Struktur politik Iran
mengalami perubahan secara besar-besaran sejak berakhirnya kekuasaan Shah.
Bentuk negara berubah dari monarki absolut dimana Shah berkuasa secara mutlak,
menjadi sebuah replubik yang berdasarkan pada ajaran agama Islam mazhab Syi’ah.
Bentuk Replubik Islam secara resmi disetujui mayoritas (98,2%) rakyat Iran
melalui referendum yang diadakan pada tanggal 1 April 1979, tanggal tersebut
menjadi hari jadi Republik Islam Iran. Mengenai Undang-Undang Dasar Republik Islam Iran
disetujui mayoritas (99,5%) rakyat Iran melalui referendum yang diadakan pada 3
Desember 1979. (Basri : 1987 : 59)
Kekuasaan tertinggi dalam
struktur politik Republik Islam Iran berada di tangan Imam (pemimpin) atau
Dewan Kepemimpinan (Shura-ye Rahbari). Hal ini memang sesuai dengan ajaran
mazhab Syi’ah yang menerapkan prinsip Imamah (keimanan) sebagai salah satu
ajaran utamanya.
Konsep Politik Wilayatul Faqih Menurut Imam Khomeini
Revolusi Islam Iran yang terjadi
pada tahun 1979, telah berhasil meruntuhkan kekuasaan monarki absolut Dinasti
Pahlevi. Revolusi Islam ini telah melahirkan paradigm baru mengenai sistem
pemerintahan di Iran. Sistem politik dan bentuk negara Iran berubah, dari
monarki absolut menjadi sebuah republik Islam. Perbedaan yang paling mencolok
di antara keduanya adalah, jika sebelum revolusi Iran merupakan sebuah negara
sekuler, maka Iran pasca-revolusi bisa disebut sebagai sebuah negara ―teo-demokratis‖
yang didominasi kaum Mullah (ulama Syiah).( Sihbudi : 1996 :
106)
Sistem pemerintahan Republik Islam
Iran adalah sistem wilayatul faqih yang diatur berdasarkan
prinsip-prinsip pemerintahan (wilayatul al-amr), dan kepemimpinan agama.
Dalam konstitusi Iran, Undang-Undang Dasar harus mempersiapkan lahan bagi seorang
faqih yang memenuhi persyaratan yang diakui sebagai pemimpin oleh
rakyat. Sebuah keyakinan bahwa pengaturan urusan-urusan adalah ditangan
orang-orang yang alim tentang Allah, yang terpercaya dalam urusan yang
menyangkut apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah, sebagai bagian dari
kewajiban Islam yang sejati, untuk mencegah setiap penyelewengan oleh berbagai
organ negara dan tugas-tugas Islam.(Maulana : 2003 : 110)
Imam Khomeini mempunyai peran sangat
penting terhadap berdirinya Republik Islam Iran. Dibawah pimpinan Imam
Khomeini, seorang pemimpin besar keagamaan yang keputusan-keputusannya diikuti,
menyadarkan perlunya gerakan mengikuti akidah Islam yang sejati dalam
perjuangannya. Rencana pemerintahan Islam yang didasarkan pada wilayatul
faqih yang kemudian disarankan oleh Imam Khomeini pada saat rezim Pahlevi
mencapai puncaknya, hal ini memberikan motivasi dan harapan yang jelas terhadap
masyarakat Iran akan adanya perubahan pemerintahan di Iran
Masih pada tahun 1979, pasca
terjadinya revolusi, rumusan rancangan Konstitusi RII yang telah ditulis sejak
Imam Khomeini di Paris kemudian diumumkan. Begitu juga rancangan UUD rumusan
Dewan Revolusi (rancangan keempat) yang menjadikan semua rumusan sebagai
masukannya. Rumusan yang berisi 12 bab dan 151 pasal itu kemudian dipublikasikan kepada masyarakat. Pasal ke-3 dan ke-15
rumusan ini menyebutkan bahwa suara mayoritas merupakan prinsip negara dan
kedaulatan berada di tangan rakyat. Sementara keIslaman sistem negara didukung
oleh Dewan Garda Republik Islam Iran. Namun di sana tidak tercatat kata wilayatul
faqih.
Imam Khomeini kembali memberikan
waktu selama kurang lebih 1 bulan kepada seluruh komponen masyarakat untuk
memberikan masukan. Sejarah mencatat bahwa pada musim panas tahun 1979, media
massa dipenuhi oleh berbagai macam pandangan. Mereka yang berlatar belakang
agama memberikan penekanan lebih atas pengawasan faqih terhadap sistem
negara dibanding konstitusi bersyarat yang dihasilkan oleh revolusi konstitusi.
Perlahan-lahan kondisi ini bergeser dan mulai bermunculan pandangan dari
sebagian mereka, baik yang bukan dari kalangan rohaniwan. Mereka bersama-sama
dengan para maraji’ memunculkan ide wilayatul faqih. Dan masalah
ini terus bergulir bagai bola salju yang pada akhirnya mereka meminta agar wilayatul
faqih dimasukkan ke dalam rumusan UUD Republik Islam Iran (Satori,
2007:116-117).
Sejak perintahnya untuk
menyiapkan rumusan UUD RII, sikap Imam Khomeini sebagai founding father revolusi
tetap berada pada jalurnya. Beliau mengamati proses penulisan rumusan-rumusan
yang ada secara detail dan memberikan masukan poin-poin mana yang sesuai dengan
Islam dan mana yang tidak. Pidato-pidatonya selalu berisikan pencerahan bahwa
yang diinginkan adalah Islam. Secara perlahan-lahan beliau mengharapkan kesadaran masyarakat dan kaum elit untuk
tetap berada pada jalur Islam. Hal ini untuk juga dimaksudkan untuk mengurangi
tekanan dan pengaruh pemikir-pemikir yang berpihak ke Barat. Peran ini secara
cerdas dimainkan oleh Imam Khomeini hingga pada hari terakhir pengumuman untuk
mengusulkan poin-poin penting sejalan dengan draft UUD RII.
Kata Wilayatul Faqih pada akhirnya memang tidak secara resmi
disebutkan sebagai dasar negara, namun konsep-konsep dan ketentuan wilayatul
faqih mewarnai system pemerintahan Republik Islam Iran. Beberapa pasal yang
menyatakan secara langsung tentang konsep wilayatul faqih yaitu :
Pasal 5 UUD RRI, menyatakan
:
Selama masa ketidak hadiran imam yang ke dua belas (semoga Allah
mempercepat kedatangannya), dalam Republic Islam Iran wilayat dan kepemimpinan
umat merupakan tanggung jawab dari seorang faqih yang adil dan taqwa, mengenal
zaman, pemberani, giat, dan berkemampuan memerintah yang akan memegang tanggung
jawab jabatan ini sesuai dengan pasal 107.
Bab Delapan, Pemimpin dan Dewan Kepemimpinan, Pasal 107 UUD RII,
menyatakan :
Setelah wafatnya marji’ al-taqlid
terkemuka dan pemimpin besar revolusi Islam universal, dan pendiri Republik
Islam Iran, Ayatullah Al-Uzhma Imam Khomeini –quddisa sirruh
al-syarif- yang diakui dan diterima sebagai marji‘ dan pemimpin olh
mayoritas besar rakyat, tugas mengangkat pemimpin terpikul pada pundak para
ahli yang dipilih oleh rakyat. Para ahli itu akan meninjau dan bermusyawarah
diantara sesama mereka mengenai semua faqih yang memiliki kualifikasi yang
dikhususkan dalam pasal 5 dan 109. dalam hal mereka mendapatkan satu diantara mereka
lebih ahli dalam pengaturan Islam, masalah fiqih, atau dalam urusan politik dan
sosial, atau memiliki popularitas umum, atau kemenonjolan khusus untuk salah
satu dari kualifikasi yang tersebut pada pasal 109. Mereka harus memilihnya
sebagai pemimpin. Bila tidak demikian halnya, dalam ketiadaan keunggulan
semacam itu, mereka harus memilih dan menyatakan satu diantara mereka sebagai
pemimpin. Pemimpin yang terpilih semacam itu oleh dewan ahli akan memegang
semua kekuasaan wilayatul-amr dan semua tanggung jawab yang timbul daripadanya.
Pemimpin sama dengan rakyat lainnya dalam negara di
mata hokum.
Pasal 109 UUD RII menyatakan
:
Persyaratan dan kualifikasi
utama pemimpin ialah:
- Keilmuan, sebagaimana yang dituntut bagi tugas-tugas mufti (pemberi fatwa) dalam berbagai bidang fiqih.
- Adil, taqwa, sebagaimana yang dituntut bagi kepemimpinan umat Islam.
- Berwawasan politik dan sosial, bijaksana, berani, mampu dalam pemerintahan, dan cakap dalam kepemimpinan. (Haydar : 2001 : 8)
Dalam
hal banyak orang memenuhi kualifikasi dan persyaratan tersebut di atas maka
orang yang lebih mahir dalam fiqih dan tajam pandangan politiknya yang akan
diutamakan.