IRAN
Di era Shah,
Iran pada mulanya sebuah monarki-konstitusional dan berubah menjadi monarki-absolut pada tahun 1953. Pemerintahan dibentuk oleh suatu cabinet yang dipimpin seorang
perdana menteri yang diangkat Shah. Parlemen menganut system dua kamar
(bikameral): majelis rendah (Majles) dan majelis
tinggi (Senat). Majles beranggotakan 220 wakil yang
dipilih melalui suatu pemilihan umum. Sedangkan Senat, yang kurang berperan
dibanding Majles, mempunyai 60 anggota dengan catatan 30 orang dipilih melalui
pemilihan umum dan 30 lainnya diseleksi oleh Shah. Di Majles terdapat dua
anggota yang mewakili komunitas Kristen Armenia, dan masing-masing satu anggota
yang mewakili komunitas Zoroaster dan Yahudi.(Sihbudi : 1995 : 77)
Meskipun di
Iran, tepatnya sebelum Revolusi Islam, terdapat parlemen, pemerintah dan partai
politik, namun Shah menjadi kekuatan politik yang paling dominan. Shah dapat
membubarkan parlemen, pemerintah dan partai politik sekehendaknya. Namun, selain
Shah, di Iran terdapat kekuatan politik “potensial” yang di kemudian hari
menggantikan posisi Shah sebagai kekuatan politik dominan yaitu, kaum Mullah
(ulama Islam Syi’ah), kaum mullah di Iran membangun basis kekuatan mereka
melalui masjid-masjid dan madrasah-madrasah. Pada rentang tahun 1978 sampai
1979, mereka menjadi motor penggerak bagi demonstrasi anti-Shah yang berhasil
merobohkan dinasti Pahlevi di era kepemimpinan Shah Muhammad Reza Pahlevi.
Ayatollah Khomeni merupakan seorang tokoh yang memiliki pengaruh terhadap
politik di dunia, terutama di Negara Republik Islam Iran. Demonstrasi
besar-besaran yang terjadi di kota suci Qom pada tanggal 9 Januari 1978,
merupakan awal dari pergolakan panjang yang meruntuhkan seluruh sektor kekuasaan Shah. Pergolakan tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1979,
pada Januari 1979 Shah digulingkan dan dibuang ke pengasingan, sementara
massa mengundang Ayatollah Khomeini
kembali dari pengasingannya di Perancis. Februari 1979, merupakan saat paling
bersejarah bagi Iran, karena pada waktu itu bersamaan dengan berakhirnya
kekuasaan Shah, yang menandakan berakhirnya sistem kerajaan di Iran.
Tak lama pascarevolusi, koalisi besar terdiri
daari pemimpin agama, usahawan, pelajar, reformis liberal dan pejuang kiri terpecah.
Lalu, kaum pemimpin agama melakukan konsolidasi kekuatan di bawah Ayatollah
Khomeini. Setelah referendum nasional pada maret 1979, Iran menjadi Replublik
Islam, dengan mempraktikkan berbagai ide Ayatollah Khomeini tentang
pemerintahan Islam dan velayat-e-faqih atau kepemimpinan ahli fiqih.
Para agamawan memimpin berdasarkan syariat. Meski Islam Syiah merupakan
kekuatan signifikan, interpretasi dan aplikasi Khomeini terhadap velayat-e-faaqih
dan hierarki politik dalam teokrasi modern Iran tetap menjadi kontroversi,
termasuk diantaranya alim ulama muslim Syiah, terutama sejak wali-e-faqih
atau pemimpin besar kedua, Ayatollah Ali Khamenei, tidak sepopuler Khomeini.
Ketika ulama selalu memainkan peran signifikan, memberikan petunjuk dalam
urusan spiritual dan lain-lain. Kadar keterlibatan langsung mereka dalam system
politik juga telah menjadi pangkal perdebatan. Lebih jauh lagi, pembagian tugas
yang tak terdefinisi dengan baik antara agama dan negara telah memunculkan
perdebatan di dalam negeri. (Panah : 2007 : 57)