ANAK KRAKATAU
sumber : Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 3 September 2006: 143-153 (IGAN SUPRIATMAN SUTAWIDJAJA Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Jln. Diponegoro No. 57 Bandung, Indonesia)
Setelah melewati masa istirahat kedua, mulai
1884 sampai Desember 1927, pada 29 Desember
1927 terjadi letusan bawah laut. Letusan tersebut
menyemburkan air laut di pusat Kompleks Gunung
Api Krakatau, menyerupai air mancur yang terjadi
terus menerus sampai 15 Januari 1929 (Stehn, 1929).
Ia sebagai seorang ahli gunung api memperhatikan
bahwa pada 20 Januari 1929 muncul di permukaan
tumpukan material di samping tiang asap yang
membentuk satu pulau kecil, yang kemudian dikenal
sebagai kelahiran Gunung Api Anak Krakatau.
Pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau yang
terletak di pusat Kawasan Krakatau, tumbuh dari
kedalaman laut 180 meter, dan muncul di permukaan
laut pada tahun 1929. Sejak lahirnya, Gunung Api
Anak Krakatau tumbuh cukup cepat akibat seringnya
terjadi letusan hampir setiap tahun. Masa istirahat
kegiatan letusannya berkisar antara 1 sampai 8 tahun
dan rata-rata terjadi letusan 4 tahun sekali. Pada tahun 2000 dilakukan pengukuran dimensi Pulau Anak
Krakatau, yaitu tingginya mencapai 315 meter di
atas permukaan laut dan volumenya mencapai 5,52
km3. Secara umum pertumbuhan Gunung Api Anak
Krakatau ini rata-rata 4 meter per tahun (Sutawidjaja,
1997). Bronto (1990) melakukan perhitungan kecepatan pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau,
yaitu 51,25 x 10-3 km3
/tahun, sehingga analisis volume secara kuantitatif, diperkirakan pada tahun 2040
volume Gunung Api Anak Krakatau sudah melebihi
volume Gunung Api Rakata, Gunung Api Danan
dan Gunung Api Perbuwatan (11,01 km3
) (Self and
Rampino, 1981) menjelang letusan katastrofi s 1883.
Salah satu aspek yang penting untuk diperhatikan
adalah pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau
yang begitu cepat. Sejak letusan prasejarah, Gunung
Api Krakatau sekurang-kurangnya telah mengalami
penghancuran dan pembangunan tubuhnya, yaitu
tahun 416, 1200 dan 1883 (Sigurdsson, 1982). Sebelum terjadi penghancuran tubuhnya tahun 1883,
di Kawasan Krakatau tumbuh tiga gunung api, yaitu
Gunung Api Rakata (+822 m), Gunung Api Danan
(+450 m) dan Gunung Api Perbuwatan (+120 m).
Kalau melihat besar dan tinggi masing-masing tubuh
gunung api tersebut tidak termasuk skala besar, walaupun mereka tumbuh dari kedalaman 200 meter di
bawah permukaan laut, tetapi dampak penghancuran
tubuhnya telah mengakibatkan gelombang tsunami
sangat tinggi yang melanda wilayah Lampung dan
Jawa Bagian Barat, dan memakan korban cukup
banyak pada saat itu. Segala aspek yang menjadi faktor pendorong peningkatan bahaya atau risiko bagi
masyarakat jika terjadi letusan patut diperhitungkan.
Salah satu contoh adalah pertumbuhan Gunung Api
Anak Krakatau yang hingga sekarang ini berlangsung dengan cepat, karena seringkali terjadi letusan
(Gambar 5 dan 6). Sejak tahun 1927 sampai dengan
1981 volumenya mencapai 2,35 km3
jika dihitung
dari dasar laut (De Neve, 1981). Pada tahun 1983
volume Gunung Api Anak Krakatau menjadi 2,87
km3
(Zen dan Sudradjat, 1983), kemudian pada tahun
1990 volume Gunung Api Anak Krakatau mencapai
3,25 km3
dan pada tahun 2000 volume tubuh Gunung
Api Anak Krakatau mencapai 5,52 km3
.
Dengan melihat pertumbuhan kerucut Gunung
Api Anak Krakatau yang sangat cepat; semakin
tinggi dan besar (Gambar 7 dan 8), kemungkinan
dapat terjadi periode penghancuran berikutnya,
sekurang-kurangnya terjadi seperti letusan 1883,
maka ancaman bahayanya pada abad modern ini
akan melanda kawasan Selat Sunda yang sangat
padat penduduk dan menjadi kawasan industri.
Kegiatan letusan Gunung Api Anak Krakatau
saat ini tidak menimbulkan bencana bagi penduduk
di sekitar Selat Sunda maupun bagi pelayaran yang
melewati Selat Sunda, karena jangkauan lontaran
batu (pijar) terbatas di dalam kompleks Gunung
Api Krakatau atau beradius 3 km dari pusat erupsi,
tinggi tiang asap berkisar antara 100 sampai 1000 m.
Yang dikhawatirkan dalam hal ini adalah abu yang
diterbangkan angin sehingga mencapai jalur pesawat
terbang yang apabila terhisap mesin jet, maka akan
merusak mesin tersebut.
Seringnya Gunung Api Anak Krakatau meletus,
menyebabkan tumbuhan yang tumbuh di kaki atau
lereng gunung api ini sering musnah akibat hujan
abu atau pasir dan leleran lava. Hal tersebut menyebabkan vegetasi di Pulau Anak Krakatau selalu mengalami suksesi tumbuhan yang tidak pernah
mencapai klimaks
Meskipun Gunung Api Anak Krakatau masih
sering meletus, daerah tertentu seperti di tepi pantai
timur masih banyak ditumbuhi vegetasi, sedangkan
bagian lereng sampai ke atas masih gundul karena
suhu rembesan gas cukup tinggi dan kekurangan air.
Pada daerah gundul ini sekarang sudah ditumbuhi
tumbuhan gelagah dan cemara laut sebagai tumbuhan pionir (Gambar 9), sedangkan tumbuhan lainnya yang terdapat sekitar pantai timur Pulau Anak
Krakatau adalah Ipomoea Pes-caprae yang tumbuh di bawah canopy Casuarina (Thornton, 1996).
Selain itu pertumbuhan terumbu karang pada lavalava yang belum lama dierupsikan, sebagai contoh
pada lava hasil erupsi 1996, terumbu karang belum
tumbuh baik (Gambar 10). Hal tersebut disebabkan
akibat pengaruh panas dari leleran lava tersebut yang
masih tersimpan.
No comments:
Post a Comment