KRAKATAU SELANJUTNYA
sumber : Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 3 September 2006: 143-153 (IGAN SUPRIATMAN SUTAWIDJAJA Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Jln. Diponegoro No. 57 Bandung, Indonesia)
Sejak munculnya Gunung Api Anak Krakatau
1929, para ahli gunung api mencurahkan perhatiannya dan bahkan khawatir akan terjadi kembali erupsi besar seperti 1883, tetapi kemungkinan
tersebut dibantah dengan berbagai alasan, di antaranya adalah komposisi kimia batuan hasil erupsi
Gunung Api Anak Krakatau saat ini. Bemmelen
(1949) berpendapat bahwa kemungkinan erupsi
katastrofi s dapat terulang kembali apabila komposisi kimia batuan hasil erupsi, berubah dari magma
basa (SiO2
rendah) ke magma asam (SiO2 tinggi).
Ia juga menegaskan bahwa erupsi berbahaya bagi
Krakatau umumnya diawali oleh masa istirahat ratusan tahun untuk pengumpulan energi baru. Seperti
telah diterangkan sebelumnya, bahwa pertumbuhan
Gunung Api Anak Krakatau membangun tubuhnya
sangat cepat dengan endapan piroklastika dan lava.
Dari beberapa erupsi tersebut, terutama dari setiap
erupsi lava, diambil batuannya untuk dianalisis
secara kimiawi batuan. De Neve (1981) membuat
diagram perubahan kimia batuan Gunung Api Anak
Krakatau sejak 1930. Perubahan komposisi silika setiap erupsi Gunung Api Anak Krakatau digambarkan
dalam suatu grafi k (Gambar 11), kemudian grafi k
perubahan silika ini penulis lanjutkan sejak erupsi
Gunung Api Anak Krakatau 1981. Pada Nopember
1992 hingga Juni 2001, Gunung Api Anak Krakatau
meletus terus menerus hampir setiap hari, bahkan
hampir setiap 15 menit sekali, mengerupsikan
piroklastik lepas jenis skoria berukuran abu, pasir,
lapili sampai bom vulkanik.
Beberapa erupsinya
diakhiri dengan leleran lava. Setiap leleran lava
tersebut dipetakan dalam Peta Geologi (Gambar
12). Analisis batuan lava-lava tersebut menghasilkan
komposisi silika yang berbeda dan persentase silikanya cenderung meningkat dari setiap erupsinya,
seperti Lava Nopember 1992: 53,95, Lava Februari
1993: 53,53; Lava Juni 1993: 53,97 dan leleran lava
terakhir dari rentetan letusan tersebut adalah Juli
1996 dengan persentase silika 54,77. Kandungan
silika tertinggi hasil analisis kimia batuan tersebut
di plot kedalam diagram tersebut, dan tampak garis
kandungan persentase silika meningkat secara halus.
Apabila peningkatan presentase silika ini terjadi
secara konsisten dan diasumsikan meningkat satu
persen dalam sepuluh tahun, maka untuk mencapai
68 persen dibutuhkan waktu 140 tahun. Apakah
kurang lebih tahun 2040 akan terjadi kembali malapetaka seperti tahun 1883? Hal tersebut tentunya
perlu penelitian kebumian terpadu dari segala aspek
dan analisis kimia batuan dari setiap kejadian erupsierupsi berikutnya.
Kaldera bawah laut yang dibentuk oleh letusan
katastropis 1883, menghancurkan gunung api kembar Danan dan Perbuwatan, serta sebagian Gunung
Api Rakata. Pembentukan kaldera tersebut terjadi
sekurang-kurangnya tiga kali, yaitu tahun 416,
1200, dan 1883. Tetapi kejadian pada abad modern
tahun 1883 ini mengundang para ahli gunung api
untuk berpendapat tentang kejadian tsunami yang
sangat dahsyat. Stehn (1939) berpendapat bahwa
pembentukan kaldera terjadi akibat runtuhan gunung
api oleh pengosongan magma dan gas. Runtuhan ini
yang menyebabkan terjadinya tsunami yang menyapu pantai barat Jawa dan pantai selatan Sumatera.
Pendapat lain adalah pelepasan energi yang sangat
besar atau longsoran di bawah laut. Berdasarkan
survei gravimetri, Yokoyama (1981) berpendapat
bahwa tsunami terjadi akibat hempasan erupsi material 18 km3
yang menekan air laut.
Gunung Api Anak Krakatau tumbuh di pusat Kaldera 1883 setelah 44 tahun beristirahat. Pada tahun
1927 terjadi letusan di bawah laut di pusat Kaldera
1883, dan letusan tersebut menerus sehingga pada
tahun 1929, onggokan material vulkanik muncul di
permukaan laut yang dinyatakan sebagai kelahiran
Gunung Api Anak Krakatau.
Pertumbuhan Gunung
Api Anak Krakatau sendiri muncul pada kelurusan
yang berarah barat laut - tenggara, seperti halnya
pertumbuhan Gunung Api Rakata, Gunung Api
Danan, dan Gunung Api Perbuwatan, dan letusan
1883 terjadi pada kelurusan ini yang tampak dari
bentuk kaldera berbentuk elips berorientasi barat
laut - tenggara.
Pertumbuhan cepat Gunung Api Anak Krakatau
ini diikuti dengan peningkatan persentase silika
secara berangsur, maka kemungkinan dapat terjadi
periode penghancuran berikutnya, sekurang-kurangnya terjadi seperti tahun 1883, maka ancaman
bahayanya pada abad modern ini akan melanda
kawasan Selat Sunda yang sangat padat penduduk
dan menjadi kawasan industri.
- Gunung Api Krakatau sekurang-kurangnya
sudah tiga kali mengalami penghancuran tubuhnya
membentuk kaldera, dan Gunung Api Anak Krakatau
adalah proses pertumbuhan yang ketiga kalinya,
- Kecepatan pertumbuhan Gunung Api Anak
Krakatau sangat mengkhawatirkan para penduduk
yang bermukim di sekitar Selat Sunda,
- Percepatan pertumbuhan Gunung Api Anak
Krakatau seiring dengan peningkatan persentase
kandungan silika yang diletuskan pada masa pertumbuhan ini,
- Suksesi vegetasi di Pulau Anak Krakatau tidak
pernah mencapai klimaks, karena adanya kegiatan
vulkanik Gunung Api Anak Krakatau,
- Penelitian dan mitigasi kegiatan Gunung Api
Anak Krakatau perlu diperhitungkan, mengingat
perkembangan penduduk di Selat Sunda semakin
padat.
ACUAN
Bemmelen, R.W., van, 1949. The geology of Indonesia, IA.
General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagos.
The Hague, Govt. Printing Offi ce, 732 h.
Bronto, S., Suganda, O.K., dan Hamidi, S., 1990. Pemetaan
daerah bahaya gunungapi dengan studi kasus Gunung
Krakatau. Prosiding PIT XIX IAGI, Bandung 11-13
Desember 1990.
Cook, J., 1780. A voyage to the Pacifi c Ocean; to determine
the position and extent of the west side of North America,
with the ship resolution and discovery “Cracatoa”
island. London, 3 vols.
De Neve, G.A., 1981. Historical notes on Krakatau’s eruption
of 1883, and activities in previous times. Nat. Inst.
Oceanology (LON-LIPI), Jakarta, 45 h.
De Neve, G.A., 1984. Worlwide ash fallout and distribution of
the great eruptions of Tambora (1815), Krakatau (1883),
Agung (1963), and Galunggung (1982-1983). Acara dan
Kumpulan Sari Makalah, PIT ke-XIII, IAGI, Bandung
18-20 Desember 1984.
Francis, P.W., 1985. The origin of the 1883 Krakatau tsunami.
Journal Volcanology and Geothermal Research, 25, h.
349-364.
Self, S., and Rampino, M.R., 1981. The 1883 Eruption of
Krakatau. Nature, 292, h. 699-704.
Sigurdsson, H., 1982. Volcanic gases and climate. Episode/
Newsmagagazine IUGS 3, Ottawa, h. 131.
Simkin, T., Fiske, R.S., 1983. Krakatau 1883, the volcanic
eruption and its effects. Smithsonian Institution Press,
Washington D.C., 464 h.
Sluiter, C.Ph., 1889. De nieuwe kustfauna van Krakatau.
Natuurkundige Tijdschrift N. I., 48, h. 351-353.
Stehn, CH. E., 1929. The geology and volcanism of the
Krakatau Group. 4th Pan-Pacifi c Science Congress Java,
1929. Part I. 1-55
Stehn, CH. E., 1932. Krakatau. Bull. Netherlands East Indie
Volcanology Survey, 2, h. 83-84.
Stehn, CH. E., 1939. Krakatau. Bull. Netherlands East Indie
Volcanology Survey, 5, h. 44-48.
Sutawidjaja, I.S., 1997. The activities of Anak Krakatau
volcano during the years of 1992-1996. The Disaster
Prevention Research Institute Annuals, No. 40IDNDR
S, I, Kyoto University, Japan.
Thornton, I., 1996. Krakatau, the destruction and reassembly
of an island ecosystem. Harvard University Press,
Cambridge, Massachussets and London, England, 345
h.
Treub, M., 1888. De nieuwe fl ora van Krakatau. Tijdschrift
van Nederlands Indie, 17, h. 153.
Verbeek, R.D.M., 1884. The Krakatoa eruption. Nature London 30, h. 10-15.
Verbeek, R.D.M., 1885. The time determination of the biggest
explosion of Krakatau on August 27, 1883. Science 3,
1884, h. 43-55, and Arch. Neerl. Haarlem 20, 1885, h.
1-13.
Winchester, S., 2003. Krakatoa, the day the world exploded
August 27, 1883. Viking, Penguin Book, Ltd, Great
Britain.
Yokoyama, I., 1981. A geophysical interpretation 0f the 1883
Krakatau eruption. Journal Volcanology and Geothermal
Research, 9, h. 359-378.
Zen, M.T. and Sudradjat, A., 1983. History of the Krakatau
Volcanic Complex in Sunda Strait and the mitigation
of its future hazards. Buletin Jurusan Geologi ITB,
Vol.10.