May 6, 2019

Konsep Politik Wilayatul Faqih Menurut Imam Khomeini


Struktur politik Iran mengalami perubahan secara besar-besaran sejak berakhirnya kekuasaan Shah. Bentuk negara berubah dari monarki absolut dimana Shah berkuasa secara mutlak, menjadi sebuah replubik yang berdasarkan pada ajaran agama Islam mazhab Syi’ah. Bentuk Replubik Islam secara resmi disetujui mayoritas (98,2%) rakyat Iran melalui referendum yang diadakan pada tanggal 1 April 1979, tanggal tersebut menjadi hari jadi Republik Islam Iran. Mengenai Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran disetujui mayoritas (99,5%) rakyat Iran melalui referendum yang diadakan pada 3 Desember 1979. (Basri : 1987 : 59)
Kekuasaan tertinggi dalam struktur politik Republik Islam Iran berada di tangan Imam (pemimpin) atau Dewan Kepemimpinan (Shura-ye Rahbari). Hal ini memang sesuai dengan ajaran mazhab Syi’ah yang menerapkan prinsip Imamah (keimanan) sebagai salah satu ajaran utamanya.

Konsep Politik Wilayatul Faqih Menurut Imam Khomeini
           
            Revolusi Islam Iran yang terjadi pada tahun 1979, telah berhasil meruntuhkan kekuasaan monarki absolut Dinasti Pahlevi. Revolusi Islam ini telah melahirkan paradigm baru mengenai sistem pemerintahan di Iran. Sistem politik dan bentuk negara Iran berubah, dari monarki absolut menjadi sebuah republik Islam. Perbedaan yang paling mencolok di antara keduanya adalah, jika sebelum revolusi Iran merupakan sebuah negara sekuler, maka Iran pasca-revolusi bisa disebut sebagai sebuah negara ―teo-demokratis‖ yang didominasi kaum Mullah (ulama Syiah).( Sihbudi : 1996 : 106)

            Sistem pemerintahan Republik Islam Iran adalah sistem wilayatul faqih yang diatur berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan (wilayatul al-amr), dan kepemimpinan agama. Dalam konstitusi Iran, Undang-Undang Dasar harus mempersiapkan lahan bagi seorang faqih yang memenuhi persyaratan yang diakui sebagai pemimpin oleh rakyat. Sebuah keyakinan bahwa pengaturan urusan-urusan adalah ditangan orang-orang yang alim tentang Allah, yang terpercaya dalam urusan yang menyangkut apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah, sebagai bagian dari kewajiban Islam yang sejati, untuk mencegah setiap penyelewengan oleh berbagai organ negara dan tugas-tugas Islam.(Maulana : 2003 : 110)

            Imam Khomeini mempunyai peran sangat penting terhadap berdirinya Republik Islam Iran. Dibawah pimpinan Imam Khomeini, seorang pemimpin besar keagamaan yang keputusan-keputusannya diikuti, menyadarkan perlunya gerakan mengikuti akidah Islam yang sejati dalam perjuangannya. Rencana pemerintahan Islam yang didasarkan pada wilayatul faqih yang kemudian disarankan oleh Imam Khomeini pada saat rezim Pahlevi mencapai puncaknya, hal ini memberikan  motivasi dan harapan yang jelas terhadap masyarakat Iran akan adanya perubahan pemerintahan di Iran

            Masih pada tahun 1979, pasca terjadinya revolusi, rumusan rancangan Konstitusi RII yang telah ditulis sejak Imam Khomeini di Paris kemudian diumumkan. Begitu juga rancangan UUD rumusan Dewan Revolusi (rancangan keempat) yang menjadikan semua rumusan sebagai masukannya. Rumusan yang berisi 12 bab dan 151 pasal itu kemudian dipublikasikan kepada masyarakat. Pasal ke-3 dan ke-15 rumusan ini menyebutkan bahwa suara mayoritas merupakan prinsip negara dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Sementara keIslaman sistem negara didukung oleh Dewan Garda Republik Islam Iran. Namun di sana tidak tercatat kata wilayatul faqih.

            Imam Khomeini kembali memberikan waktu selama kurang lebih 1 bulan kepada seluruh komponen masyarakat untuk memberikan masukan. Sejarah mencatat bahwa pada musim panas tahun 1979, media massa dipenuhi oleh berbagai macam pandangan. Mereka yang berlatar belakang agama memberikan penekanan lebih atas pengawasan faqih terhadap sistem negara dibanding konstitusi bersyarat yang dihasilkan oleh revolusi konstitusi. Perlahan-lahan kondisi ini bergeser dan mulai bermunculan pandangan dari sebagian mereka, baik yang bukan dari kalangan rohaniwan. Mereka bersama-sama dengan para maraji’ memunculkan ide wilayatul faqih. Dan masalah ini terus bergulir bagai bola salju yang pada akhirnya mereka meminta agar wilayatul faqih dimasukkan ke dalam rumusan UUD Republik Islam Iran (Satori, 2007:116-117).

            Sejak perintahnya untuk menyiapkan rumusan UUD RII, sikap Imam Khomeini sebagai founding father revolusi tetap berada pada jalurnya. Beliau mengamati proses penulisan rumusan-rumusan yang ada secara detail dan memberikan masukan poin-poin mana yang sesuai dengan Islam dan mana yang tidak. Pidato-pidatonya selalu berisikan pencerahan bahwa yang diinginkan adalah Islam. Secara perlahan-lahan beliau mengharapkan kesadaran masyarakat dan kaum elit untuk tetap berada pada jalur Islam. Hal ini untuk juga dimaksudkan untuk mengurangi tekanan dan pengaruh pemikir-pemikir yang berpihak ke Barat.  Peran ini secara cerdas dimainkan oleh Imam Khomeini hingga pada hari terakhir pengumuman untuk mengusulkan poin-poin penting sejalan dengan draft UUD RII.

Kata Wilayatul Faqih pada akhirnya memang tidak secara resmi disebutkan sebagai dasar negara, namun konsep-konsep dan ketentuan wilayatul faqih mewarnai system pemerintahan Republik Islam Iran. Beberapa pasal yang menyatakan secara langsung tentang konsep wilayatul faqih yaitu :

Pasal 5 UUD RRI, menyatakan :
Selama masa ketidak hadiran imam yang ke dua belas (semoga Allah mempercepat kedatangannya), dalam Republic Islam Iran wilayat dan kepemimpinan umat merupakan tanggung jawab dari seorang faqih yang adil dan taqwa, mengenal zaman, pemberani, giat, dan berkemampuan memerintah yang akan memegang tanggung jawab jabatan ini sesuai dengan pasal 107.

Bab Delapan, Pemimpin dan Dewan Kepemimpinan, Pasal 107 UUD RII, menyatakan :
            Setelah wafatnya marji’ al-taqlid terkemuka dan pemimpin besar revolusi Islam universal, dan pendiri Republik Islam Iran, Ayatullah Al-Uzhma Imam Khomeini quddisa sirruh al-syarif- yang diakui dan diterima sebagai marji‘ dan pemimpin olh mayoritas besar rakyat, tugas mengangkat pemimpin terpikul pada pundak para ahli yang dipilih oleh rakyat. Para ahli itu akan meninjau dan bermusyawarah diantara sesama mereka mengenai semua faqih yang memiliki kualifikasi yang dikhususkan dalam pasal 5 dan 109. dalam hal mereka mendapatkan satu diantara mereka lebih ahli dalam pengaturan Islam, masalah fiqih, atau dalam urusan politik dan sosial, atau memiliki popularitas umum, atau kemenonjolan khusus untuk salah satu dari kualifikasi yang tersebut pada pasal 109. Mereka harus memilihnya sebagai pemimpin. Bila tidak demikian halnya, dalam ketiadaan keunggulan semacam itu, mereka harus memilih dan menyatakan satu diantara mereka sebagai pemimpin. Pemimpin yang terpilih semacam itu oleh dewan ahli akan memegang semua kekuasaan wilayatul-amr dan semua tanggung jawab yang timbul daripadanya. Pemimpin sama dengan rakyat lainnya dalam negara di mata hokum.

Pasal 109 UUD RII menyatakan :
Persyaratan dan kualifikasi utama pemimpin ialah:
  1. Keilmuan, sebagaimana yang dituntut bagi tugas-tugas mufti (pemberi fatwa) dalam berbagai bidang fiqih.
  2.  Adil, taqwa, sebagaimana yang dituntut bagi kepemimpinan umat Islam.
  3. Berwawasan politik dan sosial, bijaksana, berani, mampu dalam pemerintahan, dan cakap dalam kepemimpinan. (Haydar : 2001 : 8)

Dalam hal banyak orang memenuhi kualifikasi dan persyaratan tersebut di atas maka orang yang lebih mahir dalam fiqih dan tajam pandangan politiknya yang akan diutamakan. 

DINAMIKA POLITIK IRAN ERA KHOMEINI

IRAN

Di era Shah, Iran pada mulanya sebuah monarki-konstitusional dan berubah menjadi monarki-absolut pada tahun 1953. Pemerintahan dibentuk oleh suatu cabinet yang dipimpin seorang perdana menteri yang diangkat Shah. Parlemen menganut system dua kamar (bikameral): majelis rendah (Majles) dan majelis tinggi (Senat). Majles beranggotakan 220 wakil yang dipilih melalui suatu pemilihan umum. Sedangkan Senat, yang kurang berperan dibanding Majles, mempunyai 60 anggota dengan catatan 30 orang dipilih melalui pemilihan umum dan 30 lainnya diseleksi oleh Shah. Di Majles terdapat dua anggota yang mewakili komunitas Kristen Armenia, dan masing-masing satu anggota yang mewakili komunitas Zoroaster dan Yahudi.(Sihbudi : 1995 : 77)

Antara 1963 sampai 1975, di Iran terdapat dua partai politik: partai Iran Novin dan partai Mardom. Iran Novin adalah partai pemerintah, sedangkan Mardom merupakan paartai “oposisi loyal”. Kedua partai tersebut dibentuk Shah. Pada 1975, Shah membubarkan kedua partia tersebut dan membentuk partai baru yaitu, partai Rastakhiz (“kebangkitan”). Inilah satu-satunya partai yang diberi hidup oleh pemerintah Shah, dengan kata lain, sejak tahun 1975 sampai 1978 Iran menganut sistem partai tunggal. Pada 1978, ketika demonstrasi anti-Shah makin meluas, Shah akhirnya mengizinkan dibentuknya partai-partai lain. Sebenarnya di samping partai bentuka Shah, ada sejumlah organisasi politik lain yang bergerak di bawah tanah, di antaranya yang paling terlihat adalah Front Nasional (Jebhe-e-Melli) dan partai komunis Tudeh. (Sihbudi : 1995 : 83)

Meskipun di Iran, tepatnya sebelum Revolusi Islam, terdapat parlemen, pemerintah dan partai politik, namun Shah menjadi kekuatan politik yang paling dominan. Shah dapat membubarkan parlemen, pemerintah dan partai politik sekehendaknya. Namun, selain Shah, di Iran terdapat kekuatan politik “potensial” yang di kemudian hari menggantikan posisi Shah sebagai kekuatan politik dominan yaitu, kaum Mullah (ulama Islam Syi’ah), kaum mullah di Iran membangun basis kekuatan mereka melalui masjid-masjid dan madrasah-madrasah. Pada rentang tahun 1978 sampai 1979, mereka menjadi motor penggerak bagi demonstrasi anti-Shah yang berhasil merobohkan dinasti Pahlevi di era kepemimpinan Shah Muhammad Reza Pahlevi.

Ayatollah Khomeni merupakan seorang tokoh yang memiliki pengaruh terhadap politik di dunia, terutama di Negara Republik Islam Iran. Demonstrasi besar-besaran yang terjadi di kota suci Qom pada tanggal 9 Januari 1978, merupakan awal dari pergolakan panjang yang meruntuhkan seluruh sektor kekuasaan Shah. Pergolakan tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1979, pada Januari 1979 Shah digulingkan dan dibuang ke pengasingan, sementara massa  mengundang Ayatollah Khomeini kembali dari pengasingannya di Perancis. Februari 1979, merupakan saat paling bersejarah bagi Iran, karena pada waktu itu bersamaan dengan berakhirnya kekuasaan Shah, yang menandakan berakhirnya sistem kerajaan di Iran.

Tak lama pascarevolusi, koalisi besar terdiri daari pemimpin agama, usahawan, pelajar, reformis liberal dan pejuang kiri terpecah. Lalu, kaum pemimpin agama melakukan konsolidasi kekuatan di bawah Ayatollah Khomeini. Setelah referendum nasional pada maret 1979, Iran menjadi Replublik Islam, dengan mempraktikkan berbagai ide Ayatollah Khomeini tentang pemerintahan Islam dan velayat-e-faqih atau kepemimpinan ahli fiqih. Para agamawan memimpin berdasarkan syariat. Meski Islam Syiah merupakan kekuatan signifikan, interpretasi dan aplikasi Khomeini terhadap velayat-e-faaqih dan hierarki politik dalam teokrasi modern Iran tetap menjadi kontroversi, termasuk diantaranya alim ulama muslim Syiah, terutama sejak wali-e-faqih atau pemimpin besar kedua, Ayatollah Ali Khamenei, tidak sepopuler Khomeini. Ketika ulama selalu memainkan peran signifikan, memberikan petunjuk dalam urusan spiritual dan lain-lain. Kadar keterlibatan langsung mereka dalam system politik juga telah menjadi pangkal perdebatan. Lebih jauh lagi, pembagian tugas yang tak terdefinisi dengan baik antara agama dan negara telah memunculkan perdebatan di dalam negeri. (Panah : 2007 : 57)



Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts