KRAKATAU
sumber : Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 3 September 2006: 143-153 (IGAN SUPRIATMAN SUTAWIDJAJA
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
Jln. Diponegoro No. 57 Bandung, Indonesia)
Gunung Api Anak Krakatau, yang terletak di
Selat Sunda, termasuk ke dalam wilayah Lampung
Selatan (Gambar 1) dan merupakan salah satu gunung api aktif dari 129 gunung api Indonesia, yang
berderet sepanjang 7000 km mulai ujung utara
Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku sampai
ke Sulawesi Utara. Dari sejumlah gunung api tersebut, sekurang-kurangnya meletus salah satu setiap
tahun. Gunung Api Anak Krakatau sendiri sejak
lahir tahun 1929 sampai sekarang telah meletus
sekurang-kurang 80 kali atau terjadi setiap tahun
berupa erupsi eksplosif atau efusif. Waktu istirahat
antara 1 – 8 tahun, tetapi letusannya dapat terjadi 1
– 6 kali dalam setahun, bahkan pada tahun 1993 dan
2001 letusan terjadi hampir setiap hari.
Gunung Api Anak Krakatau merupakan pulau
gunung api yang tersusun oleh perselingan lapisan
antara aliran lava dan endapan piroklastika. Perlapisan tersebut membentuk kerucut yang sampai
sekarang mencapai tinggi 315 m. Kompleks Gunung
Api Krakatau terdiri atas empat pulau, yaitu Rakata,
Sertung, Panjang, dan Anak Krakatau. Ketiga pulau pertama merupakan sisa pembentukan kaldera
Gunung Krakatau purba, sedangkan Pulau Rakata
adalah gunung api yang tumbuh bersamaan dengan
Gunung Api Danan dan Perbuatan sebelum terjadi
letusan besar pada tahun 1883. Evolusi perkembangan Gunung Api Krakatau tersaji pada Gambar 2
(Francis, 1985; dan Self, 1981). Komplek Gunung
Api Krakatau ini tidak dihuni oleh penduduk, tetapi
menjadi obyek menarik bagi para wisatawan maupun para ahli gunung api sebagai obyek penelitian
atau untuk dinikmati keindahan alamnya.
LETUSAN KATASTROFIS 1883 DAN
KEHIDUPAN SEBELUMNYA
Setiap letusan tipe Plini merupakan suatu percobaan alamiah yang dapat merubah luas permukaan
bumi bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang. Letusan tersebut tidak dapat dibandingkan
dengan percobaan-percobaan yang dilakukan manusia. Prestasi manusia untuk menghancurkan dan
membinasakan yang paling dahsyat adalah bom
atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki
tahun 1945. Bila dibandingkan antara kekuatan letusan gunung api dan bom atom, maka orang Amerika
dengan bangga mengatakan bahwa Gunung Api St.
Helens yang meletus tahun 1980 sebanding dengan
kekuatan 1.000 kali bom atom (De Neve, 1984). De
Neve (1984) menyatakan bahwa peletusan Gunung
Api St. Helens tersebut kecil bila dibandingkan
dengan percobaan alamiah letusan Gunung Api
Agung di Bali tahun 1963 (2.606 kali bom atom),
Krakatau di Selat Sunda (21.574 kali bom atom) atau
Tambora di Sumbawa (171.428 kali bom atom). Ia
juga berpendapat bahwa Gunung Api Anak Krakatau
dilahirkan dengan kekuatan 45 kali bom atom, dan
hingga kini peletusan Tambora merupakan letusan
yang paling besar di seluruh dunia dan yang tercatat
(8 kali lebih besar dari Krakatau 1883), akan tetapi
masih lebih kecil bila dibandingkan dengan kekuatan
pembentukan kaldera atau depresi tektonik, seperti
Toba, Maninjau, Ranau, Tengger, dan lain-lain di
Indonesia.
Sebelum letusan Krakatau 1883, diketahui
bahwa vegetasi pernah ada, demikian pula sebelum
letusan tahun 1680. Stehn (1929) menemukan sisasisa tumbuhan di bawah lava prasejarah Tanjung
Hitam, Pulau Rakata.
Catatan tentang fauna dari
Cook (1780) mengatakan bahwa orang pada saat
itu dapat membeli daging rusa, kambing, burung,
merpati, ayam, dan buah-buahan di kampung yang
terletak di pantai timur Pulau Rakata, dan dilaporkan
pula mengenai adanya mata air panas, hutan, dan pesawahan penduduk setempat.
Pendapat tentang letusan Krakatau 1883 terhadap
kelangsungan hidup dan kehidupan dikemukakan
oleh Treub. Treub (1888) berkeyakinan bahwa
vegetasi asli di kawasan Krakatau musnah sama
sekali karena suhu tinggi abu vulkanik dan batu
apung setebal 80 m yang menutup kawasan ini dari
pantai sampai tempat tertinggi. Stehn (1929) pada
saat Pan Pacifi c Science Congress ke-4 di Bandung
dan Jakarta tahun 1929, dengan tema “The Case
of Krakatau”, menerangkan bahwa pada erupsi
Krakatau 1883, semua vegetasi asli dimusnahkan
sama sekali di Rakata, Sertung, dan Panjang, dan
hidup kembali setelah erupsi selesai.
Perubahan dari Krakatau 1883 ke Anak Krakatau
1930 diamati pertama kali oleh Stehn pada tahun
1932. Ia menemukan fl otsam yang terbawa oleh arus
air laut seperti biji kelapa (Cocos nucifera) yang
tumbuh setinggi 40 cm. Tanaman lainnya adalah
rhizopora dan pandanus. Ia juga berpendapat bahwa
ternyata fl otsam yang terbawa arus air laut tersebut
di antaranya asosiasi Barringtonia dan Pescaprae, serta benih-benih dan buah-buahan dari vegetasi
bakau (mangrove) sebanyak 17 jenis. Stehn (1932)
juga melaporkan bahwa jenis vegetasi tersebut
dimusnahkan kembali oleh letusan Anak Krakatau
Nopember 1932. Sampai tahun 1939 Anak Krakatau
terus aktif sehingga tidak mungkin ada penghidupan
baru, bahkan sampai tahun 1942 tidak ada laporan
perkembangan Anak Krakatau.
Menurut Verbeek (1885) kegiatan erupsi
Krakatau dimulai pada Mei 1883, dan erupsi Plinian
selama tiga hari terjadi pada 26, 27, dan 28 Agustus
1883. Tekanan gas tinggi mengakibatkan hilangnya
Gunung Api Perbuwatan, Gunung Api Danan, dan
sebagian Gunung Api Rakata dan menyemburnya
jutaan meter kubik material batuapung yang
menghempaskan air laut sehingga menimbulkan
gelombang pasang (tsunami) dengan ketinggian
lebih dari 30 m, merusak pulau-pulau di Selat Sunda
dan sepanjang pantai Lampung Selatan dan Jawa
Barat.
Pengaruh letusan terhadap atmosfir yaitu
munculnya bahan piroklastika sebanyak 18 km3
,
sebagian berupa abu halus yang dilemparkan setinggi 50 sampai 90 km. Awan abu tertiup angin ke
arah barat dengan kecepatan sekitar 121 km/jam,
sehingga dalam waktu 14 hari mengelilingi daerah
yang luas sepanjang khatulistiwa dan dalam waktu
6 minggu penyebaran abu mencapai garis lintang
30o
Utara dan 45o
Selatan (Winchester, 2003). Ia
menerangkan bahwa pada Nopember 1883, abu
vulkanik sudah tersebar di atas Pulau Islandia dan
sebagian menyebar di atas langit Kanada. Abu
vulkanik yang tersebar di dalam atmosfi r Kanada
mengakibatkan terjadinya efek warna-warni karena
pemantulan cahaya matahari dan mempengaruhi
iklim setempat. Fenomena tersebut dilukis oleh
Frederic Edwin Church dengan judul Sunset over
the Ice on Chaumont Bay, Lake Ontario. Kejadian
ini berangsur berubah dalam waktu yang lama,
sehingga baru dalam tahun 1886 keadaan atmosfi r
menjadi normal kembali.
Menurut Winchester (2003), letusan Krakatau
mengakibatkan pula terjadinya gelombang suara,
yang terdengar di dalam kawasan seperempat permukaan bumi (127.525 X 106
km2
). Selain gelombang suara, terjadi pula gelombang tekanan udara
selama 5 hari (dalam waktu 128 jam) yang dapat
mengelilingi dunia 3,5 kali, hingga fenomena ini
menjadi begitu lemah dan tidak dapat tercatat dengan
jelas lagi. Fenomena lainnya terjadi di permukaan
dan di dalam air serta di dasar laut Selat Sunda.
Batuapung setebal 3 m tercatat ada di Selat Sunda,
dan bahan piroklastika lainnya yang mengendap di
dasar laut mencapai ketebalan sekitar 20 m.
Berdasarkan penelitian Sluiter (1889), seorang
ahli biologi dan spesialis koral, pada waktu terjadi
tsunami, terumbu karang yang hidup di pulau-pulau kawasan Selat Sunda, hancur sama sekali dan
bahkan banyak terumbu karang yang terlempar ke
daratan pantai Anyer berupa bongkahan. Salah satu
bongkahan karang tersebut dijadikan monumen di
Anyer (Gambar 3). Simkin and Fiske (1983) menegaskan bahwa terumbu karang yang terlemparkan
tersebut mempunyai volume 300 m3
dan beratnya
600 ton. Lebih jauh Sluiter (1889) menjelaskan
bahwa fringing coral reefs terdapat di pulau-pulau
Sangiang, Sebuku, Sebesi, dan pinggiran pantai
utara Pulau Panaitan. Kemudian bersama Treub
pada tahun 1888 dan 1889, Sluiter mengadakan
penelitian, khususnya di Rakata, dimana telah
terjadinya penghidupan submarin kembali dengan
ditemukannya suatu fringing coral reef pada teluk
dekat Tanjung Hitam. Pertumbuhan terumbu karang
di sekitar Pulau Rakata, tidak terganggu kegiatan
letusan Gunung Api Anak Krakatau sehingga dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik.
Penyelaman pada Agustus 2006 di sekitar Lagun
Cabe, pantai timur Pulau Rakata, memperlihatkan
bahwa pertumbuhan terumbu karang di daerah
ini sangat baik dan beraneka ragam, di antaranya
diperlihatkan pada Gambar 4. Sejak 1883, gunung
api Rakata tidak menunjukan kegiatan vulkaniknya,
walaupun pada beberapa tempat di dasar laut bagian barat laut Pulau Rakata banyak dijumpai tembusan
fumarola, berupa gelembung-gelembung udara.