September 12, 2015

Tugas I : review buku Philosophy Basic Readings chapter the value of philosophy



Tugas I : review buku Philosophy Basic Readings chapter the value of philosophy
4
The Value of Philosophy
Bertrand Russel
Filsafat merupakan salah satu ilmu yang mudah diremehkan bagi kebanyakan orang. Bertrand Russell (1872 -1970) menanggapi pernyataan tersebut dengan pendapatnya yang kuat. Filsafat menyediakan jawaban yang pasti atas setiap pertanyaan yang diajukan, pertanyaan yang diajukan bersifat  mendalam. Filsafat memiliki nilai yang menghilangkan rasa kecemasan dalam keseharian dan membawa kita menuju kehidupan baru  yang lebih perspektif.
Permasalahan yang dibahas dalam filsafat lebih mementingkan nilai apa  yang harus dipelajari dan alasan untuk mempelajarinya. Manusia yang dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan kepraktisan cenderung meragukan filsafat. Pandangan filsafat merupakan hasil pemikiran dari kesalahan yang dilakukan dalam kehidupan dan dari kesalahan tersebut digunakan untuk mencapai kebaikan. Pencapaian tersebut menghasilkan ilmu eksata, salah satunya ilmu fisika. Ilmu fisika banyak memberikan manfaat dan pengaruh dalam kehidupan manusia.
Utilitas bukanlah bagian filsafat. Jika studi filsafat memiliki nilai yang lebih terhadap mahasiswa filsafat daripada orang awam, itu secara tidak langsung terlihat dalam kehidupannya. Jadi dimana saja kita berada, kita harus mencari nilai filsafat tersebut dan menjadi tujuan utama. Namun jika kita gagal dalam pencarian nilai filsafat, kita harus membersihkan pikiran kita dari prasangka cemas yang disebut manusia “praktis”. Manusia “praktis” sering digunakan untuk menyebut manusia yang memenuhi kebutuhan badannya saja tanpa menyadari kebutuhan pikirannya. Jika semua orang berpikir untuk memenuhi kebutuhan pikirannya maka kemiskinan dan penyakit akan berkurang. Kebutuhan badan sama pentingnya dengan kebutuhan pikiran. Hal ini secara khusus terdapat nilai filsafat dalam kebutuhan pikiran.
Filsafat dapat ditemukan, dan hanya mereka yang tidak peduli terhadap nilai filsafat yang meyakini bahwa mempelajari filsafat tidak membuang-buang waktu. Seperti halnya ilmu lain, filsafat digunakan untuk mendapat pengetahuan. Pengetahuan tersebut digunakan untuk memberikan kesatuan dalam sistem ilmu serta pemikiran kritis terhadap keyakinan kita. Namun filsafat memiliki ukuran yang luas dalam keberhasilan menentukan jawaban yang pasti. Jika kita meminta pendapat kepada salah satu ahli ilmu, maka ilmu nya lah yang dianggap paling benar. Jika kita bertanya kepada filosof dan filosof itu jujur, maka jawabannya adalah bahwa ilmu ynag dia pelajari belum mencapai apa yang sudah dicapai di ilmu pengetahuan yang lain. Hal  ini menjelaskan bahwa filsafat menjadi bagian terpisah dari ilmu pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah memiliki jawaban yang pasti, maka akan dimasukkan kedalam ilmu pengetahuan yang bersangkutan, sedangkan segala sesuatu yang belum memiliki jawaban pasti maka akan di tempatkan di filsafat. Sebagian filsuf menyatakan bahwa filsafat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mendasar. Sehinngga nilai filsafat tidak tergantung dengan suatu badan ilmu pengetahuan.
Nilai filsafat dalam kenyataannya harus dicari secara luas. Manusia yang hidup tanpa filsafat akan terpenjara dari akal sehatnya, lingkungannya dan keyakinannya yang tumbuh tanpa adanya kepedulian sesamanya. Sebaliknya jika kita sudah menemukan nilai filsafat tersebut maka kehidupan kita akan terbuka dan mempertanyakan apa yang kita ragukan selama ini. Dengan kita berfilsafat kita disuguhkan dengan pencarian jawaban yang  pasti. Nilai-nilai filsafat memberikan kita kebebasan dalam berpikir dan perenungan terhadap objek yang ada. Perenungan dalam filsafat membagi dunia menjadi dua sisi, baik dan buruk , teman dan musuh. Semua pengetahuan yang ada di dunia untuk pengembangan diri manusia, jika manusia memulai segala sesuatunya dengan batasan yang luas maka manusia akan mendapat pencapaian yang besar. Pengetahuan tidak terikat dengan suatu badan, didalam pengetahuan sudah termasuk keyakinan dan kebiasaan.
Perenungan dalam filsafat yang benar, sebaliknya, menemukan kepuasan dalam objek yang direnungkan oleh subjek. Hal ini tergantung dengan pada kebiasaan, kepentingan pribadi, atau keinginan, mendistorsi objek dan merusak para intelektual. Dengan demikian yang membuat penghalang antara subyek dengan objek, menjadikan seorang intelek merasa terpenjara. Intelek yang bebas bisa melihat segala sesuatu dengan bebas tanpa ada rasa takut dan cemas apa yang dia lihat. Intelek bebas memberikan nilai lebih terhadap pengetahuan yang bersifat abstrak dan umum daripada pengetahuan yang ia terima dengan alat indranya.
Pikiran yang sudah terbiasa dengan kebebasan dan ketidakberpihakan akan menjaga kebebasan tersebut lewat tindakan dan emosi. Ketidakberpihakan merupakan wujud untuk mencari kebenaran, dan memiliki kesamaan tindakan dalam keadilan, sedangkan emosi adalah wujud untuk menilai bahwa setiap manusia itu berguna. Perenungan dalam filsafat memberikan gambaran yang luas terhadap objek yang kita renungkan.
Filsafat untuk dipelajari bukan untuk mencari jawaban yang pasti, seperti peraturannya, tidak ada jawaban yang pasti namun mempertanyakan pertanyaan itu sendiri. Hal ini memperluas pemahan kita terhadap apa yang mungkin terjadi, memperkaya daya imaginasi kita serta mengurangi dogmatis dan menutup spekulasi yang ada. Perenungan atas alam semesta akan memberikan pemikiran yang luas.
Tanggapan :
Apa yang diuraikan oleh Bertrand Russel masuk akal, ketika manusia mempelajari filsafat, manusia bukan untuk mencari jawaban pasti, tapi untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan untuk mencapai nilai filsafat itu sendiri. Nilai filsafat tersebut dapat dicapai apabila seseorang membebaskan pikirannya dari rasa takut, cemas dan dogma dengan cara perenungan. Seseorang yang hidupnya tidak berfilsafat, maka akan terpenjara dari akal sehat, lingkungan dan keyakinannya. Sedangkan orang yang sudah berfilsafat maka akan menemukan jawaban atas apa yang ia pertanyakan selama ini dan mencapai nilai filsafat itu sendiri. Jika setiap manusia yang ada di dunia ini berfilsafat, maka tidak ada yang namanya peperangan, kemiskinan serta kekerasan seperti yang terjadi seperti sekarang.

PFPM : Tugas 2 : Tuhan dalam pemikiran Ibnu Sina



PFPM : Tugas 2
Tuhan dalam pemikiran Ibnu Sina
Pengantar
Tuhan merupakan eksistensi yang absolut diantara eksistensi yang nisbi, semua konsep Tuhan telah tertera dalam al-qur’an dari segi metafisik, alam dan asma’ serta sifat. Namun perkembangan, pengaruh zaman dan peradaban Islam tidak menutup wawasan intelektual Islam yang aktif dan produktif dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu pra muslim khususnya filsafat yang didasari atas konsep tuhan.
Tetapi pandangan filosof Yunani terutama gagasan Aristoteles terhadap tuhan yang abstrak telah di tolelir oleh beberapa filosof muslim seperti Ibnu Sina bahwasannya alam dan realitasnya merupakan kehendak tuhan yang menyatu dalam dzat dan sifat.
Sebetulnya, atas dasar apakah Ibnu Sina memfilter konsep Tuhan menurut Aristoteles yang kemudian ia modifikasi dalam Islam? Dan benarkah pernyataan tersebut ? Oleh sebab itu pada pembahasan ini saya akan menguraikan secara ringkas tentang biografi Ibnu Sina serta pandangannya terhadap konsep tuhan yang di pengaruhi oleh filosof Yunani khususnya Aristoteles.
Semoga dengan pembahasan ini kita dapat mengambil kesimpulan yang bersifat afektif dalam mengkaji pemikiran filosof Islam terhadap konsep Tuhan.
Isi
Ibnu Sina hidup pada tahun 903-1037 masehi. Ibnu Sina berasal dari Bukhara. Ia menghabiskan masa kecilnya di Bukhara. Masa kecilnya dihabiskan dengan mempelajari buku Organon, buku elements karya Euclid, karya-karya Aritoteles dan juga buku Ptolomeus yang berjudul Almagest. Pada umur enam belas tahun, Ibnu Sina mempelajari buku Determining the Validity of books dan buku karya Aritoteles yang berjudul Metaphysics. Buku karya Aritoteles yang berjudul Metaphysics telah dibaca oleh Ibnu Sina sebanyak empat puluh kali, namun artinya tidak dapat diketahui. Buku karya Aritoteles tersebut baru bisa dipahaminya setahun kemudian setelah dia membaca salinan tulisan dari Al-Farabi yang berjudul On the Purpose of the Metaphysics yang dibelinya di bookstall seharga tiga dirham.
Di saat berumur tujuh belas tahun, Ibnu Sina membuat buku pertamanya, yang merupakan sebuah esai yang berjudul Compendium on the soul. Ibnu Sina menjelaskan mengenai bukunya pada karya tulis terakhirnya yang berjudul On the Rational Soul. Pada Bab kedelapan dari buku Compendium dengan judul ‘The Stages of the Human Soul from Inception to Perfection’, Ibnu Sina menjelaskan bahwa jenis makhluk rasional memiliki kecakapan yang disebut jiwa rasional, di mana lewat jiwa rasionalnya itu seseorang mampu mengkonsepkan hal-hal yang bisa dimengerti. Jiwa rasional tersebut bisa didapatkan dalam dua cara, salah satu caranya adalah dengan mendatangkan inspirasi, seperti kasus pada konsep ‘seluruhnya’ pasti lebih besar dari ‘sebagiannya’. Cara yang lain adalah melalui silogisme dan temuka (itu) saat ada yang menunjukkan, cara ini biasanya diperkenalkan melalui Logika, Fisika, Matematika dan Metafisika. Ibnu Sina menjelaskan lebih lanjut bahwa seseorang yang mengkuduskan orang lain bisa mengerti pengetahuan tanpa harus menjalani cara kedua.
Pada umur dua puluh tahun, Ibnu Sina menyeselesaikan tiga buku yang berjudul the Compilation atau philosophy for ‘Arudi, the Available and  the Valid dan Piety and Sin. Buku The Compilation menjelaskan  semua sains kecuali matematika, yaitu semua dalil-dalil Aritoteles. Buku The Available and  The Valid merupakan karya tulis mengenai filsafat yang terdiri atas dua puluh jilid dan buku Piety and Sin membahas mengenai Etika. Kedua buku tersebut The Available and  The Valid dan Piety and Sin dituliskan oleh Ibnu Sina khusus untuk temannya di Bukhara yang bernama Abu Bakr Al Baraqi.
Sebetulnya, masih banyak riwayat Ibnu Sina yang begitu cemerlang namun ajal telah menjemput beliau, pada tahun 1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Beliau wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah Filsafat Wujud.
Metafisika Ibnu Sina
Metafisika Ibnu Sina secara esensial berkenaan dengan ontologi terhadap wujud serta seluruh distingsi mengenainya itulah yang menempati peran sentral dalam spekulasi-spekulasi metafisikanya. Menurutnya hakekat sesuatu (reality of thing) tergantung pada eksistensinya dan pengetahuan atas sebuah obyek pada puncaknya adalah ontology yang tergantung pada rangkaian eksistensi universal yang menentukan seluruh atribut dan kualitasnya. Segala sesuatu dialam semesta (universe), berdasarkan kenyataan (exist), dimasukkan ke dalam wujud (being).
Tuhan sebagai wujud murni (pure being) merupakan Asal dan Pencipta segala sesuatu.Maka Tuhan lebih awal dari alam dan bersifat transenden. Ibnu Sina juga berpendapat, sesuatu yang being (wajib al-wujud bi-dhatihi ) ada pada diri Tuhan, tidak berdasarkan kekuatan lain dalam being maka ini merupakan pertanyaan yang salah dan tidak mungkin wujud melakukan tindakan dengan wujud yang lain. Jadi wujud Tuhan berdiri sendiri dalam dzat-Nya yang akan selalu eksis.
Begitu juga kajiannya, tentang eksistensi pada segala sesuatu tidak terlepas dari distingsi fundamental yang menerangkan kemungkinan dan kemustahilannya. Maka kapanpun orang berfikir eksistensi secara serta merta terdapat 2 aspek berbeda pada kerangka berfikirnya, yaitu : Esensi atau kuiditasnya.
Eksistensi. Misalnya, ketika seseorang memikirkan tentang kuda gagasan tentang kuda tersebut atau kuiditasnya, yang meliputi keadaan, warna dan bentuk yang membentuk sebuah esensi. Yang terkait erat dengan distingsi mendasar antara kuiditas dan eksistensi adalah pemilahan Ibnu Sina atas wujud (being) menjadi ” tidak mungkin” ( mumtani’), mungkin (mumkin) dan niscaya (wajib). Pemilah ini, yang diterima oleh para filosof muslim serta kaum skolastik latin, tidak terlihat dalam formulasi Aristoteles, tapi asli dari Ibnu Sina. Hakikatnya, Ibnu Sina mendasarkan seluruh filsafatnya pada distingsi diantara tiga pemilahan tersebut dan terdapat keterkaiatan yang dimiliki oleh kuiditas dan eksistensi dalam setiap hal dengan yang lain.
Pandangannya tentang wujud tuhan, merupakan wujud niscaya (wajib al-wujud), atau tuhan yang tidak bisa ”tidak-ada”, karena esensi dan wujud-Nya adalah hal yang sama. Wujud adalah esensi-Nya, dan Esensi adalah wujud-Nya yang memiliki self-subsistent. Sedangkan, semesta dan segala sesuatu yang ada didalamnya merupakan wujud mungkin dan secara metafisik tergantung kepada Wujud – Niscaya dan mungkin wujud-wujud tersebut terdiri dari dua macam:
1.      Wujud yang, sekalipun mungkin dalam dirinya sendiri, dijadikan niscaya oleh wujud Niscaya.
2.      Wujud yang sama sekali mungkin tanpa ada sifat niscaya yang diapsangkan padanya seperti malaikat yang abadi akibat abadi dari Tuhan.
Wujud abadi dan abadi menurut ibnu Sina adalah substansi atau aksidensi` sesuai dengan kategorinya yang dibagi menjadi tiga macam :
·         Intelek (‘aql) yang sepenuhnya terlepas dari materi dan potensialitas.
·         Jiwa (nafs) yang sekalipun terlepas dari materi tapi butuh pada tubuh untuk bertindak.
·         Tubuh (jism) yang bisa dibagi serta memiliki panjang lebar dan luas, karena itu mungkin elemen-elemen semesta ini terbagi menjadi tiga unsur tersebut.
Sifat Tuhan menurut Ibnu Sina
Menurut Ibnu Sina, "Perlu diperhatikan bahwa setiap pelaku yang apabila melakukan suatu perbuatan maka dia akan menjadi lebih baik atau mengerjakan sesuatu baginya lebih baik daripada tidak melakukannya, jika perbuatan itu tidak dilakukan dan dia tak menciptakan sesuatu itu maka secara riil dia akan kehilangan kebaikan dan kesempurnaan, yakni dia tak memiliki kesempurnaan tertentu dan untuk memperolehnya ia mesti berusaha. Maujud yang membutuhkan upaya untuk mencapai suatu kesempurnaan tak bisa dikategorikan sebagai Wâjibul Wujûd , karena maujud seperti itu adalah maujud yang tak sempurna dan maujud yang tak sempurna bukanlah Wâjibul Wujûd. Dengan demikian, hal-hal yang berkaitan dengan Wâjibul Wujûd dan perbuatan-perbuatan-Nya sama sekali tidak bisa berhubungan dengan pencapian dan perolehan segala bentuk kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan." 
Ibnu Sina juga mendefinisikan maujud sempurna yang sama sekali tak bergantung pada sesuatu yang lain dan lantas menentukan wujud tak sempurna yang bergantung pada yang lain. Poin ini merupakan mukadimah untuk menegaskan bahwa  tidak berupaya mencapai suatu tujuan tertentu dalam menciptaan alam. Menurut Ibnu Sina, suatu maujud bisa dikatakan yang Maha Kuat dan Kaya itu jika tidak bergantung pada selain dirinya dari tiga aspek:
1.      Dari sisi zat
2.      Dari sisi sifat hakiki
3.      Dari sisi kesempurnaan hakiki yang terkait dengan zat
Oleh karena itu, setiap maujud yang butuh dan bergantung kepada maujud lain dari dimensi zat, sifat hakiki, dan kesempurnaan (seperti bentuk, ilmu, kodrat, keindahan) ialah maujud yang tak sempurna, fakir, dan lemah. Sedangkan Wâjibul Wujûd merupakan sifat yang Esa pada tuhan dari sisi zat dan sifat-Nya sama sekali tidak mengandung kekurangan dan kelemahan. Maka sangat mustahil Tuhan melakukan sesuatu disebabkan oleh maujud-maujud yang rendah seperti manusia.
Emanasi, bagi kaum sufi, kemurnian tauhid mempunyai wujud dan semua yang lainnya tidak ada pada hakikatnya pada diri tuhan yang berhubungan dengan proses penciptaan alam, paham ini merupakan emanasi. Sementara kajian emanasi Ibnu Sina mengikuti kosmologi platonisme yang mendasar pada distingsi berusaha menunjukkan bagaimana yang banyak itu dilahirkan dari yang Satu (ex uno non fit nisi unum) atau inteleksi tuhanlah (akal pertama) penciptaan itu terjadi, yang pada saat bersamaan transenden dalam kaitannya dengan seluruh keragaman (multiplicity). Tapi oleh karena tujuan metafisika Ibnu Sina secara esensial adalah menampilakan sifat tergantung (contingent). Maka dalam emanasi tujuannya adalah untuk menggambarkan konsep kesinambungan yang ada antara Prinsip dan manifestasi-Nya. Sedangkan proses penciptaan, atau manifestasi, terkait erat dengan fungsi dan signifikan malaikat sebagai alat yang mewujudkan tindakan penciptaan.
Dengan menyandarkan pada pada skema Platonian tentang pancaran hirarkie malaikat berurutan, Ibnu Sina mulai menggambarkan proses penurunan Semesta bahwa dari Satu atau Kesatuan hanya mungkin melahirkan satu wujud (ex uno non fit nisi unum). Ibnu Sina juga menggunakan gagasan bahwa melalui inteleksilah penciptaan itu terjadi. Proses penciptaan dan inteleksi adalah sama, karena melalui kontemplasi tatanan realitas yang lebih tinggi itulah yang lebih bisa muncul. Kemudian dari Wujud Niscaya Tunggal- yang merupakansumber segala sesuatu – wujud tunggal tercipta sesuai dengan prinsip sebelumnya- yaitu akal pertama (First intellect/al-’Aql al-Awwal) yang disetarakan dengan malaikat muncullah akal yang kedua yaitu jiwa dan tumbuh akal langit pertama melalui kontemplasi akal pertama melahirkan akal ketiga, yaitu jiwa dan tubuh langit pertama. Lalu proses ini berlangsung hingga langit kesembilan dan melahirkan Akal kesepuluh, yaitu bulan Akal kesepuluh juga berfungsi sebagai pemberi cahaya kepada fikiran manusia. Dari sinilah substansi semesta tidak lagi memiliki kemurnian untuk melahirkan langit yang lain. Karena itu, dari kemungkinan kosmik yang tersisa dunia turun temurun dan berubah muncul. Ia juga berpendapat bahwa dari akal kesupuluhlah terpancar illuminasi dan penciptaan Tuhan.
Karena itulah emanasi Ibnu Sina pada dasarnya terkait dengan angelologi dan sangat mengikuti kosmologi Platonian. Menurutnya, konsepsi Islam tentang hubungan antara Tuhan dan Semesta selalu berusaha menunjukkan sifat tergantung seluruh tatanan ciptaan terhadap Sang Pencipta.
Kesimpulan
Bagaimanapun konsep tuhan yang di pengaruhi oleh filosof Yunani khusus Aristoteles, bahwa adalah bumi dan semesta alam merupakan pancaran dari akal pertama sampai akal ke- sepuluh, sedangkan wujud tuhan merupakan kesatuan dari dzat dan sifatnya tidak disekutukan oleh sifat-sifat serta tujuab-tujuan yang di pandang rendah seperti manusia. Sehingga tanpa disadari ia menyatakan hakekat ciptaan Tuhan pada alam dan seisinya ada dari yang telah ada bukan dari adam dan menafsirkan bahwa Allah tidak bertindak hanya berkehendak yang menunjukkan pada kevakuman
Daftar Pustaka
Fattahi, Husayn. 2011. Tawanan Benteng Lapis Tujuh – novel biografi Ibnu Sina. Jakarta. Zaman.
Freely, Jhon. 2011. Light from the East – How Islamic Science Helped Shape the Westren
World. London. I.B. Tauris & Co Ltd.
Jalaluddin. 1996. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional ; Gagasan dan Pemikiran, Bandung. Mizan.
Nasr, Sayyed Hossein. 2006. Tiga Mazdhab Utama Filsafat Islam. Yogyakarta. IRCiSoD.
Sudarsono, Drs, M.Si, 2004. Filsafat Islam . Jakarta. Rineka Cipta.

Libya dibawah kepepimpinan Idris Al Sanusi



Libya dibawah kepepimpinan Idris Al Sanusi

oleh Fakhri
Di antara beberapa negara Afrika Utara yang mengalami pedihnya cengkraman imperialisme Barat adalah Libya. Negara ini mengalami perlakuan imperialis yang brutal di bawah dominasi asing, sebelum mencapai kemerdekaan pada 24 Desember 1951, negeri ini mengalami beberapa kali hidup di bawah negara penjajah. Selama tiga dekade, libya mengalami penjajahan dibawah Italia, dan hampir satu dekade admistrsi Libya diatur oleh Prancis dan Inggris. Pada saat itu Libya terbagi kedalam tiga federasi dengan tiga pemerintahan propinsi luas lilayah 1.768.000 kilometer persegi, dengan populasi 2,5 juta jiwa. Propinsi-propinsi tersebut adalah Cyrenaica, di bagian timur, yang beribukota Benghazi, Tripoli di barat dengan Tripoli sebagai ibukota, dan Fezzan di selatan.  Keadaan Libya pada tahun 1951 sangat miskin. Libya merupakan negara yang underdeveloped dan mempunyai tingkat ketergantungan sangat tinggi kepada bantuan Barat, terutama kepada Amerika Serikat dan Inggris, yang menempatkan  camp militer disana.
Muhammad Idris adalah cucu dari pendiri tarakat Sufi Sanusiya , sekaligus raja yang memimpin Libya dengan Raja Idris I. Raja Idris I menjalankan pemerintahan yang tidak efektif, bahkan ceroboh. Selama berkuasa 17 tahun, rezimnya hanya dihiasi oleh instabilitas sosial, konflik kesukuan dan persaingan politik. Selama waktu itu pula dia telah membongkar pasang kabinetnya sebanyak tujuh kali. Sebab yang memicu terjadinya instabilitas tersebut adalah persaingan antara kabinet dengan eksekutif. Raja sendiri cenderung lebih mengutamakan kepentingan keluaraganya dan wibawa kelompok keagamaan serta kepentinghanh basis kekuasaannya di Cyrenaica dibandingkan pembelaannya terhadap rakyat banyak. Tetapi ia berhasil membuat prestasi besar bagi Libya yaitu mempersatukan tiga federasi tersebut kedalam negara kesatuan pada tahun 1963.
Dalam pengaruh kekuatan asing, Raja Idris I tidak mendukung perjuangan Arab secara langsung, bahkan ia justru lebih akrab dengan Barat, terutama Inggris dan Amerika. Dia melakukan hal itu karena ia takut imbas dari gerakan revolusi dan pemikiran radikal yang menghantarkan Mesir pada revolusi pada tahun 1952. Bila itu terjadi, maka tentu saja posisi kekuasaannya terancam. Sebelum revolusi, masyarakat Libya merupakan suku-suku yang berwawasan sempit.
Oleh karena itu, semua bentuk partisipasi publik tidak berdasarkan kepentingan rakyat banyak, tetapi berdasarka kepintingan pribadi, kelompok, keluarga atau suku. Hal yang lebih memperparah keburukan sistem kerajaan ini adalah korupsi yang sama sekali tak terkontrol, nepotisme, penyimpangan administrasi dan penyelewengan fiskal. Sembilan puluh persen wiyah Libya merupakan padang pasir. Fakta tersebut ditunjukkan oleh sedikitnya sumber air dan tidak dapat dilaksanakannya sistem irigasi, sehingga hanya satu persen dari wilayah teritorialnya yang dapat digarap dengan baik.
Sumber kekayaan Libya sebelum ditemukannya minyak hanyalah dari pertanian dan peternakan. Rata-rata pendapatan perkapita negara mencapai 30 dolar pertahun. Keadaan seperi itu berubah secara dramatis pada saat ditemukannya minyak, yang mengubah Libya menjadi negara keempat pengekspor minyak terbesar di dunia. Tetapi, sayangnya, dengan kekayaan minyaknya, pembangunan sektor pertanian menjadi terabaikan. Akibatnya, walaupun memilki potensi kekayaan, secara ekonomi tetap Libya merupakan negara yang tidak berkembang.  Masyarakat Libya secara structural terdiri dari ikatan-ikatan keluarga, kelompok dan kesukuan. Ikatan sosialnya berdasarkan atas nilai-nilai keagamaan dan adat. Sebenarnya nilai-nilai keagamaan dan masyarakat merupakan hal yang positif untuk menata hubungan social, pembinaan moral masyarakat dan terjadinya kerja sama antara mereka. Namun lantaran pandangan keagamaan mereka sangat konservatif dan sempit, mereka sulit mengalami transformasi.
Rakyat digiring oleh pemimpin keagamaan ataupun kesukuan yang tidak mempunyai prinsip tetapi mempunyai hak penuh untuk mengendalikan masyarakat guna melayani kehendak-kehendak picik para pemimpin tersebut. Dengan demikian, sebelum revolusi, pemimpin agama berada dalam posisi yang sangat penting secara politis, saosial dan pendidikan masyarakat. Mereka memimpin perwakilan di lembaga-lembaga pemerintah sekaligus menjadi pemimpin spiritual. Karena itu tidaklah mengherankan jika symbol-simbil keagamaan memainkan peran penting dalam mengontrol dan memobilisasi massa sepanjang sejarah Libya, terutama pada masa Negara ini bebentuk kerajaan.  Selama penjajahan Italia, orang Libya asli tidak boleh mengikuti pendidikan umum yang mereka selenggarakan. Hanya ada sedikit sekolah-sekolah tersebut, bahkan setelah kemerdekaan itupun hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki. Sebelum tahun 1959, di Libya hanya ada 25 orang guru dan 14 0rang sarjana. Pada tahun 1959, terdapat 31 sarjana lulusan Universitas Qar Yunus, satu-satunya universitas di Libya. Setelah tahun 1959, pendidikan di Libya, walaupun tidak ada rintangan yang serius, dimana seluruh warga Libya mendapat kesempatan yang sama untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi, jalan di tempat. Hal itu disebabkan oleh kesetiaan dan hutang budi Raja Idris terhadap tarekat-tarekat keagamaan yang mempertahankan system pendidikan tradisional, dimana merka hanya punya sedikit perhatiaan terhadap pendidikan moderen.

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts