Pemerintahan Hindia-Belanda berupaya
menggunakan sistem pemerintahan desentralisasi untuk mengatur kekuasaan di
wilayah jajahannya. Pada dasarnya pemerintahan desentralisasi Hindia-Belanda
bertujuan untuk membuka kemungkinan diadakannya daerah-daerah yang memiliki
pemerintahan sendiri namun tetap memiliki tanggung jawab dan berada di bawah
pengawasan pemerintah pusat.
Pada awalnya gubernur jenderal yang
merupakan wakil ratu belanda memiliki kekuasaan yang sangat luas, sehingga
untuk melaksanakan tugasnya dibantu oleh organisasi-organisasi pemerintah yang
diisi oleh pejabat-pejabat baik pusat maupun daerah. Namun kekuasaan yang tak
terbatas menuai protes dari komunitas-komunitas pengusaha Belanda, karena
mereka juga ingin menyuarakan pendapatnya dalam menentukan kebijakan.
Untuk mengatasi hal itu diusulkan untuk
membentuk gewestelijk raden, yaitu suatu dewan dimana warga eropa dapat
berbicara untuk menyuarakan isi hatinya. Inilah yang mengawali terbentuknya
decentralisatie wet, kurang lebih pasalnya berisi tentang pemerintah di
daerah-daerah jajahan kerajaan Belanda.
A. Kebijakan Politik
Sebagai bangsa
pendatang yang ingin menguasai wilayah nusantara, baik secara politik maupun
ekonomi, pemerintah kolonial menyadari bahwa keberadaannya tidak selalu aman.
untuk itu pemerintah kolonial menjalin hubungan politik dengan pemerintah
kerajaan yang masih disegani, hal ini bertujuan untuk menanamkan pengaruh
politiknya terhadap elite politik kerajaan.
Terjadi dualisme sistem
birokrasi pemerintahan pada saat pemerintahan kolonial berlangsung, yaitu mulai
diperkenalkannya sistem administrasi kolonial (Binnenlandsche Bestuur) yang
memperkenalkan sistem administrasi dan birokrasi modern yang puncaknya pada
ratu Belanda dan sistem administrasi tradisional (inheemche Bestuur) masih
dipertahankan oleh pemerintah kolonial.[1]
Dalam struktur pemerintahan
di nusantara, Belanda menempatkan Gubernur Jenderal yang dibantu oleh gubernur
dan residen. Gubernur merupakan wakil pemerintah pusat yang berkedudukan di Batavia,
setingkat wilayah propinsi. Sedangkan untuk tingkat kabupaten terdapat asisen residen
dan pengawas (Controleur). keberadaan asisten residen diangkat oleh gubernur
jenderal untuk mengawasi bupati dan wedana dalam menjalankan pemerintahan
sehari-hari. Pengawasan dari raa hanya ditunjukkan pada saat-saat tertentu,
seperti pengiriman upeti kepada raja. bupati tidak memiliki kekuasaan yang
otonom lagi, akan tetapi selalu mendapat kontrol dari pengawas yang ditunjuk
pemerintah pusat. perubahan birokrasi pemerintahan tersebut mendorong Belanda
untuk mengadakan perubahan hak pemakaian tanah.[2]
Struktur administrasi
pemerintah Hindia Belanda di Indonesia sebagai berikut. gubernur jenderal
memegang kekuasaan tertinggi sebagai wakil dari Ratu Belanda yang berkedudukan
di propinsi. dikabupaten diperintah oleh gubernur, sub kabupaten oleh residen,
dibawahnya ada asisten residen yang mengawasi para patih dan bupati, dibawahnya
ada pengawas yang bertugas mengawasi wedana dan asisten wedana.[3]
Selama pemerintah
HIndia Belanda memerintah wilayah Nusantara, terjadi pergantian kepepimpinan
antara lain :
a) Pemerintahan pada Masa Daendels
Setelah VOC bubar,Herman Wiiliam Daendels
menjadi Gubernur Jenderal di Indonesia,dengan tugas pokoknya,antara lain :
·
Mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris
·
Mengatur pemerintahan di Indonesia
Untuk
menjalankan tugas-tugasnya Daendels melakukan beberapa tindakan,antara lain
sebagai berikut :
·
Membentuk pasukan dari orang-orang Indonesia
·
Mendirikan pabrik senjata di Semarang dan
Surabaya.
·
Membangun pangkalan armada di Merak dan Ujung
kulon.
·
Mendirikan benteng-benteng pertahanan.
·
Membangun Jalan Raya Anyer- Panarukan.
Beberapa cara
yang di lakukan Daendels untuk mendapatkan dana agar dapat menjalankan tugasnya
antara lain :
·
Contingenten : mewajibkan penduduk untuk
menyerahkan sebagian hasil buminya sebagai pajak.
·
Verplichte
Leverentie : mewajibkan penduduk menjual hasil buminya kepada
pemerintahan Belanda dengan harga yang di tentukan.
·
Menjual tanah negara kepada pihak swasta.
·
Pringer Stelsel : mewajibkan penduduk priangan
untuk menanam kopi yang hasilnya di serahkan kepada pemerintahan Belanda.[4]
Pemerintahan
Daendels di Indonesia menimbulkan penderitaan rakyat karena Daendels bertindak
kejam terhadap rakyat. Daendels mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga rakyat
Indonesia yang menimbulkan kebencian rakyat. Selain itu Daendels melakukan
kesalahan dengan menjual tanah pemerintahan kepada para pengusaha swasta.
Akibatnya pada tahun 1811 Daendels di tarik kembali ke Belanda dan di gantikan
oleh Janssens.
b)
Pemerintahan Pada
Masa Jassens
Gubernur Jendral Janssens ternyata seorang
Gubernur Jendral yang lemah,buktinya ketika Inggris menyerang Janssens terpaksa
harus menyerah dan menandatangani perjanjian Kapitulasi Tuntang 17 Desember
1811.
Isi perjanjian Kapitulasi Tuntang adalah :
1)
Seluruh militer Belanda menjadi tawanan Inggris.
2)
Utang pemerintahan Belanda tidak di akui
Inggris.
3)
Indonesia harus diserahkan kepada Inggris.
Kekalahan
Janssens disebabkan oleh :
·
Tidak terjalinnya hubungan kerjasama dengan
raja-raja di Indonesia.
·
Angkatan perang warisan Daendels kurang kuat.
·
Janssens kurang cakap memimpin pemerintahan
c) Pemerintahan pada Masa Raffles
Dengan penandatangan Kapitulasi Tuntang tanggal
17 Desember 1811,Belanda harus menyerahkan Indonesia kepada Inggris di bawah
pimpinan Stamoford Raffles yang berkedudukan di Batavia. Raffles
menerapkan kebijakan-kebijakan antara lain :
·
Membagi pulau Jawa menjadi 16 karesidenan.
·
Melarang perdagangan budak
·
Menghapus segala bentuk penyerahan wajib semasa
Daendels
·
Menghapus peran Bupati sebagai pemungut pajak
·
Memberlakukan sistem sewa tanah (Landrent)
Akan tetapi
sistem pajak sewa tanah (Land rent) pada masa Raffles mengalami kegagalan,sebab
:
·
Sulit menentukan jumlah pajak yang harus di
bayar
·
Tidak ada dukungan dari para Bupati
·
Pajak sewa tanah harus dibayar dengan
uang,padahal rakyat belum mengenal sistem peredaran uang.[5]
Pemerintahan
Raffles berakhir tahun 1816 dikarenakan berdasar perjanjian London yang di
tandatangani Inggris dan Belanda tahun 1814, Inggris harus menyerahkan kembali
tanah jajahan yang di rebut dari Belanda termasuk Indonesia. Pada tanggal 19
Agustus 1816 Inggris di wakili John Fendell dan pihak Belanda di wakili oleh
Boyskes,Elout,dan Van Der Cappelen. Dalam pemerintahannya yang singkat Raffles juga
berjasa,yaitu :
·
Menyusun buku History of Java
·
Menemukan Bunga Raffesi
·
Merintis terbentuknya Kebun Raya Bogor.
B. Kebijakan Ekonomi
Tahun
1830 pemerintah Hindia Belanda megangkat gubernur jenderal baru untuk Indonesia,
yaitu Johannes van den Bosch, yang diserahi tugas utama meningkatkan produksi
tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah berlangsung. Pemerintahan
Hindia Belanda mengalami kesulitan keuangan yang disebabkan oleh :
·
Banyaknya
hutang luar negeri yang di tanggung pemerintahan Belanda.
·
Banyaknya
biaya yang dikeluarkan pemerintahan Belanda untuk perang melawan rakyat
Indonesia dan pemberontakan rakyat Belgia yang ingin memerdekaan diri dari
Belanda.
Van Den Bosch atas inisiatif sendiri memberlakukan
Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa mulai tahun 1836.[6]
a. Cultuurstelsel
Istilah cultuur stelsel sebenarnya berarti
sistem tanaman. Terjemahannya dalam bahasa inggris adalah culture system atau
cultivation system. Pengertian dari cultuur stelsel sebenarnya adalah kewajiban
rakyat (Jawa) untuk menanam tanaman ekspor yang laku dijual di Eropa.[7]
Rakyat pribumi menerjemahkan cultuur stelsel dengan sebutan tanam paksa. Hal
itu disebabkan pelaksanaan proyek penanaman dilakukan dengan cara-cara paksa.[8]
Pelanggarnya dapat dikenakan hukuman fisik yang amat berat. Jenis-jenis tanaman
yang wajib ditanam, yaitu tebu, nila, teh, tembakau, kayu manis, kapas, merica
(lada), dan kopi.
Menurut van den Bosch, cultuur stelsel
didasarkan atas hukum adat yang menyatakan bahwa barang siapa berkuasa di suatu
daerah, ia memiliki tanah dan penduduknya. Karena raja-raja di Indonesia sudah
takluk kepada Belanda, pemerintah Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti
raja-raja tersebut. Oleh karena itu, penduduk harus menyerahkan sebagian hasil
tanahnya kepada pemerintah Belanda.
Pada
dasarnya, sistem tanam paksa ini berarti pemulihan sistem eksploitasi berupa
penyerahan-penyerahan wajib yang pernah dipraktikan oleh VOC dahulu. Raffles telah mencoba mendorong para petani di Jawa untuk
meningkatkan produksi tanaman ekspor mereka dengan jalan membebaskan mereka
dari penyerahan-penyerahan wajib dan dengan memberikan mereka
perangsang-perangsang positif, yaitu setelah mereka melunasi kewajiban
pembayaran sewa tanah sehingga mereka dapat memperoleh hasil bersih dari
penjualan hasil-hasil pertanian mereka sendiri.[9]
·
Aturan-Aturan Tanam Paksa
Ketentuan-ketentuan pokok sistem tanam
paksa terdapat dalam Staatsblad (lembaran Negara) tahun 1834 No.22, beberapa
tahun setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa. Bunyi dari ketentuan tersebut
adalah sebagai berikut.[10]
·
Persetujuan-persetujuan agar penduduk
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor yang dapat
dijual di Eropa.
·
Tanah pertanian yang disediakan penduduk
untuk tujuan tersebut tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang
dimiliki.
·
Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam
tanaman tidak boleh melebihi pekerjaan untuk menanam padi.
·
Tanah yang disediakan penduduk tersebut
bebas dari pajak tanah.
·
Hasil dari tanaman tersebut diserahkan
kepada Pemerintah Hindia Belanda. Jika harganya ditaksir melebihi pajak tanah
yang harus dibayar rakyat, kelebihan itu diberikan kepada penduduk.
·
Kegagalan panen yang bukan karena kesalahan
petani akan menjadi tanggungan pemerintah.
·
Bagi yang tidak memiliki tanhan akan
dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari
setiap tahun.
·
Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada
pemimpin-pemimpin pribumi. Pegawai-pegawai Eropaa bertindak sebagai pengawas
secara umum.
Ketentuan-ketentuan tersebut dalam praktiknya banyak menyimpang sehingga
rakyat banyak dirugikan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain
berikut ini.
·
Dilakukan
dengan cara-cara paksaan
·
Luas
tanah harus disediakan penduduk melebihi ketentuan
·
Pengerjaannya
tanaman ekspor jauh melebihi pengerjaan tanaman padi
·
Pajak
tanah masih tetap dikenakan pada tanah yang digunakan untuk tanam paksa
·
Petani
tidak mendapat kelebihan hasil panen
·
Kegagalan
panen menjadi tanggung jawab petani
·
Buruh
dijadikan tenaga paksaan
Penyimpangan itu disebabkan oleh adanya culture
proceten yang diberlakukan pemerintah Belanda. Culture procentan adalah hadiah
/ persen bagi setiap pegawai tanam paksa yang dapat menyetorkan hasil tanaman
melebihi ketentuan yang telah ditetapkan. Hal tersebut
mengakibatkan para pegawai tanam paksa berusaha memaksa dan memeras rakyat.
Pelaksanaan sistem tanam paksa menimbulkan
akibat yaitu :
·
Bagi
Indonesia , menimbulkan penderitaan ,kelaparan,kemiskinan bagi rakyat Indonesia
terutama di daerah Demak, Grobogan, dan Cirebon.
·
Bagi
Belanda, sistem tanam paksa menyebabkan pemerintahan Belanda mengalami surplus
keuangan.
Pelaksanaan sistem tanam yang menimbulkan
penderitaan rakyat Indonesia mendapat kritik keras dari tokoh liberal dan
humanis Belanda. Tokoh-tokoh penentang sistem tanam paksa adalah :
1.
Douwes
Dekker dengan nama samaran Empu Tatuli yang melukiskan penderitaan rakyat
Indonesia akibat sistem tanam paksa.
2.
Frans
Van der Putte yang menentang sistem tanam paksa dengan menulis buku berjudul
Suiker Contraction. Bersama dengan Baron Van Hoevel berjuang menghapus sistem
tanam paksa melalui parlemen Belanda.
Adanya kritikan-kritikan terhadap pelaksanaan
sistem tanam paksa akhirnya mendorong pemerintahan Belanda menghapus sistem
tanam paksa secara resmi tahun 1870.[11]
b.
Pelaksanaan
Politik Pintu Terbuka dan Ekonomi Liberal
Sistem
tanam paksa secara resmi dihapus tahun 1870 sejak saat itu perekonomian
Hindia-Belanda memasuki zaman liberal. Politik ekonomi liberal dilatar belakangi
oleh karena pelaksanaan sistem tanam paksa telah menimbulkan penderitaan rakyat
pribumi, namun memberikan keuntungan besar bagi pemerintahan Belanda.[12]
Berkembangnya paham liberalisme sebagai
akibat dari revolusi Prancis dan revolusi Industri sehingga sistem tanam paksa
tidak sesuai lagi untuk dilanjutkan. Kemenangan partai liberal dalam parlemen Belanda yang mendesak pemerintah
Belanda menerapkan sistem ekonomi liberal di negeri jajahannya (Indonesia),
agar para pengusaha Belanda dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
Menurut
kaum liberal kehidupan perekonomian dan pihak swasta bebas melakukan tindakan
ekonomi. Politik Pintu Terbuka di tandai
dengan keluarnya undang-undang Agraria (Agrasche Wet) tahun 1870. [13]Tujuan dikeluarkan undang-undang Agraria adalah :
·
Memberikan
kesempatan kepada para pengusaha swasta asing untuk menyewa tanah dari rakyat
Indonesia.
·
Melindungi
hak milik petani pribumi atas tanahnya dari penguasaan orang asing.
Pokok-pokok
aturan dalam Undang-undang Agraria adalah :
·
Gubernur
Jendral tidak boleh menjual tanah pemerintah,tanah tersebut dapat disewakan
paling lama 75 tahun.
·
Gubernur
Jendral tidak boleh mengambil tanah yang dibuka rakyat
·
Tanah
milik pemerintah antara lain hutan yang belum dibuka,tanah yang berada diluar
wilayah milik desa,tanah milik adat.
·
Tanah
milik penduduk antara lain semua sawah,ladang dan sejenisnya yang dimiliki oleh
penduduk desa,boleh disewa pihak swasta jangka panjang waktu 5 sampai 20 tahun.
Dengan adanya politik pintu terbuka dan ekonomi liberal tersebut berarti bangsa Indonesia terbuka untuk penanaman modal
asing. Traktat Sumatra pada
tahun 1871 yang memberilan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilahanya ke
Aceh. Sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda menerapkan sistem ekonomi
liberal di Indonesia agar pengusaha Inggris dapat menanamkan modalnya di
Indonesia. Politik pintu terbuka di Indonesia menimbulkan akibat atau dampak
yang luas antara lain :
·
Tanah
perkebunan semakin tambah luas
·
Rakyat
terutama dipulau Jawa hidup dalam kemiskinan dan penderitaan
·
Usaha
kerajinan rakyat terdesak oleh barang-barang impor
·
Rakyat
pedesaan mulai mengenal arti pentingnya peredaraan uang.
·
Modal
swasta asing mulai ditanam di Indonesia
[1] Kantaprawira,
Rusadi, Sistem Poloitik Indonesia: Suatu Model Pengantar, Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1999. Hlm 22
[2] Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV cet.2 Edisi Pemutakhiran,
Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Hlm 55-56
[3] Kantaprawira,
Rusadi, Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar, Bandung: Sinar
Baru Algensindo. 1999. Hlm 23
[4] Muttaqiena,
Abida. Analisa Sejarah Perekonomian Indonesia. Semarang: 2006. Hlm 30
[5] Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 352
[6] Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 353
[7] Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 354
[8] Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 347
[9] Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm
348
[11] Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 373
[12] Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 374
[13] Notosusanto,
Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Hlm 375