TSUNAMI 1883
sumber : Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 3 September 2006: 143-153 (IGAN SUPRIATMAN SUTAWIDJAJA Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Jln. Diponegoro No. 57 Bandung, Indonesia)
Tsunami yang ditimbulkan oleh letusan Krakatau
telah menelan korban jiwa 36.417 orang dan menghancurkan kehidupan dan harta benda sepanjang
pantai Lampung Selatan dan Jawa Barat. Efek tsunami ini yang menyebar ke seluruh dunia, dipelajari
oleh Verbeek (1884 dan 1885) yang diamatinya lebih
dari seratus pelabuhan melalui catatan gelas ukur. Ia
berpendapat bahwa kecepatan penyebaran tsunami
bergantung pada kedalaman laut dan samudera dari
studinya mengenai oseanografi . Hasil penyelidikannya mengenai tsunami Krakatau menunjukan bahwa
gelombang yang paling tinggi terjadi di Merak, 36
m; Teluk Betung, 24 m; dan pantai selatan Bengkulu,
15 m. Efek resonansi dan kembalinya tsunami mengakibatkan erosi dan pengendapan sedimen di dasar
laut secara bergantian.
Pada watergauge di Tanjung Priuk, Jakarta tercatat bahwa antara 27 Agustus, pukul 12.00 dan 28
Agustus, pukul 24.00 terjadi 18 kali gelombang air
pasang yang dihubungkan dengan letusan Krakatau
(Verbeek, 1884). Ia menerangkan bahwa pada 27
Agustus, pukul 12.10 datang gelombang pertama
dengan ketinggian 2 m lebih. Gelombang tertinggi
3,15 m pada pukul 12.30, kemudian menurun pada
pukul 13.30 menjadi 2,35 m. Pada pukul 14.30
tercatat lagi gelombang pasang setinggi 1,95 m dan
menurun menjadi 1,5 m. Gelombang pasang berikutnya terjadi pada pukul 16.30 setinggi 1,25 m hingga
menurun pada pukul 17.30 mencapai 0,4 m.
Verbeek (1884) juga mencatat bahwa di Padang,
Sumatera Barat, tsunami tercatat pertama kali pada
Gambar 4. Terumbu karang yang tumbuh di sekitar Lagun Cabe, Pulau Rakata.
pukul 13.25, kemudian disusul gelombang kedua
pada pukul 14.20. Gelombang ketiga merupakan
gelombang tertinggi, 3,52 m terjadi pada pukul
15.12. Antara 27 Agustus, pukul 12.00 sampai 28
Agustus, pukul 7.30 tercatat 13 kali gelombang air
pasang.
Berdasarkan berita yang dihimpun dari laporan
seluruh dunia, Verbeek (1885) memperhitungkan
bahwa penyebaran tsunami yang tertinggi mempunyai kecepatan antara 540 sampai 810 km/jam.
Tsunami mengelilingi dunia dari Krakatau ke arah
barat dan timur, kemudian dipantulkan kembali
sebanyak 6 kali dari catatan watergauge yang terpasang di seluruh dunia.
Tsunami yang terjadi pada jam 10 pagi, 27 Agustus 1883 mengundang dua pendapat yang berbeda
sampai saat ini. Pendapat pertama dikemukakan oleh
Stehn (1939) bahwa pembentukan kaldera terjadi
akibat runtuhan gunung api atau longsoran di dasar
laut oleh pengosongan magma dan gas. Runtuhan ini
menekan air laut sehingga menyebabkan terjadinya
tsunami yang menyapu pantai barat Jawa dan pantai
selatan Sumatera. Pendapat lain adalah pelepasan energi yang sangat besar. Yokoyama (1981) melakukan
survei gravimetri di kawasan Krakatau, dan berkeyakinan bahwa tsunami terjadi akibat hempasan erupsi
material 18 km3
yang menekan air laut.
Pembentukan kaldera pertama yang menghancurkan Gunung Api Krakatau purba, para ahli
menduga terjadi pada 416 Sebelum Masehi yang
juga menimbulkan tsunami, kemudian pembentukan
kaldera kedua terjadi pada tahun 1200 (Sigurdsson,
1982) dan terakhir terjadi pada tahun 1883. De Neve
(1981) mencatat bahwa sebelum terjadi letusan
1883, terjadi beberapa kegiatan letusan besar, yaitu
pada abad 3, 9, 10, 11, 12, 14, 16, dan 17 yang kemudian diikuti pertumbuhan tiga buah gunung api, yaitu
Rakata, Danan, dan Perbuwatan. Kegiatan gunung api ini berhenti pada tahun 1681 dan setelah beristirahat selama lebih kurang 200 tahun, Krakatau aktif
kembali yang diawali dengan letusan Gunung Api
Danan dan Gunung Api Perbuwatan. Gunung Api
Perbuwatan meletus pada 20 Mei 1883 sebagai awal
terjadinya letusan dahsyat pada 27 Agustus 1883
yang memuntahkan sejumlah besar batuapung.
No comments:
Post a Comment