dari pantai sampai tempat tertinggi. Stehn (1929) pada saat Pan Pacifi c Science Congress ke-4 di Bandung dan Jakarta tahun 1929, dengan tema “The Case of Krakatau”, menerangkan bahwa pada erupsi Krakatau 1883, semua vegetasi asli dimusnahkan sama sekali di Rakata, Sertung, dan Panjang, dan hidup kembali setelah erupsi selesai. Perubahan dari Krakatau 1883 ke Anak Krakatau 1930 diamati pertama kali oleh Stehn pada tahun 1932. Ia menemukan fl otsam yang terbawa oleh arus air laut seperti biji kelapa (Cocos nucifera) yang tumbuh setinggi 40 cm. Tanaman lainnya adalah rhizopora dan pandanus. Ia juga berpendapat bahwa ternyata fl otsam yang terbawa arus air laut tersebut di antaranya asosiasi Barringtonia dan Pescaprae, serta benih-benih dan buah-buahan dari vegetasi bakau (mangrove) sebanyak 17 jenis. Stehn (1932) juga melaporkan bahwa jenis vegetasi tersebut dimusnahkan kembali oleh letusan Anak Krakatau Nopember 1932. Sampai tahun 1939 Anak Krakatau terus aktif sehingga tidak mungkin ada penghidupan baru, bahkan sampai tahun 1942 tidak ada laporan perkembangan Anak Krakatau. 

Menurut Verbeek (1885) kegiatan erupsi Krakatau dimulai pada Mei 1883, dan erupsi Plinian selama tiga hari terjadi pada 26, 27, dan 28 Agustus 1883. Tekanan gas tinggi mengakibatkan hilangnya Gunung Api Perbuwatan, Gunung Api Danan, dan sebagian Gunung Api Rakata dan menyemburnya jutaan meter kubik material batuapung yang menghempaskan air laut sehingga menimbulkan gelombang pasang (tsunami) dengan ketinggian lebih dari 30 m, merusak pulau-pulau di Selat Sunda dan sepanjang pantai Lampung Selatan dan Jawa Barat.

Pengaruh letusan terhadap atmosfir yaitu munculnya bahan piroklastika sebanyak 18 km3 , sebagian berupa abu halus yang dilemparkan setinggi 50 sampai 90 km. Awan abu tertiup angin ke arah barat dengan kecepatan sekitar 121 km/jam, sehingga dalam waktu 14 hari mengelilingi daerah yang luas sepanjang khatulistiwa dan dalam waktu 6 minggu penyebaran abu mencapai garis lintang 30o Utara dan 45o Selatan (Winchester, 2003). Ia menerangkan bahwa pada Nopember 1883, abu vulkanik sudah tersebar di atas Pulau Islandia dan sebagian menyebar di atas langit Kanada. Abu vulkanik yang tersebar di dalam atmosfi r Kanada mengakibatkan terjadinya efek warna-warni karena pemantulan cahaya matahari dan mempengaruhi iklim setempat. Fenomena tersebut dilukis oleh Frederic Edwin Church dengan judul Sunset over the Ice on Chaumont Bay, Lake Ontario. Kejadian ini berangsur berubah dalam waktu yang lama, sehingga baru dalam tahun 1886 keadaan atmosfi r menjadi normal kembali.

Menurut Winchester (2003), letusan Krakatau mengakibatkan pula terjadinya gelombang suara, yang terdengar di dalam kawasan seperempat permukaan bumi (127.525 X 106 km2 ). Selain gelombang suara, terjadi pula gelombang tekanan udara selama 5 hari (dalam waktu 128 jam) yang dapat mengelilingi dunia 3,5 kali, hingga fenomena ini menjadi begitu lemah dan tidak dapat tercatat dengan jelas lagi. Fenomena lainnya terjadi di permukaan dan di dalam air serta di dasar laut Selat Sunda. Batuapung setebal 3 m tercatat ada di Selat Sunda, dan bahan piroklastika lainnya yang mengendap di dasar laut mencapai ketebalan sekitar 20 m. Berdasarkan penelitian Sluiter (1889), seorang ahli biologi dan spesialis koral, pada waktu terjadi tsunami, terumbu karang yang hidup di pulau-pulau kawasan Selat Sunda, hancur sama sekali dan bahkan banyak terumbu karang yang terlempar ke daratan pantai Anyer berupa bongkahan. Salah satu bongkahan karang tersebut dijadikan monumen di Anyer (Gambar 3). Simkin and Fiske (1983) menegaskan bahwa terumbu karang yang terlemparkan tersebut mempunyai volume 300 m3 dan beratnya 600 ton. Lebih jauh Sluiter (1889) menjelaskan bahwa fringing coral reefs terdapat di pulau-pulau Sangiang, Sebuku, Sebesi, dan pinggiran pantai utara Pulau Panaitan. Kemudian bersama Treub pada tahun 1888 dan 1889, Sluiter mengadakan penelitian, khususnya di Rakata, dimana telah terjadinya penghidupan submarin kembali dengan ditemukannya suatu fringing coral reef pada teluk dekat Tanjung Hitam. Pertumbuhan terumbu karang di sekitar Pulau Rakata, tidak terganggu kegiatan letusan Gunung Api Anak Krakatau sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Penyelaman pada Agustus 2006 di sekitar Lagun Cabe, pantai timur Pulau Rakata, memperlihatkan bahwa pertumbuhan terumbu karang di daerah ini sangat baik dan beraneka ragam, di antaranya diperlihatkan pada Gambar 4. Sejak 1883, gunung api Rakata tidak menunjukan kegiatan vulkaniknya, walaupun pada beberapa tempat di dasar laut bagian barat laut Pulau Rakata banyak dijumpai tembusan fumarola, berupa gelembung-gelembung udara.


December 26, 2018

PRAMUKA : SIMBOL ARAH CHAPTER 3

PRAMUKA : SIMBOL ARAH
CHAPTER 3

CHALK-SIGNS FOR COMMAND AND INFORMATION
FOR THE WAYFARER, PEDESTRIAN, BICYCLIST, MOTOR CYCLIST OR THE AUTOMOBILIST

Fig. 31. Two rude circles intersecting each other is a command to persevere, never say die, don't give up. (Hobo.)


Fig. 32. Circle with arrow. Command to go. (Hobo.)

Fig. 33. A spiral with arrow point to left. Command to come to camp, to come back. (Boy Pioneers.)

Fig. 34. A sign taken by vagabonds from the ancient books of magic, a command to stop, to halt. Stop! (Hobo.)

Fig. 35. A diamond admonishes you to keep quiet, hold your tongue. (Hobo.)

Fig. 36. A cross. A hint to be good. With tramps this means, give them a religious talk and they will give you food. (Tramp.)

Fig. 37. Two signs taken from ancient book of magic and used by tramps to tell where they can get food by working for it. (Hobo.)

Fig. 38. You may camp here. (Hobo sign.) From the letter Teth celestial writing, magic.

Fig. 39. Tells you that you may sleep in the hay loft. Probably taken from ancient magic. (Hobo.)

Fig. 40. Among the tramps and vagabonds this means to tell a pitiful story and you will excite the sympathy of your audience. But with the Scouts it simply means to tell your story, that is, make your report. (Hobo.)


ROAD-SIGNS FOR AUTOMOBILES
Recently the automobilists have adopted some very useful and practical road signs. In the first place they have painted the telephone and telegraph posts with bands of color to mark the roads so colored on the automobile maps, but the real practical road signs consists first of a parabola, which is a term in geometry for a certain curve made by the section of a cone. Fig. A (Plate 1). This warns the chauffeur that he is approaching a dangerous curve in the road. Steep grade ahead is indicated by two straight lines, one a little above the other, joined at the middle ends by a diagonal line, Fig. B (Plate 1), thus showing a profile view of the road with a steep grade to it.
Railroad crossing! look out for the locomotive! is shown by a simple crossing of two lines like a letter X, Fig. C (Plate 1). These signs are very conspicuous on the roads in Connecticut, especially in the neighborhood of Danbury.
Somewhere about 1902 the "Association General Automobile" that is, the French Automobile Society adopted quite an extended series of road signs for the purpose of warning motorists when they approach dangerous grade  crossings, cross-roads, villages, steep hills, bad pavements, arches, gullies and hog-backs, or as the French call them, donkey-backs. They also indicate which way the road is turning, when the road turns to the right it is so shown by Fig. D (Plate 1).
Turning to the left is the same sign reversed with the pointed end pointing to the left, Fig. E (Plate 1).
A winding descent is indicated by a rude S-shaped figure tipped up diagonally with the top end pointing to the right, Fig. F (Plate 1).
A winding ascent is indicated by the same sort of S-shaped figure tipped up towards the left, Fig. G (Plate 1)A steep descent is shown by a bomb set diagonally on the sign with a pointed end aimed towards the right-hand lower corner, Fig. H (Plate 1).
A steep ascent is indicated by the same bomb-shaped figure placed diagonally upon the sign with the pointed end pointing to the upper right-hand corner, Fig. J (Plate 1).
Bad cross-roads is practically the same sign that they use here in America for railroad crossings, Fig. K (Plate 1).
Grade crossing is indicated by a broad band representing the road with two lines crossing it at right angles representing the rails, Fig. L (Plate 1).
A turn in the road going down hill is shown by part of a "U" with the pointed end turning down, Fig. M (Plate 1).
A turn in the road going up hill is a reverse of the last figure with a sharp end pointing up. Fig. N (Plate 1).
Where the road passes under an arch a warning sign of an arch upon the sign-board tells the chauffeur to be careful, Fig. O (Plate 1).
A village is indicated by a couple of crudely drawn houses with a public building in between them; Fig. P (Plate 1).
A donkey-back, or hog-back as we know it in America, is shown by a diagram of that sort of a hill, Fig. Q (Plate 1).
A gulley is indicated by a conventional outline of a gulley. Fig. R (Plate 1).
Bad paving is something all of us would like to know before we hit it, and our machine goes jumping over the stones. The French sign for it is a section of a checkerboard, Fig. S (Plate 1).
The water splash is foretold by the diagram of a fence on the sign-board, Fig. T (Plate 1).
There are many of these French signs which are unnecessary here, in America, as automobile signs, but some of them could be used to advantage on automobile maps and also upon military maps, for in map-making the more simple conventional signs one has the less lettering is necessary, and consequently the more simple and more easily read is the map.


Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts