Campursari
a.
Sejarah Campursari
Campursari merupakan genre musik yang berasal
dari campuran beberapa genre musik kontemporer di Indonesia khususnya di Jawa
Tengah. Istilah campursari dikenal awal 1970-an, ketika RRI
Stasiun Surabaya memperkenalkan acara baru, yaitu lagu-lagu yang diiringi musik
paduan alat musik berskala nada pentatonis (tradisional Indonesia) dan berskala
nada diatonis (Barat). Namun ada yang mengatakan bahwa campursari
kuno pertama kali dipopulerkan oleh Ki Nartosabdo pada tahun 1945 dan muncul campursari
modern pada tahun 1993 yang dipopulerkan oleh Manthous.
Campursari berasal dari dua
kata yaitu campur dan sari. Campur berarti berbaurnya instrumen musik baik yang
tradisional maupun modern. Sari berarti eksperimen yang menghasilkan jenis
irama lain dari yang lain. Para seniman memadukan dua unsur musik yang berbeda
yaitu instrumen musik etnik yaitu gamelan dan instrumen musik modern seperti
gitar elektrik, bass, drum serta keyboard, sehingga dapat dikatakan bahwa campursari
adalah musik hasil percampuran antara musik barat dan tradisional.
Jenis musik campursari sudah
ada 40 tahun silam namun sempat menghilang, lalu menjamur awal 1990-an. Dari
segi estetis tak punya kelebihan, tapi enak di telinga. Campursari diolah sedemikian rupa
sehingga menghasilkan jenis musik Jawa modern, lirik-lirik lagunya masih
mengadopsi lirik gending Jawa tradisional walaupun tidak semua, karena sebagian
besar dari senimannya berusaha menciptakan lagu campursari itu menyesuaikan
dengan keadaan zaman yang sedang berlangsung
Musik campursari
mulai terkenal seiring meroketnya nama Waldjinah dan Manthous pada awal
berkembangnya dulu. Manthous yang mengusung bendera CSGK ( Campursari Gunung
Kidul ) merupakan musisi campursari yang terkenal. Pria yang lahir pada tahun
1950 ini menelurkan sejumlah lagu, namun yang fenomenal adalah kutut
manggung. Sayang karir musiknya meredup setelah dia mengidap stroke.
Setelah Manthous
mulai menurun pamornya, muncul beberapa musisi campursari yang terkenal
kemudian. Nama-nama Didi Kempot, Sonny Joss, Cak Diqin sampai penyanyi campursari
baru seperti Soimah bergantian menghiasi blantika musik campursari.
Musik campursari mengalami
perkembangan yang cukup pesat terutama di daerah Jawa. Sebagai contoh,
perkembangan kesenian campursari di wilayah Jawa Timur ditandai dengan sering
ditayangkannya kesenian tersebut di televisi maupun media elektronik lainnya,
setiap orang yang memiliki hajat nikahan anaknya juga banyak memanfaatkan seni
hiburan gamelan plus dangdut ini. Jenis musik ini diakui sangat cocok dengan
telinga masyarakat Jawa Timur karena jenis musiknya bisa dipadu antara
lagu-lagu keroncong, langgam, pop, barat dan dangdut.
Pada awal
kemunculannya, Campursari mendapat pertentangan dari berbagai pihak terutama
oleh seniman musik tradisional karena dianggap menurunkan nilai musik gamelan
yang merupakan musik istana.
Menurut penyanyi campursari
terkenal, Waljinah, pelantun lagu-lagu campursari yang berhasil kebanyakan berawal sebagai sinden. Menurut superstar keroncong asli Solo ini, untuk
menyanyikan lagu campursari yang didominasi instrumen gamelan, penyanyi harus
punya suara tinggi. Sebab, katanya, gamelan adalah instrumen mati, tidak bisa
di-stem. Sedangkan jenis instrumen musik Barat bisa menyesuaikan dengan suara
penyanyi.
Namun ramai-ramainya sinden
ke campursari tidak akan membuat pentas wayang kulit redup. Wayang kulit dan
keroncong masih tetap digemari. Bahwa campursari mewabah, menurut Waljinah,
mungkin disebabkan biaya pementasan wayang kulit yang mahal ketimbang nanggap
VCD campursari.
Lalu apakah
sebenarnya campursari adalah suatu bentuk pelestarian budaya atau merupakan
perusakan budaya tradisional?
Untuk menemukan
jawabannya, kita perlu belajar lagi apa sebenarnya budaya dan seni tradisional
dan dengan cara seperti apa budaya dan seni tradisional dapat bertahan hidup di
masyarakat.
b. Kesenian dan Kebudayaan
Istilah seni pada mulanya berasal dari kata Ars
(latin) atau Art (Inggris) yang artinya kemahiran. Ada juga yang mengatakan
kata seni berasal dari bahasa belanda yang artinya genius atau jenius.
Sementara kata seni dalam bahasa Indonesia berasal dari kata sangsekerta yang
berarti pemujaan. Dalam bahasa tradisional jawa, seni artinya Rawit (pekerjaan
yang rumit – rumit / kecil).
Menurut Ki Hajar Dewantara, seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul
dari perasaan dan sifat indah, hingga menggerakan jiwa perasaan manusia. Sedangkan
tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang keluar alamiah karena kebutuhan
dari nenek moyang yang terdahulu. Dari pengertian tersebut, kita dapat menarik
kesimpulan bahwa seni tradisional adalah segala apresiasi keindahan oleh
manusia yang dilakukan turun-temurun dari nenek moyang.
Setelah mengetahui arti seni, selanjutnya
akan kita bahas mengenai pelestarian dan perusakan budaya tradisional. Berikut
merupakan rumusan Ki Hajar Dewantara tentang Kebudayaan:
1. Lahir,
tumbuh, berkembang, berbuah, sakit, tua, mundur dan akhirnya mati.
2.
Kawin dan berketurunan, kumpul tak bersatu, berasimilasi, manunggal melahirkan
bentuk baru.
3. Mengalami
seleksi, yang kuat akan hidup, yang lemah akan mati.
4.
Menyesuaikan
dengan alam (kodrat) dan zaman (masyarakat).
Dilihat dari rumusan tersebut, musik campursari
masuk ke kategori dua. Perkembangan musik campursari dari awal munculnya
sekitar tahun 1970 bukanlah sebuah bentuk perusakan kesenian tradisional, tapi
merupakan representasi dari kedinamisan masyarakat. Karena masyarakat cenderung
dinamis, maka sesuatu yang dihasilkanpun menjadi dinamis.
Berikut merupakan beberapa hal yang dapat
dilakukan terhadap kesenian tradisional agar dapat bertahan hidup di dalam
masyarakat sebagai bentuk pelestarian kesenian:
1.
Perlindungan kesenian
2.
Pengembangan kesenian
3.
Pemanfaatan kesenian
Ketiga hal tersebut merupakan wujud dari
pelestarian kesenian. Secara universal ketiga hal tersebut berarti upaya
pencegahan dan penanggulangan dari hal yang dapat menyebabkan kerusakan dan
kepunahan karya seni, peningkatan kualitas dan kuantitas karya seni dalam
masyarakat, serta upaya penggunaan seni demi kepentingan manusia di bidang
pendidikan, agama, hiburan dan lain-lain.
c.
Campursari sebagai pelestarian kesenian tradisional
Dilihat dari beberapa upaya pelestarian
kesenian tersebut, musik campursari tidak melanggar satu hal pun. Meskipun
hasil dari gabungan genre musik, namun campursari tidak kehilangan unsur langgam
jawa dan juga merupakan peningkatan kualitas kesenian dengan cara mencampurkan
beberapa genre musik.
Hal yang paling penting didalam karya seni
bukanlah ke-otentikan sebuah seni secara turun-temurun, namun dinamis tanpa
menghilangkan sifat asli dari karya seni.
Selain mampu untuk mengimbangi masyarakat
yang dinamis, musik campursari juga merupakan inovasi. Perpaduan penggunaan alat musik tradisional dengan alat musik modern
seperti keyboard, gitar dan bass elektrik, dan lain-lain merupakan sisi
inovatif dari campursari. Lirik yang dilantunkan pun mengenai kehidupan
masyarakat sehari-hari ataupun lelucon jenaka yang sering kita temui. Jelas
bahwa musik ini tergolong musik aliran alternatif karena musik ini memiliki
sebuah aliran yang khas, yaitu perpaduan antara tradisi dan inovasi.
Berikut adalah contoh dari
lirik lagu campursari berjudul sewu kutho yang dipopulerkan oleh musisi campursari
Didi Kempot:
“Sewu kuto uwis tak
liwati
Sewu ati tak takoni
Nanging kabeh podo
rangerteni
Lungamu neng ngendi”
Lirik tersebut kurang lebih berarti:
“Seribu kota sudah kulewati
Seribu hati sudah kutanyai
Tapi tidak satupun yang mengerti
Kau pergi kemana,”
Dari segi lirik, lagu-lagu campursari
cenderung memakai bahasa sederhana dan mudah dimengerti semua kalangan. Selain
itu, dengan irama yang enak didengar dan lebih ekspresif, musik campursari masih
dapat membawa nuansa tradisional. Komposisi musiknya juga menjadi terkesan
tidak monoton karena ada beberapa genre dalam suatu karya seni. Ini membuat
pendengar campursari mudah tertarik dengan dinamisme dari musik campursari. Selain
itu, musik gamelan yang tadinya merupakan musik istana menjadi dapat dinikmati
semua kalangan masyarakat dari kalangan atas maupun kalangan bawah. Tidak heran
jika musik ini kemudian memiliki banyak peminat sebagai pemersatu semua
kalangan masyarakat.
Campursari yang bertahan pada masyarakat saat
ini sudah barang tentu berbeda dengan campursari pada awal kemunculannya pada
tahun 1970-an. Seiring perubahan zaman, campursari dikemas semakin modern.
Namun campursari tetap tidak kehilangan identitasnya sebagai musik kontemporer
hasil penggabungan antara musik langgam jawa dan modern.
Berbeda dengan musik pop,
kita tidak bisa membedakan antara musik pop Indonesia dan musik pop luar negeri
tanpa teks musikal yang ada karena secara musikal bentuk musik tersebut akan
sama. Namun kalau musik campursari, tanpa melihat teks musikalnya pun kita
dapat menebak kalau musik tersebut adalah campursari karena ada perbedaan yang
mendasar dalam musiknya dengan musik pop yang berkembang.
Ada kalangan yang berpendapat
bahwa campursari adalah suatu kreasi dan inovasi, musik ini bersifat universal
yang bisa menampilkan dan memadukan berbagai jenis lagu. Pada perkembangannya
musik campursari sudah tumbuh dan terus berkembang dengan berbagai inovasinya.
Perpaduan yang harmonis akan mendatangkan estetika keindahan, keselarasan yang
bermanfaat bagi banyak orang.
Pada dasarnya, masyarakat
Indonesia bukanlah masyarakat yang statis namun selalu berkembang sedemikian
pesat. Selain dinamis, masyarakat Indonesia juga terbuka dengan budaya-budaya baru
yang masuk ke Indonesia. Ini terbukti ketika musik-musik melayu dan musik-musik
India merajalela di awal tahun 2000, kemudian musik-musik Jepang yang
merajalela mulai 2002, budaya musik K-Pop akhir-akhir ini. Hal ini tentu saja
membuat pertanyaan besar apakah sebenarnya masyarakat Indonesia terbuka
terhadap budaya asing, atau memang tidak memiliki identitas diri dalam musik.
Mengapa Indonesia tidak mencoba untuk menciptakan sendiri genre musiknya? Namun
bertahannya musik campursari merupakan penangkis dari anggapan tersebut. Campursari
merupakan inovasi dan musik asli dari Indonesia. Dengan memiliki campursari dan
musik-musik asli Indonesia lainnya, membuktikan bahwa Indonesia memiliki
identitas sendiri.
II.
KESIMPULAN
Musik Campursari yang merupakan gabungan dari
musik barat dan timur bukanlah merupakan perusakan budaya tradisional Indonesia.
Dilihat dari segi inovasi, campursari mampu membawa nuansa tradisional dengan
kemasan yang berbeda, lebih ekspresif dan alternatif.
Musik Campursari merupakan salah satu hasil
seleksi alam dalam kebudayaan serta adalah hasil dari pengembangan kesenian
yang merupakan salah satu upaya pelestarian budaya. Musik campursari juga tidak
kehilangan jati dirinya sebagai musik tradisional.
Menurut Panggah, campursari
mewakili masyarakat Jawa dengan citranya yang baru. Kendati munculnya pro dan kontra terhadap kemurnian aliran musik ini,
namun semua pihak sepakat
dan memahami bahwa campursari menghidupkan kembali musik-musik tradisional
di wilayah tanah jawa. Karena musik campursari merupakan musik yang mampu mengusung suatu
etnisitas dan patut diterima oleh masyarakat luas tanpa menghapus identitas
dari masyarakat pemilik musik itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
http//: lingkarstudy.com (diakses pada 23 Oktober 2012)