May 6, 2019

KEBIJAKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA DI NUSANTARA


Pemerintahan Hindia-Belanda berupaya menggunakan sistem pemerintahan desentralisasi untuk mengatur kekuasaan di wilayah jajahannya. Pada dasarnya pemerintahan desentralisasi Hindia-Belanda bertujuan untuk membuka kemungkinan diadakannya daerah-daerah yang memiliki pemerintahan sendiri namun tetap memiliki tanggung jawab dan berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.
Pada awalnya gubernur jenderal yang merupakan wakil ratu belanda memiliki kekuasaan yang sangat luas, sehingga untuk melaksanakan tugasnya dibantu oleh organisasi-organisasi pemerintah yang diisi oleh pejabat-pejabat baik pusat maupun daerah. Namun kekuasaan yang tak terbatas menuai protes dari komunitas-komunitas pengusaha Belanda, karena mereka juga ingin menyuarakan pendapatnya dalam menentukan kebijakan.
Untuk mengatasi hal itu diusulkan untuk membentuk gewestelijk raden, yaitu suatu dewan dimana warga eropa dapat berbicara untuk menyuarakan isi hatinya. Inilah yang mengawali terbentuknya decentralisatie wet, kurang lebih pasalnya berisi tentang pemerintah di daerah-daerah jajahan kerajaan Belanda.

A.    Kebijakan Politik

Sebagai bangsa pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara, baik secara politik maupun ekonomi, pemerintah kolonial menyadari bahwa keberadaannya tidak selalu aman. untuk itu pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah kerajaan yang masih disegani, hal ini bertujuan untuk menanamkan pengaruh politiknya terhadap elite politik kerajaan.
Terjadi dualisme sistem birokrasi pemerintahan pada saat pemerintahan kolonial berlangsung, yaitu mulai diperkenalkannya sistem administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur) yang memperkenalkan sistem administrasi dan birokrasi modern yang puncaknya pada ratu Belanda dan sistem administrasi tradisional (inheemche Bestuur) masih dipertahankan oleh pemerintah kolonial.[1]
Dalam struktur pemerintahan di nusantara, Belanda menempatkan Gubernur Jenderal yang dibantu oleh gubernur dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan di Batavia, setingkat wilayah propinsi. Sedangkan untuk tingkat kabupaten terdapat asisen residen dan pengawas (Controleur). keberadaan asisten residen diangkat oleh gubernur jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Pengawasan dari raa hanya ditunjukkan pada saat-saat tertentu, seperti pengiriman upeti kepada raja. bupati tidak memiliki kekuasaan yang otonom lagi, akan tetapi selalu mendapat kontrol dari pengawas yang ditunjuk pemerintah pusat. perubahan birokrasi pemerintahan tersebut mendorong Belanda untuk mengadakan perubahan hak pemakaian tanah.[2]
Struktur administrasi pemerintah Hindia Belanda di Indonesia sebagai berikut. gubernur jenderal memegang kekuasaan tertinggi sebagai wakil dari Ratu Belanda yang berkedudukan di propinsi. dikabupaten diperintah oleh gubernur, sub kabupaten oleh residen, dibawahnya ada asisten residen yang mengawasi para patih dan bupati, dibawahnya ada pengawas yang bertugas mengawasi wedana dan asisten wedana.[3]
Selama pemerintah HIndia Belanda memerintah wilayah Nusantara, terjadi pergantian kepepimpinan antara lain :
a)      Pemerintahan pada Masa Daendels
Setelah VOC bubar,Herman Wiiliam Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Indonesia,dengan tugas pokoknya,antara lain :
·         Mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris
·         Mengatur pemerintahan di Indonesia
Untuk menjalankan tugas-tugasnya Daendels melakukan beberapa tindakan,antara lain sebagai berikut :
·         Membentuk pasukan dari orang-orang Indonesia
·         Mendirikan pabrik senjata di Semarang dan Surabaya.
·         Membangun pangkalan armada di Merak dan Ujung kulon.
·         Mendirikan benteng-benteng pertahanan.
·         Membangun Jalan Raya Anyer- Panarukan.
Beberapa cara yang di lakukan Daendels untuk mendapatkan dana agar dapat menjalankan tugasnya antara lain :
·         Contingenten : mewajibkan penduduk untuk menyerahkan sebagian hasil buminya sebagai pajak.
·         Verplichte  Leverentie : mewajibkan penduduk menjual hasil buminya kepada pemerintahan Belanda dengan harga yang di tentukan.
·         Menjual tanah negara kepada pihak swasta.
·         Pringer Stelsel : mewajibkan penduduk priangan untuk menanam kopi yang hasilnya di serahkan kepada pemerintahan Belanda.[4]
Pemerintahan Daendels di Indonesia menimbulkan penderitaan rakyat karena Daendels bertindak kejam terhadap rakyat. Daendels mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga rakyat Indonesia yang menimbulkan kebencian rakyat. Selain itu Daendels melakukan kesalahan dengan menjual tanah pemerintahan kepada para pengusaha swasta. Akibatnya pada tahun 1811 Daendels di tarik kembali ke Belanda dan di gantikan oleh Janssens.
b)      Pemerintahan Pada Masa Jassens
Gubernur Jendral Janssens ternyata seorang Gubernur Jendral yang lemah,buktinya ketika Inggris menyerang Janssens terpaksa harus menyerah dan menandatangani perjanjian Kapitulasi Tuntang 17 Desember 1811.
Isi perjanjian Kapitulasi Tuntang adalah :
1)      Seluruh militer Belanda menjadi tawanan Inggris.
2)      Utang pemerintahan Belanda tidak di akui Inggris.
3)      Indonesia harus diserahkan kepada Inggris.
Kekalahan Janssens disebabkan oleh :
·         Tidak terjalinnya hubungan kerjasama dengan raja-raja di Indonesia.
·         Angkatan perang warisan Daendels kurang kuat.
·         Janssens kurang cakap memimpin pemerintahan
c)      Pemerintahan pada Masa Raffles
Dengan penandatangan Kapitulasi Tuntang tanggal 17 Desember 1811,Belanda harus menyerahkan Indonesia kepada Inggris di bawah pimpinan Stamoford Raffles yang berkedudukan di Batavia. Raffles menerapkan kebijakan-kebijakan antara lain :
·         Membagi pulau Jawa menjadi 16 karesidenan.
·         Melarang perdagangan budak
·         Menghapus segala bentuk penyerahan wajib semasa Daendels
·         Menghapus peran Bupati sebagai pemungut pajak
·         Memberlakukan sistem sewa tanah (Landrent)
Akan tetapi sistem pajak sewa tanah (Land rent) pada masa Raffles mengalami kegagalan,sebab :
·         Sulit menentukan jumlah pajak yang harus di bayar
·         Tidak ada dukungan dari para Bupati
·         Pajak sewa tanah harus dibayar dengan uang,padahal rakyat belum mengenal sistem peredaran uang.[5]
Pemerintahan Raffles berakhir tahun 1816 dikarenakan berdasar perjanjian London yang di tandatangani Inggris dan Belanda tahun 1814, Inggris harus menyerahkan kembali tanah jajahan yang di rebut dari Belanda termasuk Indonesia. Pada tanggal 19 Agustus 1816 Inggris di wakili John Fendell dan pihak Belanda di wakili oleh Boyskes,Elout,dan Van Der Cappelen. Dalam pemerintahannya yang singkat Raffles juga berjasa,yaitu :
·         Menyusun buku History of Java
·         Menemukan Bunga Raffesi
·         Merintis terbentuknya Kebun Raya Bogor.

B.     Kebijakan Ekonomi
Tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda megangkat gubernur jenderal baru untuk Indonesia, yaitu Johannes van den Bosch, yang diserahi tugas utama meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung. Pemerintahan Hindia Belanda mengalami kesulitan keuangan yang disebabkan oleh :
·         Banyaknya hutang luar negeri yang di tanggung pemerintahan Belanda.
·         Banyaknya biaya yang dikeluarkan pemerintahan Belanda untuk perang melawan rakyat Indonesia dan pemberontakan rakyat Belgia yang ingin memerdekaan diri dari Belanda.
Van Den Bosch atas inisiatif sendiri memberlakukan Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa mulai tahun 1836.[6]
a.       Cultuurstelsel
Istilah cultuur stelsel sebenarnya berarti sistem tanaman. Terjemahannya dalam bahasa inggris adalah culture system atau cultivation system. Pengertian dari cultuur stelsel sebenarnya adalah kewajiban rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa.[7] Rakyat pribumi menerjemahkan cultuur stelsel dengan sebutan tanam paksa. Hal itu disebabkan pelaksanaan proyek penanaman dilakukan dengan cara-cara paksa.[8] Pelanggarnya dapat dikenakan hukuman fisik yang amat berat. Jenis-jenis tanaman yang wajib ditanam, yaitu tebu, nila, teh, tembakau, kayu manis, kapas, merica (lada), dan kopi.
Menurut van den Bosch, cultuur stelsel didasarkan atas hukum adat yang menyatakan bahwa barang siapa berkuasa di suatu daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Karena raja-raja di Indonesia sudah takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil tanahnya kepada pemerintah Belanda.
Pada dasarnya, sistem tanam paksa ini berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktikan oleh VOC dahulu.  Raffles telah  mencoba mendorong para petani di Jawa untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor mereka dengan jalan membebaskan mereka dari penyerahan-penyerahan wajib dan dengan memberikan mereka perangsang-perangsang positif, yaitu setelah mereka melunasi kewajiban pembayaran sewa tanah sehingga mereka dapat memperoleh hasil bersih dari penjualan hasil-hasil pertanian mereka sendiri.[9]
·         Aturan-Aturan Tanam Paksa
Ketentuan-ketentuan pokok sistem tanam paksa terdapat dalam Staatsblad (lembaran Negara) tahun 1834 No.22, beberapa tahun setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa. Bunyi dari ketentuan tersebut adalah sebagai berikut.[10]
·         Persetujuan-persetujuan agar penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor yang dapat dijual di Eropa.
·         Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki.
·         Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi.
·         Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak tanah.
·         Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, kelebihan itu diberikan kepada penduduk.
·         Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan petani akan menjadi tanggungan pemerintah.
·         Bagi yang tidak memiliki tanhan akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun.
·         Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropaa bertindak sebagai pengawas secara umum.
Ketentuan-ketentuan tersebut dalam praktiknya banyak menyimpang sehingga rakyat banyak dirugikan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain berikut ini.
·         Dilakukan dengan cara-cara paksaan
·         Luas tanah harus disediakan penduduk melebihi ketentuan
·         Pengerjaannya tanaman ekspor jauh melebihi pengerjaan tanaman padi
·         Pajak tanah masih tetap dikenakan pada tanah yang digunakan untuk tanam paksa
·         Petani tidak mendapat kelebihan hasil panen
·         Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani
·         Buruh dijadikan tenaga paksaan
Penyimpangan itu disebabkan oleh adanya culture proceten yang diberlakukan pemerintah Belanda. Culture procentan adalah hadiah / persen bagi setiap pegawai tanam paksa yang dapat menyetorkan hasil tanaman melebihi ketentuan yang telah ditetapkan. Hal tersebut mengakibatkan para pegawai tanam paksa berusaha memaksa dan memeras rakyat.
Pelaksanaan sistem tanam paksa menimbulkan akibat yaitu :
·         Bagi Indonesia , menimbulkan penderitaan ,kelaparan,kemiskinan bagi rakyat Indonesia terutama di daerah Demak, Grobogan, dan Cirebon.
·         Bagi Belanda, sistem tanam paksa menyebabkan pemerintahan Belanda mengalami surplus keuangan.
Pelaksanaan sistem tanam yang menimbulkan penderitaan rakyat Indonesia mendapat kritik keras dari tokoh liberal dan humanis Belanda. Tokoh-tokoh penentang sistem tanam paksa adalah :
1.      Douwes Dekker dengan nama samaran Empu Tatuli yang melukiskan penderitaan rakyat Indonesia akibat sistem tanam paksa.
2.      Frans Van der Putte yang menentang sistem tanam paksa dengan menulis buku berjudul Suiker Contraction. Bersama dengan Baron Van Hoevel berjuang menghapus sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.
Adanya kritikan-kritikan terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa akhirnya mendorong pemerintahan Belanda menghapus sistem tanam paksa secara resmi tahun 1870.[11]
b.      Pelaksanaan Politik Pintu Terbuka dan Ekonomi Liberal
Sistem tanam paksa secara resmi dihapus tahun 1870 sejak saat itu perekonomian Hindia-Belanda memasuki zaman liberal. Politik ekonomi liberal dilatar belakangi oleh karena pelaksanaan sistem tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat pribumi, namun memberikan keuntungan besar bagi pemerintahan Belanda.[12]
Berkembangnya paham liberalisme sebagai akibat dari revolusi Prancis dan revolusi Industri sehingga sistem tanam paksa tidak sesuai lagi untuk dilanjutkan. Kemenangan partai liberal dalam  parlemen Belanda yang mendesak pemerintah Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di negeri jajahannya (Indonesia), agar para pengusaha Belanda dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
Menurut kaum liberal kehidupan perekonomian dan pihak swasta bebas melakukan tindakan ekonomi. Politik Pintu Terbuka di tandai dengan keluarnya undang-undang Agraria (Agrasche Wet) tahun 1870. [13]Tujuan dikeluarkan undang-undang Agraria adalah :
·         Memberikan kesempatan kepada para pengusaha swasta asing untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia.
·         Melindungi hak milik petani pribumi atas tanahnya dari penguasaan orang asing.
Pokok-pokok aturan dalam Undang-undang Agraria adalah :
·         Gubernur Jendral tidak boleh menjual tanah pemerintah,tanah tersebut dapat disewakan paling lama 75 tahun.
·         Gubernur Jendral tidak boleh mengambil tanah yang dibuka rakyat
·         Tanah milik pemerintah antara lain hutan yang belum dibuka,tanah yang berada diluar wilayah milik desa,tanah milik adat.
·         Tanah milik penduduk antara lain semua sawah,ladang dan sejenisnya yang dimiliki oleh penduduk desa,boleh disewa pihak swasta jangka panjang waktu 5 sampai 20 tahun.
Dengan adanya politik pintu terbuka dan ekonomi liberal tersebut berarti bangsa Indonesia terbuka untuk penanaman modal asing. Traktat Sumatra pada tahun 1871 yang memberilan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilahanya ke Aceh. Sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat menanamkan modalnya di Indonesia. Politik pintu terbuka di Indonesia menimbulkan akibat atau dampak yang luas antara lain :
·         Tanah perkebunan semakin tambah luas
·         Rakyat terutama dipulau Jawa hidup dalam kemiskinan dan penderitaan
·         Usaha kerajinan rakyat terdesak oleh barang-barang impor
·         Rakyat pedesaan mulai mengenal arti pentingnya peredaraan uang.
·         Modal swasta asing mulai ditanam di Indonesia


[1] Kantaprawira, Rusadi, Sistem Poloitik Indonesia: Suatu Model Pengantar, Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1999. Hlm 22
[2] Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 55-56
[3] Kantaprawira, Rusadi, Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar, Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1999. Hlm 23
[4] Muttaqiena, Abida. Analisa Sejarah Perekonomian Indonesia. Semarang: 2006. Hlm 30
[5] Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 352
[6] Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 353
[7] Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 354
[8] Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 347
[9] Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm  348
[10] Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 354-355
[11] Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 373
[12] Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 374
[13] Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 375

TOKOH TOKOH TANZIMAT

TANZIMAT DI TURKI
oleh Laila Kholidah

Gerakan Tanzimat melahirkan sejumlah tokoh pembaru dalam bidang pemerintahan, hokum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan dan sebagainya. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Mustafa Rasyid Pasya (1800-1858), Mehmet Sadik Rifat Pasya (1807-1856), Mustafa Sami’ (Wafat 1855), Ali Pasya (1815-1871), dan Fuad Pasya (1815-1869).

·         Mustafa Rasyid Pasya (1800-1858)
Pemuka utama dari pembaharuan di zaman Tanzimat ialah Mustafa Rasyid Pasya, ia lahir di Istanbul pada tahun 1800. Ia memperoleh pendidikan di Madrasah kemudian menjadi pegawai pemerintah. Mustafa Rasyid Pasya pada tahun 1834 diangkat menjadi Duta Besar untuk daerah Perancis. Selain itu, ia juga pernah diangkat menjadi Duta Besar Kerajaan Utsmani di beberapa negara lain. Oleh karena itu, ia merekam faktor-faktor kemajuan di negara-negara Barat. Setelah itu ia dipanggil pulang untuk menjadi Menteri Luar Negeri dan pada akhirnya ia diangkat menjadi perdana Menteri. Usaha pembaharuannya yang terpenting ialah sentralisasi pemerintahan dan modernisasi angkatan bersenjata pada tahun 1839.
Lihat juga : KELUARGA VERSI ARAB

TANZIMAT DI TURKI

TANZIMAT DI TURKI
oleh Laila Kholidah

Awal Munculnya Tanzimat

Pada masa itu, ekspansi Barat mulai melanda dunia Islam. Setelah mengincar daerah-daerah yang berada di pinggiran wilayah Islam, mereka juga mulai mengarahkan sasarannya ke pusat kekuasaan Islam. Sebagai kekuatan utama Islma, Turki Utsmani pun termasuk wilayah sasaran Barat. Turki mulai kehilangan pengaruh dan kekuasaannya di Balkan dan Eropa Timur. Selain itu, Serbia, Yunani, Moldavia, dan Rumania berhasil mendapatkan hak otonomi penuh untuk mengatur wilayahnya sendiri. Setelah itu, Turki Utsmani kehilangan kontrolnya atas wilayah Afrika Utara. Pada Tahun 1831, Aljazair direbut oleh Perancis, kemudian Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali melepaskan diri dari awal abad ke 19. Kemunduran demi kemundeuran dialami oleh Turki Utsmani melahirkan sebuah gerakan perubahan yang kemudian bernama Tanzimat.[1]
Kata Tanzimat berasal dari bahasa arab tanzhimat yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki.[2] Secara terminologi tanzimat adalah suatu usaha pembaharuan yang mengatur, menyusun, serta memperbaiki struktur organisasi pemerintahan, sosial, ekonomi dan kebudayaan, Dari segi sejarah, ini dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19, yang dalam artian disini mengembalikan kesultanan Turki seperti semula yang ditakuti dan disegani baik lawan maupun kawan, padanan kata tanzimat sendiri dalam bahasa Inggris yaitu reform yang bermakna “gerakan pembaharuan”[3] istilah tanzimat berkonotasi pada penataan kembali struktur kemasyarakatan dan kenegaraan Turki Usmani agar menjadi kembali atau menjadi lebih baik, tanpa mengadakan perubahan, penggantian atau penghapusan bagian – bagian yang fundamental dari struktur kemasyarakatan dan kenegaraanya itu sendiri. Namun dalam prakteknya, gerakan tanzimat ini juga menyentuh hal-hal yang mendasar seperti yang terlihat dalam penggantian elemen-elemen fundamental keislaman dengan elemen-elemen yang berasal dari barat.
Gerakan pembaharuan ini bergerak di tiga bidang utama, yaitu sosial, politik, dan kemiliteran, dengan tujuan utama untuk mengembalikan kekuasaan dan pengaruh kesultanan Turki Usmani. Tujuan tersebut kemudian diimplementasikan dengan penggantian sistem-sistem tradisional milik Turki Usmani dengan sistem baru yang berasal dari negara-negara Eropa. Melalui sentralisasi pemerintahan, reformasi sistem administrasi dan kemiliteran, serta sekularisasi sistem sosial budaya,[4] gerakan pembaharuan ini membawa kesultanan Turki Usmani menuju sebuah wajah baru yang lebih modern, dan liberal. Namun, krisis multidimensi yang menjadi sasaran utama perubahan tidak berhasil diperbaiki oleh gerakan pembaharuan ini. Tanzimat tidak hanya terjadi sekali, melainkan gerakan yang terjadi secara sambung-menyambung mulai dari masa Sultan Selim III.[5]


[1] Antonio. 2012. Ensiklopedia Peradaban Islam; Istambul, Vol. 7. Jakarta: Tazkia Publishing, hlm. 171-172.
[2]Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam. 1975. Jakarta: Bulan Bintang. Hal 97
[3] Echols, John. Kamus Inggris-Indonesia. 1976. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 473
[4] Andersen, Roy. Seibert, Robert. Wagner, Jon. Politics and Change in the Middle East: Souces of conflict and accomodation. 1982. USA: Englewood Cliffs. Hal. 61
[5] Jamil, Madya Fadlullah. Islam di Asia Barat Modern. 2000. Selangor: Thinker’s Librarys. Hal 124

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts