September 30, 2015

Gerakan Sekte Keagamaan



Gerakan Sekte Keagamaan

Gerakan Samin
Samin Surosentiko lahir di Plosokediren, Randublatung, Blora pada tahun 1859. Raden Kohar adalah nama kecilnya. Garis bangsawan mengalir dalam darahnya dari garis ayahnya, Raden Surowijoyo yang merupakan keturunan dari Pangeran Kusumaningayu, Adipati Sumoroto, daerah Tulungagung sekarang. Samin Surosentiko dibesarkan dalam pengasuhannya ayahnya di Plosokediren. Realita masa penjajahan kolonial menyadarkan dirinya akan hak-hak bangsa pribumi yang tertindas. Terutama kebijakan Kompeni atas privatisasi hutan jati dan kewajiban membayar pajak bagi masyarakat miskin.[1]
Raden Kohar tumbuh dengan jiwa dan semangat empatis atas masyarakat sekitar. Ia melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata). Perlawanan tidak dilakukan secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap pemerintah Kolonial. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut, ia merekontruksi sebuah tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan baru yang berbeda dari kaidah-kaidah yang berlaku umum. Sebuah gerakan yang lebih bersifat sebagai pembangkangan dan perlawanan sipil terhadap pemerintah Kolonial.[2]
Gerakan sosial Raden Kohar, yang selanjutnya bernama Samin Surosentiko ~ sebuah nama yang lebih bernafaskan jiwa rakyat kebanyakan, memiliki tiga unsur gerakan Saminisme. Pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang sistem feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung. Kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok. Dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Sartono Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.[3]
Gerakan Samin merupakan gerakan social tradisional pedesaan yang bersifat pasif. Gerakan ini dipimpin oleh Surontiko Samin. Gerakan ini dilakukan oleh petani dan cakupan wilayahnya kecil. Gerakan ini muncul pada abad ke 19, gerakan Samin tidak melakukan tindak kekerasan seperti gerakan yang lain. gerakan Samin mengutamakan kejujuran, menghargai sesamanya dan menghargai kaum perempuan. Pemerintah Hindia Belanda dan Snouk Hurgonje berpandangan bahwa gerkan ini mesianistis  yang non-Islam. Gerakan ini tidak berbahaya dan mudah ditumpas jika pemimpinnya dibuang. Surontiko Samin akhirnya dibuang ke Sumatra.[4]
Gerakan Samin muncul karena himpitan ekonomi akibat kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Gerakan Samin menampakkan peningkatan kegiatannya dan bersifat mesianistis pada abad ke 20. Gerakan Samin tidak Homogen, hal ini terlihat di berbagai daerah yang mendapat pengaruh dari gerakan Samin. Setelah Surontiko dibuang ke Sumatra, para pemimpin lainnya meneruskan gerakan Samin dengan pandangan berbeda-beda. Hal ini terjadi karena tidak ada doktrin tertulis yang ditinggalkan Surontiko.[5]
Gerakan Sekte keagamaan
Di luar arus perkembangan mesianisme selama abad 19 dan 20, muncul lah sekte-sekte keagamaan baru, gerakan milenaristis sangat menarik bagi golongan petani pada khususnya dan lapisan bawah pada umumnya. Ciri-ciri gerakan sekte yaitu corak umum dari gerakan pemberontak, adanya unsur-unsur protes rakyat terhadap tekanan dari golongan yang berkuasa seperti gerekan2 kerusuhan di pedesaan.Gerakan milenaristis atau gerakan sekte menampilkan pemimpin-pemimpin karismatis yaitu para guru, haji atau kiai, dan memberikan tempat rakyat untuk bersatu dalam ikatan keagamaan.
Pada abad ke 19 dan ke 20 gerakan mesianisme berkembang pesat, disisi lain sekte-sekte keagamaan muncul. Gerakan ini diikuti oleh golongan petani dan masyarakat lapisan bawah. Gerakan ini pada umumnya menunjukkan corak umum dari gerakan pemberontakkan dan unsur-unsur protes rakyat terhadap golongan yang berkuasa.Gerakan sekte pada umumnya dipimpin oleh pemimpin karismatis seperti guru dan haji atau kiai yang menyatukan masyarakat dalam ikatan keagamaan. Gerakan sekte memberikan jalan pelarian bagi mereka yang pegangan hidupnya sedang mengalami masalah.
Gerakan mesianisme dan gerakan sekte (milenaristis) memiliki persamaaan dan perbedaan. Kedua tipe gerakan tersebut didukung oleh masyarakat lapisan bawah, dipimpin oleh elit agama, dan ideology milenaristis memiliki pandangan hidup dimasa sekarang daripada kehidupan akhirat.[6]
Gerakan sekte di jawa muncul adanya perubahan-perubahan social dan demorilisasi akibat dari westernisasi. Sekte merupakan ekspresi keagamaan dari perasaan ketidakmampuan suatu masyarakat dan perasan-perasaaan untuk memberontak, hasil perjuangan kelas, organisasi dari kelas bawah dan peralatan dari sifat agresif mereka. Oleh karena itu dapat di pahami bahwa milenarisme mendapat tempat di kalangan masyarakat yang tertindas karena dianggap memperjuangkan hak mereka.
Ciri-ciri umum gerakan sekte dan mesianisme terdapat dalam masalah peran pemimpin dan ajaran-ajarannya. Pemimpin dalam gerakan itu merupakan hal yang vital (penting). Selain itu, masalah ekonomi dan social dalam gerakan-gerakan sekte merupakan hall penting pula. Dalam hal ini, bahwa iklim budaya memberikan  tempat baik bagi kelahiran seorang pemimpin agama yang kemudian mampu mewujudkan  gerakan keagamaan.[7]
Tujuan gerakan sekte adalah menjawab persoalan kebendaan yang dihadapi anggota-anggotanya. Jawaban tersebut adalah kehidupan duniawi yang penuh kebahagiaan dan ketentraman. Hal tersebut dapat terwujud jika kerajaan diperintah secara adil, damai dan bebas dari golongan penguasa yang buruk. Ideology gerakan sekte dekat dengan ideology gerakan misianisme yaitu berorientasi dengan kehidupan sekarang. Gerakan-gerakan sekte dijawa terdapat petunjuk bahwa gerakan yang tidak dilembagakan cenderung mencari tujuan yang bersifat kebendaan dan keduniawian. Sebaliknya gerakan yang terlembaga cenderung mengerahkan pandangan kepada kehidupan akhirat.
Perbedaan sikap moral antara satu sekte dengan sekte lain memperjelas adanya bermacam-macam sektarianisme. Di satu pihak terdapat satu sekte secara keras melancarkan propaganda menentang kekenduran dalam menjalankan kehidupan beragama secara ketat dalam kehidupan sehari-hari. Di lain pihak terdapat golongan sekte yang memberikan kebebasan dalam melakukan dasar-dasar agama. Salah satu ciri lain gerakan sekte ialah adanya pengawasan yang ketat terhadap anggota-anggotanya. Sebagai syarat mutlak setiap calon anggota yang hendak masuk terdalam tarikat harus mengucapkan sumpah setia terlebih dahulu. Hal ini berbeda dengan gerakan mesianistis yang hanya mengundang hak dari pihak pimpinan untuk mengeluarkan anggotanya bila melakukan pengkhianatan.
Sifat kerahasiaan yang menyelubungi kehidupan sekte merupakan alat pertahanan dan perlindungan terhadap dunia luar. Usaha untuk merahasiakan diri timbul karena adanya kecurigaan dari pihak yang berkuasa.
Gerakan di Jawa
·         Jamaa’ah Rifa’i
Salah satu gerakan sosial yang mengandung ciri gerakan protes sekaligus gerakan sekte keagamaan adalah Jamaah Rifa’iyah. Nama gerakan ini diambil dari tokoh pemimpinnya yaitu K.H. Ahmad Rifa’i Kalisalak. Sebagaimana lazimnya gerakan-gerakan sosial yang bersifat tradisional, Jamaah Rifa’iyah sangat lekat dengan sosok pemimpinnya yang karismatis. Lahir, tumbuh, dan berkembangnya Jamaah Rifa’iyah pada dasarnya adalah implementasi dari pemikiran-pemikiran K.H. Ahmad Rifa’i yang dituangkan dalam kitab-kitab karyanya. Oleh karena itu, kita perlu memahami latar belakang dari sosok K.H. Ahmad Rifa’i dan juga pemikiran yang terkandung dalam kitab-kitabnya. Dari riwayat hidupnya kita akan melihat bahwa K.H. Ahmad Rifa’i adalah sosok seorang ulama yang konsisten melawan pemerintah kolonial Belanda beserta elit birokrasi tradisional dan konsistensi ini dapat ditemukan pula dalam tulisan yang terdapat pada kitab-kitabnya. Kitab-kitab itu sendiri ditulis dalam rangka merespon kebutuhan masyarakat ketika itu untuk mempelajari agama.[8]
Mohammad Rifa’i dari Kalisalak pada abad 19. Sekte budiah merupakan jenis pemurniaan Islam dengan tujuan mengadakan pembaharuan Islam dengan cara kembali kepada ajaran yang murni. Haji Rifa’i menulis beberapa buku antara lain ilmu hukum Islam, asas-asas kepercayaan dan mistisisme ditulis dalam bahasa Jawa dan dalam bentuk puisi. Kumpulan karyanya disebut tardjumah. Kitab Tardjumah berisi terjemahan kedalam bahasa Jawa yang terdapat dalam kitab suci yang berbahasa Arab.[9]
Haji Rifa’i berpendapat bahwa kehidupan agama dari rakyat dan pemimpin telah menyimpang dari petunjuk-petunjuk Tuhan. Selain konsepsi perjuangan melawan penjajah rifangi juga menyatakan akan datang suatu masa bahwa pulau jawa akan menjadi makmur dan tidak ada tindak criminal jika orang-orang bodoh patuh terhadap pemimpin yang bijak.
Di Kalisalak ia membangun sebuah komunitas pengajian, mula-mula ia mengajar anak-anak membaca Al-Qur’an. Namun lambat laun orang dewasa dari Desa Kalisalak dan sekitarnya tertarik untuk mengaji padanya. Di desa tersebut K.H. Ahmad Rifa’i menikah dengan janda Demang Kalisalak yang bernama Nyai Sujinah. Pernikahan K.H. Ahmad Rifa’i dengan Nyai Sujinah menunjukkan bahwa dirinya mendapat dukungan dari orang yang mempunyai status sosial cukup tinggi yang nantinya dapat memberi manfaat bagi kelangsungan dakwah. Di tempat barunya ini K.H. Ahmad Rifa’i menyebarkan pemikiran Islam melalui kitab Tarojumah yang ia tulis sendiri. Kitab Tarojumah ini berbentuk nazham atau syair dalam bahasa Jawa dan berhuruf Arab (Arab Pegon). Hal ini tidak lepas dari kondisi sosio-kultural orang Jawa pada abad ke-19 yang tidak memungkinkan untuk mempelajari dan memahami kitab-kitab yang berbahasa Arab.
Selain itu agar mudah dihafalkan dan dipahami. Lambat laun komunitas keagamaan yang dibangun oleh K.H. Ahmad Rifa’i di Kalisalak menarik penduduk sekitar dan daerah lain menjadi santrinya. Umumnya para santri pengikut K.H. Ahmad Rifa’i adalah masyarakat desa yang mayoritas bekerja sebagai petani. Untuk memfasilitasi minat para santrinya yang ingin tinggal dekat dengannya ia mendirikan masjid dan pondok pesantren di Kalisalak sehingga pengikutnya sering juga disebut Santri Kalisalak. Dalam kaitannya dengan upaya dakwah yang dilakukannya, ada tujuh metode dakwah yang dikembangkan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai berikut:[10]
1.      Menerjemahkan Al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab berbahasa Arab karangan ulama terdahulu ke dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon berbentuk nazham atau syair;
2.      Mengadakan kunjungan silaturahmi dari rumah ke rumah famili dan masyarakat;
3.      Menyelenggarakan pengajian umum dan dakwah keliling ke daerah yang penduduknya miskin secara materi dan agama guna membendung budaya asing;
4.      Menyelenggarakan dialog di masjid atau di langgar (mushola);
5.      Mengadakan kegiatan kesegaran jasmani bagi pemuda;
6.      Mengadakan gerakan protes sosial keagamaan terhadap birokrat pribumi dan Belanda;
7.      Untuk mempererat hubungan antara guru dengan murid dan antara murid dengan murid, biasa dilakukan pula pernikahan sesama murid, anak guru dengan murid (Amin, 1996: 106).
Di Kalisalak K.H. Ahmad Rifa’i tetap melakukan kecaman dan protes terhadap Pemerintah dan birokrat pribumi. Tindakan ini tentu sangat meresahkan pemerintah kolonial yang menganggap sikap militan K.H. Ahmad Rifa’i sebagai ancaman. Kekhawatiran serupa melanda birokrat pribumi yang khawatir kedudukan dan otoritasnya terancam.
·         Gerakan Igama jawa-pasundan
Gerakan Igama jawa-pasundan didirikan oleh Sadewa atau lenbih dikenal dengan Madrais. Sadewa merupakan putra mahkota dari kerajaan Cirebon. Posisi Sadewa sebagai putra mahkota, melancarkan pemikiran dan gerakannya tentang mengembalikan budaya Jawa dan Sunda.  Gerakan ini menyerukan kepada pengikutnya agar meninggalkan upacara dan hokum Islam, menurut gerakan ini Islam adalah agama orang Arab bukan diperuntukkan untuk orang Jawa. Gerakan ini menyatakan dalam salah satu ajarannya menyebutkan kesetiaan terhadap Ratu Belanda. Ajaran lainnya juga menyatakan bahwa orang harus percaya terhadap Tuhan dan patuh terhadap hokum negara.[11]
·         Gerakan Oah
Gerakan Oah merupakan salah sekte yang bergerak melalui tindak kriminalitas.  Gerakan ini muncul di daerah Sukabumi dan Cianjur. Sekte Oah memiliki 1000 orang anggota yang tersebar di berbagai desa. Gerakan ini melakukan pemerasan, penipuan dan pembunuhan. Gerakan Oah dipimpin oleh Fadil, Bapa Adna, Kosi, Arkam, Pak tasik dan Ibrahim. Kegiatan-kegiatan sekte ini dibantu oleh badal-badal yang dipimpin oleh seorang jagoan.[12]


[1]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 440
[2]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 441
[3]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 441
[4]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 443
[5]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 445
[6]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 450
[7]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 451
[8]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 455
[9]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 456
[10]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 459
[11]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 460
[12]Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 462

KARAKTER BANGSA ARAB



KARAKTER BANGSA ARAB



Pendahuluan
            Karakter bangsa dalam antropologi (khususnya masa lampau) dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut[1].
         Istilah Arab merupakan symbol yang menunjukkan esensi dan keberadaan sebuah bangsa dengan kebesarannya pada masanya.Istilah ini telah memberikan gambaran yang jelas bahwasaanya kata Arab berasal dari bahasa yang digunakan oleh sebuah komunitas dalam sarana komunikasi mereka yaitu bahasa Arab.Dalam kamus al-munjid disebutkan bahwasannya ‘Arab atau ‘Aruba berarti orang yang menggunakan bahasa Arab dengan fasih.[2]
         Di samping itu terdapat definisi lain tentang kata ‘Arab, di mana menurut bahasa, ‘Arab artinya adalah padang pasir, tanah gundul dan gersang yang tiada air dan tanamannya. Sebutan dengan istilah ini sudah diberikan sejak dahulu kala kepada jazirah Arab, sebagaimana sebutan yang diberikan kepada suatu kaum yang disesuaikan dengan daerah tertentu atau nama dari leluhur terdahulu, lalu mereka menjadikan namanya sebagai tempat tinggal.[2] Hal ini sesuai dengan pengertian kata ‘Arab sebagaimana disebutkan dalam al-munjid bahwasannya kata ‘Urbu dan ‘Arab memiliki arti sekumpulan kaum yang memiliki tempat tinggal seperti wilayah yang berada di sebelah timur dari laut merah.[3]
         Menurut seorang penulis Al-Balādhurī, tulisan Arab yang pada akhirnya menunjukkan esensi istilah Arab berasal dari tulisan bahasa Syiria yang terdapat di kota Lakhmid ibu kota kerajaan Al-Hīrah. Dari kota tersebut tulisan itu dibawa Bishr Ibn ‘Abdul Malik dan mengajarkannya kepada penduduk di kota Makkah. Namun disebutkan juga dalam literature yang berbeda bahwasannya tulisan Arab yang merupakan representasi dari bahasa Arab itu sendiri berasal dari Aramik yang berasal dari Kushif Nabatea.[4] Secara sederhana, terminologi Arab hanya didefinisikan bagi mereka yang bisa berbahasa Arab sebagai bahasa ibu
         Dari telaah linguistic historis ini dapat disimpulkan bahwasannya istilah ‘Arab mengandung dua pengertian utama yaitu ‘Arab sebagai konsepsi kebahasaan yang menunjukkan bahasa komunikasi sebuah masyarakat tertentu (‘Arab) yang selanjutnya dijadikan sebagai identitas kebangsaan bagi masyarakat bahasa tersebut. Dan yang kedua, ‘Arab sebagai sebuah wilayah kekuasaan bagi komunitas tertentu (‘Arab) yang memiliki kekhususan secara demografis dan topografis dan menunjukkan identitas bagi penduduk yang berdiam di wilayah tersebut.
         Berangkat dari diskripsi istilah kata ‘Arab di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa bangsa Arab merupakan sebuah group etnik yang memiliki bahasa komunikasi sendiri yaitu bahasa Arab dan mendiami suatu wilayah yang disebut ‘Arab sebagai tempat tinggalnya. Bangsa Arab merupakan bangsa yang mendiami wilayah semenanjung Arabia dan merupakan penduduk asli jazirah Arab.[5] Diskripsi modern menyatakan bangsa Arab ini (Arab: عرب) sebagai sebuah grup etnik yang heterogen yang berada sepanjang Timur Tengah dan Afrika Utara.[5]
                Habib Hassan Touma mengungkapkan bahwa orang Arab atau bangsa ‘Arab ialah “orang yang memiliki kebangsaan Arab, yang memakai bahasa Arab, dan memiliki pengetahuan tentang Arab secara keseluruhan.Sementara itu Liga Arab pada tahun 1946 menyatakan bahwa orang Arab ialah “yang memiliki kebangsaan negara di dunia Arab, berbahasa dan menuturkan bahasa Arab dan peduli terhadap nasib bangsa Arab”.[6]
            Kepemilikan akan unsur kesatuan sebagai masyarakat Arab atau yang mempunyai karakteristik tersendiri dan karakter yang membuatnya berkembang dan bergerak secara keseluruhan masih dipertanyakan.Sebelum kita berbicara tentang unsur-unsur masyarakat, seharusnya kita menunjukkan apa yang dimaksud oleh para ilmuwan sosiologi dengan arti dari kata masyarakat, sehingga jelas bagi kitakerangka yang diungkapkan oleh lafal masyarakat tersebut. Berdasarkan kerangka tersebut kita dapat menjelaskan ketersediaan unsur-unsur ini dalam masyarakat Arab.
            Para ilmuwan sosiologi mengartikan kata masyarakatdengan: sekelompok individu atau kumpulan yang bertempattinggal di sebidang tanah tertentu dan terikat oleh sejarah yangpanjang, interaksi, pengaruh yang bergantian, kebiasaan dantradisi kolektif, dan didominasi semangat yang sama, harapan dancita-cita yang sama yang bertujuan untuk mewujudkannya.
            Berdasarkan konsep ini, kita dapat menentukan 3 (tiga) aspek pokok yang dapat membentuk unsur masyarakat yaitu: (1) unsur geografi (2) unsur sejarah, (3) unsur budaya. Berikut ini akan kita bahas beberapa unsur budaya yang berpengaruh nyata dalam memperkokoh kesatuan pikir dan rasa dalam masyarakat Arab yaitu Bahasa, Agama Islam dan Adat Istiadat.
            Mempelajari kultur Arab berarti melakukan sebuah upaya ganda. Pertama, menanggalkan pandangan-oandangan statis dan terlalu simplistis yang telah menuntun pemikiran Barat.Kedua, mempelajari kembali dengan mengikuti pendekatan dinamis dan analitis terhadap realitas yang kompleks. Orientalis Barat memandang bahwa kultur Arab merupakan kultur yang konstan. Kultur di sini terdiri dari tiga elemen dasar: nilai, ekspresi diri, dan pengetahuan.
            Kultur menurut pandangan perspektif seorang nasionalis kultur terbagi menjadi dua, yaitu nasionalis secara universal dan semi nasional. Kultur menurut perbedaan kelas terdiri dari kultur tinggi, massa atau masyarakat, bourjouis atau orang menengah atas,  elitis atau kalangan atas, petani, pekerja, resmi atau PNS,  popular atau artis dsb. Kultur menurut bidang akademik yaitu kultur saintifik, literer, politik, materialis dan spriritual Kultur dalam masyarakat yaitu badui, desa, urban atau kota, tradisonal, modern, kultur asli atau pinjaman
            Kultur adalah jalan hidup khas suatu masyarakat yang terkadang dicirikan oleh adanya keseragaman.Kultur ditujukan untuk mengatur aksi dan relasi antar manusia serta melestarikan/mengubah tatanan yang berlaku. Bangsa arab sendiri memiliki jenis 3 kultur yaitu Kultur dominan merupakan sesuatu yang paling umum dan tersebar luas. Sub kultur adalah sesuatu yang dimiliki komunitas dan kelas tertentu contoh bangsawan. Counter kultur meruapakan sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat teralienasi atau terbuang dan teradikalisasi atau menginginkan perubahan
                Banyak pendekatan yang bisa dilakukan untuk mempelajari mengenai Karakter Nasional bangsa Arab. Diantaranya: Rapal Patai (pendekatan statis). Menurut Patai, karakter nasional adalah seluruh motif, sifat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang plural dalm sebauh populasi nasional. Sehingga Patai mengasumsikan bahwa bangasa arab adalah sebuah bangsa yang homogen sedangkan kawasan Timur Tengah meski dihuni oleh mosaik manusia  tetap berasal dari kultur yang identik.
            Ada distorsi yang menyertai pendekatan Patai antara Arab dan Islam.Ia menganggap bahwa Islam sebagai kekuatan eksternal yang membentuk masyarakat dan bukan dibentuk oleh masyarakat. Dari pendekatan yang dilakukan oleh Patai ada beberapa hal yang dimengerti dari masyarakat Arab diantaranya: bagi orang arab kefasihan berbahasa adalah salah satu hal yang berhubungan dengan maskulinitas.
            Patai pun membuat teori bahwa orang Arab adalah orang yang loyal terhadap kelompok dan memusuhi individu dari kelompok lain. Patai pun menyampaikan bahwa pada abad ke 13 dan ke 14 orang-orang yang terpelajar telah menyadari adanya bukan hanya sebuah karakter nasional, namun juga perbedaan karakte orang-orang Arab yang menghuni berbagai macam negara.
            Adapun orang lain yang menggambarkan karakter nasional bangsa arab yaitu Morroe Berger. Berger bahkan menyatakan kebencian terhadap bangsa Arab dengan berbagai stereotip.ada kutipan kalimat yang dituliskan Berger “bangsa arab memperlihatkan ekspresi sebagai sebuah bangsa yang mengutuki dirinya sendiri  dan yang terluka harga dirinya”. Hal ini dituliskan ketika bangsa Arab terkungkung dengan kolonialisme.
            Tokoh lainnya yang mengemukakan pendapatnya mengenai karakter nasional bangsa Arab yaitu Hamed Ammar. Pandangan Hamed Ammar yang terkenal yaitu mengenai “kepribadian Fahlawi”. Ada beberapa tipikal dari kepribadian ini yaitu: kecepatan beradaptasi dengan berbagai macam situasi baru, tidak emosional, kecendrungan melebih-lebihkan diri dan menutupi kerendahan diri, keinginan ingin mencapai cita-cita dengan jalan yang relatif pendek.
            Pandangan kritis lainnya pun diutarakan oleh Hichem Djait yang analisisnya mengenai kepribadian Tunisia dibuat berdasarkan konsep kepribadian dasar Kardnerian, seperti: pemujaan terhadap kekuasaan dan otoritas, merasa jijik pada kaum lemah, serta merasa takut sekaligus jijik pada perempuan, agresif, fatalis, gemar kepada sihir, dan lemahnya super ego.
            Fuad Mughrabi melakukan kritikan-kritikan terhadap studi yang dilakukan dalm meneliti karakter nasional bangsa Arab.Studi-studi yang dilakukan oleh beberapa tokoh di atas dianggap gagal meneliti keberagaman dan transisi yang terjadi di dalam masyarakat Arab. Dan Ia pun melakukan kritik terhadap para tokoh di atas yang melakukan penelitian dan mengambil kesimpulan menurut perspektif Arab.
            Sayyid Yasin menilai bahwa karakteristik-karakteristik yang dibuat oleh para orientalis Israel di atas adalah sebuah distorsi terhadap citra bangsa Arab.Ia melihat bahwa pemikiran Barat mengenai karakter nasional bangsa Arab hanya berfokus pada hal-hal negatif. Sayyid yasin mendefinisikan konsep kepribadian nasional sebagai karakteristik psikologis, sosial, dan peradaban yang khusus dan terus dalam sebuah bangsa.

[4] Di sisi lain, ahli  filologi Arab abad kesebelas, Ibnu Faris mengatakan bahwasannya tulisan dan istilah Arab merupakan Hadarat Ilahi. Di mana tuhan telah mengajarkan setiap huruf kepada Adam bersama dengan tanda baca vocal dan Ilmu ‘Arudh (prosodi). Lihat: Anwar. G. Chejne, Bahasa Arab Dan Perannanya Dalam Sejarah, terj. oleh: Aliudin Mahjudin, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994), hlm: 31.
[5] Ahmad Amin, Fajri Al Islam, (Singapura: Sulaiman Mar’i, 1965), hlm: 1
http://kajiantimurtengah.wordpress.com/2010/12/04/masyarakat-arab-tinjauan-sosiologis/


[1]Ade Armando, dkk. Refleksi Karakter Bangsa. Forum Kajian Antropologi Indonesia. Jakarta. 2008.hal 8
[2]Lewis Ma’luf, Al Munjīd Fi Al-Lughah Wa Al-A’lām, At-Thaba’ah Al-Jadīdah Al-Munaqqahah, Cetakan ke-38, (Beirut: Dār Al-Masyriq, 2000), hlm: 495
[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Bangsa_Arab. diakses pada hari sabtu, 20 oktober 2010
[4]Lewis Ma’luf, Al Munjīd Fi Al-Lughah Wa Al-A’lām, At-Thaba’ah Al-Jadīdah Al-Munaqqahah, (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986) hlm: 395. Di samping itu disebutkan bahwa istilah Arab menunjukkan sekumpulan atau sekelompok masyarakat nomaden yang disebut A’rāb.Kata A’rāb berasal dari istilah bangsa Asiria terhadap bangsa-bangsa yang pernah mereka taklukkan. Apabila ditinjau lebih lanjut,  Al-Qur’an tidak memakai kata A’arāb, tapi hanya menggunakan kata sifatnya yaitu A’rabiyyūn. Al-Qur’an kemudian menjadi contoh yang sempurna bagi al-A’rabiyya, bahasa Arab. Kata benda netral A’arāb berhubungan suku Badui Quraisy yang melawan Nabi Muhammad SAW, contohnya pada surat At-Taubah, A’arābu Ašaddu kufrān wa nifāqān “Mereka (suku Quraisy) semakin kafir dan nifaq”. Berdasarkan terminologi Islam, kata A’arāb menunjukkan bahasa, dan A’arāb untuk kaum Arab Badui. (http://id.wikipedia.org/wiki/Bangsa_Arab, 1996), diakses pada hari Sabtu, 20 oktober 2010
[5]Kata Arab sebagai identitas bangsa pertama kali muncul pada abad ke 9 sebelum masehi yang menunjukkan ke-heterogenitasnya Bangsa Arab yang tidal selalu terdiri dari orang-orang yang beragama Islam, tapi juga orang yang beragama Kristen dan Yahudi. Beberapa buktinya ialah perabadan Nabath yang didirikan oleh bangsa Arab beragama Kristen. (http://id.wikipedia.org/wiki/Bangsa_Arab, 1996), diakses pada hari Sabtu, 20 oktober 2010
[6](http://id.wikipedia.org/wiki/Bangsa_Arab, 1996), diakses pada hari sabtu, 20 oktober 2010

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts