Pemikiran Arab Modern
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang Masalah
Tidak
dapat dipungkiri seluruh Dunia Islam sekarang ini sedang mengalami pergolakan
yang maha dahsyat, terutama di negeri-negeri Arab bergolak menuju satu ide
baru, stimulant baru dan aspirasi baru. Perang Dunia sangat mempengaruhi
perubahan ini, lebih dari seabad yang lalu benih kesadaran itu telah mulai
tumbuh, yang semakin mekar dan merata melanda negeri Arab.
Pada
abad ke 18 dunia Islam jatuh ke jurang keruntuhan yang terdalam. Dimanapun
tidak ada tandanya gairah dan yang ada dimana-mana terdapat kemacetan dan
pembekuan. Kerusakan budi dan moral amatlah parahnya. Sejumlah universitas yang
masih ada terdampar kepada pembekuan ilmu pengetahuan. Pemerintah menjadi
despotis, kadang-kadang menjadi anarki dan berbagai cara pembunuhan, seperti
para raja berkuasa diatas sewenang-wenangnya dan bertangan besi. Begitupun
agama Islam juga membeku seperti hal-hal lain. Ketauhidan yang diajarkan oleh
Muhammad s.a.w telah diselubungin kurafat dan faham kesufian. Masjid-masjid ditinggalkan
oleh golongan besar yang awam. Mereka menghias diri dengan azimat, penangkal
penyakit dan tasbih. Mereka belajar pada fakir atau darwis dan menziarahi
kuburan orang-orang keramat. Mereka memuja orang-orang itu sebagai orang suci
dan perantara dengan Allah, karena menganggap dia begitu jauh bagi manusia
biasa untuk pengabdian langsung.[1]
Pengaruh
Barat adalah gerak dahsyat dalam transformasi modern Timur. Pengaruh Barat ini
bukan saja mengubah dunia Arab tetapi juga seluruh Asia dan Afrika.. Albert
Hourani mengatakan bahwa pemikiran Arab Modern bermula ketika pada abad ke-19
orang-orang Arab terpelajar mulai berkenalan dengan gagasan dan institusi
modern Eropa serta merasakan kekuatannya. Berbeda dengan Hourani, Syarabi
beragumen bahwa kemunculan para intelektual harus dilihat sebagai manisfestasi
dari proses pendidikan dan pencerahan yang diakibatkan oleh meningkatnya
hubungan dengan Barat.[2]
Beberapa
penelitian lain memandang pemikiran Arab diilhami oleh paradigma Barat dan
dibentuk oleh kebutuhan akan modernisasi. Seorang kritikus sastra asal Libanon
Ra’if al-Khuri berpendapat bahwa pengaruh gagasan Barat, terutama
gagasan-gagasan yang berasal dari revolusi Perancis sangat mempengaruhi
pemikiran Arab. Abdel Malek menyimpulkan bahwa pemikiran Arab memiliki isi dan
temanya sendiri dan menunjukkan dua tendensi utama. Tendensi pertama,
fundamentalis Islam, yang esensinya
adalah seruan kembali kepada kemurnian ajaran Islam dengan tujuan mengembalikan
kejayaan masa lalu. Kedua, liberalisme modern yang bertujuan membentuk
masyarakat modern yang mirip dengan Barat.[3]
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia Arab sekarang tidaklah hanya
sekedar meniru Barat, tetapi suatu usaha untuk tujuan-tujuan Timur, berdasarkan
sintese baru—suatu asimilasi dengan Barat.[4]
Para
peneliti dan sejarawan pemikiran Arab membagi munculnya pemikiran Arab modern
kedalam tiga fase; fase formatif yang dimulai dari tahun 1850-an hingga perang
dunia 1(1914), periode perjuangan nasionalis untuk meraih kemerdekaan yang
terjadi ada masa di antara dua perang Dunia (1918-1945), dan fase kemerdekaan
dan pasca kemerdekaan (1945-1992).
BAB
II
ISI
2.1.
Pemikiran Arab pada masa Pembentukan (1850-1914)
Pemikiran
Arab kontemporer muncul dalam sebuah masa transisi yang dibentuk oleh keruntuhan
Dinasti Usmaniyah dan invasi dan dominasi kekuatan Eropa atas negara-negara
Arab. Pengaruh modern Barat atas Timur belum pernah ada sebelumnya baik dalam
intensitasnya atau luasnya. Pengaruh penuh pembaratan atas Timur sebagai
keseluruhannya baru saja mulai sekitar abad pertengahan ke 19. Penyebabnya ini
adalah karena adanya jalan raya dan rel kereta api, pos dan kawat, buku dan
surat kabar, metode dan ide, yang telah menerobos atau dalam proses perembesan
masuk kedalam dunia Timur.
Debat-debat
antar intelektual yang mewakili berbagai macam segmen dan kelas sosial
mengerucut pada isu tentang identitas nasional dan pembaruan guna merespons
tantangan baru ini. Beberapa kelompok menfokuskan diri pada kelemahan yang
diderita Timur dan obat yang diperlukan untuk memulihkannya; sumber kekuatan
dan kesejahteraan Eropa; konflik antara Barat dan Timur; isu-isu lain yang
berpusar diantara identitas nasional dan pendifinisian kembali konsep tentang ummah, reformasi melalui sains dan agama
dan inovasi-inovasi Barat yang bias diadopsi tanpa perlu berkonflik dengan
agama dan orientasi nilai mereka. Untuk memfokuskan diri mengapa pemikiran Arab
muncul pada tahun 1850-1914, penulis membagi kedalam tiga kecenderungan,yaitu
kecenderungan religius, kecenderungan Liberal, dan kecenderungan progresif.
2.1.1
Kecenderungan Religius
Tradisional versus Reformis. Pada
periode pembentukan ini terdapat suara dominan yaitu gagasan-gagasan dari
para pemikir religious yang masih tetap
memegang teguh pentingnya kekhalifahan Islam. Dikalangan pemikir Islam telah
terjadi perbedaan pendapat antara kaum Tradisional dan Reformis. Kelompok
tradisional yang terdiri atas para Ulama yang menjadi penasihat resmi sultan
dan keluarga-keluarga feudal. Kelompok tradisional ini bisa disebut sebagai
kelompok yang menggunakan Islam sebagai mekanisme control yang mengekspresikan
pandangan-pandangannya secara asertif bukan analitis sebagai senjata pamungkas
politik represi. Para ulama seperti Abu Huda al-Sayyadi bisa digolongkan
sebagai satu wakil dari kelompok tradisionalis pada masa itu.
2.1.1
Kecenderungan Religius
Sementara kelompok reformis muslim
menggunakan pendekatan yang berbeda. Bersama-sama , para intelektual ini
memimpin gerakan salafiyah untuk Meremajakan lagi khalifahan Islam dengan cara
kembali pada sumber-sumber asli dan kemurniaan Islam masa lalu. Kelompok ini
menentang invasi Barat, namum memberikan apresiasi pada sains dan raihan
kultural Barat. Tokoh-tokoh dari kelompok ini diantaranya Jamaludin Al-Afghani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Rida.
·
Jamaluddin
Al Afghani
Jamaluddin
Al Afghani adalah salah seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad
ke-19, yang agak berbeda dari kedua pemimpin sebelum dia: Muhammad bin Abdul
Wahab (abad-18) dan Muhammad bin ‘Ali As-Sanusi (awal abad-19). Jamaluddin
lahir di Afghanistan pada tahun 1839 M. meninggal dunia di Istambul di tahun
1897 M. ketika baru berusia dua puluh dua tahun ia telah menjadi pembantu bagi
pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 M. Ia menjadi
penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia dia di angkat oleh Muhammad
A’zam Khan menjadi perdana menteri. Dalam pada itu Inggris telah mencampuri
soal politik dalam negeri Afghanistan dan dalam pergolakan yang terjadi Afghani
memilih pihak yang melawan golongan yang disokong Inggris. Pihak pertama kalah
dan Afghani merasa lebih aman meninggalkan tanah tempat lahirnya dan pergi ke
India di tahun 1869 M.[5]
Jamaludin Al-Afghani mengajak umat
muslim untuk bersatu dan mereformasi Islam baik sebagai agama maupun sebagai
sebuah peradaban, agar bisa menghadapi bahaya yang dibawa oleh Eropa. Dalam
pemikirannya, Afghani mengusulkan dua langkah perbaikan yang terlihat
kontradiktif, kembali pada sumber asli Islam dan mengadopsi gagasan-gagasan dan
institusi Eropa yang liberal termasuk sains, konstitusi, persatuan komunal,
pemilihan umum, dan dewan perwakilan nasional ala Barat.
Jamaluddin
melihat empat penyakit yang menggerogoti Islam; dan menawarkan delapan solusinya.
Keempat penyakit itu adalah:
·
absolutism
dalam mesin pemerintahan,
·
sifat
kepala batu dan kebodohan massa rakyat Muslim serta keterbelakangan mereka
dalam ilmu dan peradaban,
·
tersiarnya
ide-ide korup dalam bidang agama dan nonagama
·
dan
pengaruh kolonialisme Barat.
Sesuai
dengan empat penyakit itu, Jamaluddin memberikan delapan hal sebagai obat,
sebagaimana ditulis oleh Muthahhari dalam Islamic Movement of the Twentieth
Century.[6]
(1)
Bangkitkan
kesadaran berpolitik melawan absolutisme. Harus dijelaskan kepada massa bahwa perjuangan
berpolitik adalah kewajiban agama; bahwa tidak ada pemisahan antara agama dan
politik; bahwa setiap orang harus terlibat dalam nasib politik Negara dan
masyarakat Islam.
(2)
Lengkapi
diri dengan sains dan teknologi modern. Dominasi Barat terjadi karena keunggulan dalam sains dan
teknologi. Kaum Muslim tidak harus menolak segala hal yang dating dari Barat.
Mereka harus belajar dari Barat, tetapi bukan mengadopsi peradaban mereka;
sains dan teknologilah yang harus mereka kuasai.
(3)
Kembalilah
kepada Islam yang sebenarnya. Praktek-praktek korup dan tambahan-tambahan yang tidak
bermanfaat dalam pengalaman Islam harus dibuang; umat harus dikembalikan kepada
Al-Quran, As-Sunnah, dan kehidupan suci pada zaman permulaan Islam.
(4)
Hidupkan
akidah Islam sebagai akidah yang komprehensif dan independen. Islam adalah agama sains dan kerja
keras, agama yang menuntut tanggung jawab, agama memuliakan akal; dan membenci
takhayul. Dia menganjurkan murid-muridnya untuk menghidupkan kembali filsafat
dalam khazanah pemikiran Islam.
(5)
Lawan
kolonialisme asing.
Penjajah asing di dunia Islam bukan saja mengandung implikasi eksploitasi
politik, tetapi jiga dominasi ekonomi dan budaya. Kaum Muslim harus disadarkan
bahwa sekularisme adalah taktik Barat untuk melepaskan pengaruh Islam dalam
masyarakat. Harus ditegaskan bahwa kultur Barat tidak akan membawa kemakmuran
manusia. Kultur Barat adalah kultur penindasan.
(6)
Tegaskan
persatuan Islam.
Untuk melawan invasi Barat, kaum Muslim harus bersatu. Bersatu tidaklah berarti
menyatukan mazhab. Bersatu berarti menyatukan front politik dan
organisasi. Ia mengecam pembagian Islam dalam negara-negara kecil dan
mengkhutbahkan Pan-Islamisme.
(7)
Infuskan
ruh jihad ke jasad masyarakat Islam yang setengah mati. Menghadapi kehancuran akibat Barat,
kaum Muslim harus menegakkan Islam sebagai agama perlawanan dan perjuangan.
(8)
Hilangkan
rasa rendah diri dan rasa takut terhadap Barat. Lewat sebuah cerita kiasan dalam Al-‘Urwah
Al-Wutsqa, ia mengingatkan kaum Muslim bahwa ketakutan terhadap barat
adalah ilusi yang dibentuk sendiri. Kaum Muslim tidak boleh takut terhadap
ingar-bingar suara barat. Diperlukan orang yang menantang maut untuk
menjatuhkan kepongahan Barat.
Seorang
reformis berpengaruh di Mesir dan Negara-negara Arab lainnya adalah Muhammad
Abduh,
·
Muhammad
Abduh
Muhammad
Abduh memulai kariernya sebagai seorang pemberontak dan berakhir sebagai
partner otoritas sebelum usianya genap empat puluh tahun. Dia juga berhubungan
baik dengan Lord Cromer, Konsul Jenderal Inggris dan mendedikasikan dirinya
untuk memformulasikan interpretasi Islam yang mencerahkan. Seruannya untuk
kembali pada sumber-sumber asli Islam bersanding harmonis dengan seruan
mengenai perlunya mengadaptasi tuntutan kehidupan modern.
Ia ingin
membebaskan pemikiran Islam dari
kungkungan tradisi dengan mengembalikannya pada sumber-sumber Islam,
mereformasi sistem hokum Islam dan memodernisasi pola pendidikan keagamaan.
Pendekatannya lebih berfokus pada pendidikan dan mencoba menbujuk sultan untuk
mereformasi sistem pendidikan.
·
Muhammad
Rasyid Rida
Dia
menyerukan persatuan Islam dan Arab dalam sebuah sistem kekhalifahan yang diperbaharui yang
memadukan pemberlakuan undang-undang untuk membatasi kekuasaan dan mengakhiri
tirani. Setelah restorasi undang-undang Turki tahun 1908, Rida memperingatkan
bahwa terus melanggengkan perselisihan dan pertikaian antar Arab hanya akan
membahayakan bangsa Arab karena demi kepentingan bersama kita harus bersatu dan
loyal terhadap Turki. Antusiasme Rida ini bersumber pada kepercayaan bahwa
Islam jika ditafsirkan dengan benar akan menjadi satu solusi yang kuat bagi
persoalan-persoalan politik, sosial, dan religius modern.
2.1.2 Kecenderungan Liberal
Dalam gerakan
ini memiliki tujuan yang ingin menggantikan umma Islam dengan sebuah umma
nasionalis, mengganti system teokrasi dengan sekulerisme serta menitik beratkan
pada orientasi masa depan. Hal ini didukung oleh karena adanya gagasan dari
Eropa serta factor internal dari kekhalifahan Ustmaniyah. Factor internal
tersebut adalah desentralisasi, muncul keluarga-keluarga penguasa local,
regional otonom,tersebarnya pendidikan, kebangkitan etnisitas kultur Arab serta
munculnya kelas menengah.
Kecenderungan liberal
memiliki tokoh-tokoh yang berlawanan dengan salafiyah. Tokoh-tokoh tersebut
Rifaat al Tahtawi, Ahmad Faris Al Syidiaq, Butrus al Bustani, Yakub Saruf,
Qasim Amin, Sudqi al Zahawi dan ahmad Lutfi al Sayyid.
·
Rifaat al
Tahtawi
Rifaat al
Tahtawi merupakan seorang penulis, guru, translator dan ilmuwan. Tahtawi
merupakan ilmuwan Mesir pertama yang menuliskan tentang budaya Barat. Tahtawi
lahir tahun 1801 di desa Sohag. Tahtawi mendapat beasiswa ke Perancis pada
tahun 1826 atas rekomendasi gurunya. Tahtawi selama di Perancis menulis buku
hariannya yang berjudul Rihla, buku tersebut menjelaskan kehidupannya selama di
Perancis. Tahtawi mempelajari ilmu filsafat sosial politik, matematika dan
geometri.
Tahtawi kembali
ke Mesir pada tahun 1831, kemudian pada tahun 1835 Tahtawi mendirikan sekolah
bahasa. Selama Tahtawi bekerja di sekolah tersebut, Tahtawi menerjemahkan
buku-buku Eropa ke bahasa Arab. Tahtawi menerjemahkan buku tentang militer,
geografi dan sejarah Eropa. Tahtawi telah menterjemahkan lebih dari 2000 karya
tulis ke bahasa Arab. Tahtawi memiliki gagasan bahwa Mesir seharusnya memiliki
kekuasan atas kewenangan politik dan merdeka.
Tahtawi sebagai
seorang penulis, dia memiliki karya yang berjudul Takhlis al Ibriz fi Taklhis
Bariz (pemurnian emas dan ringkasan tentang Paris). Buku tersebut menjelaskan
Sistem konstitusi & politik Perancis serta Konsep kesetaraan. Tahtawi
menyerukan tentang nasionalisme Mesir sebagai alternative umma yang religious.
tahtawi menyatakan bahwa untuk menjaga nasionalisme maka masyarakat harus
menerima kehidupan modern.
·
Butrus Al
Bustani
Butrus Al
Bustani adalah seorang ilmuwan asal Lebanon. Bustani merupakan salah satu
figure pembaharuan Arab. Bustani lahir
dari keluarga yang beragama Nasrani Maronit pada tahun 1819. Pada umur 11
tahun, Bustani disekolahkan di ‘Ayn Waraqa. Bustani mempelajari bahasa Syria,
Latin, Perancis, Italia dan Inggris selama 10 tahun di ‘Ayn Waraqa. Bustani
pindah ke Beirut pada tahun 1840, disana Bustani bertugas sebagai pembimbing
pasukan Inggris untuk membantu Ibrahim Pasha dari Syria.
Bustani bekerja
untuk gerakan missionaris Amerika di Beirut. Bustani selama bekerja di gerakan
tersebut menerjemahkan Bible versi Van
Dyk’s. Beliau menulis mengenai Perang sipil lebanon 1860 dengan konsep wathan.
Tujuan beliau menulis hal tersebut karena ingin menggantikan sektarian dengan
nasionalisme. Bustani menyusun Kamus bahasa Arab Al Mukhit, Ensiklopedia
berbahasa Arab Da,irat al-Ma’arif, mendirikan sekolah Al-Madrasah
Al-Wathaniyyah serta menerbitkan Nafir Surriyah.
·
Yakub Sarrouf
dan Nimr Faris
Mereka
merupakan intelektual dari Beirut. Mereka mendirikan majalah Al-Muqtafaf yang
berisi gagasan-gagasan nasionalisme Arab. Mereka juga melakukan pengkritikan
terhadap AUB (American University of Beirut) : “ilmu pengetahuan tidak bisa
diraih oleh universitas jika tidak melepaskan diri dari fanatisme agama.
·
Qasim Amin
Qasim Amin
salah satu pengacara Mesir, pencetus gerakan nasional dan Feminis pertama di
Mesir. Amin memiliki latar belakang keluarga yang memiliki kedudukan tinggi.
Ayahnya merupakan anggota pemerintah Kurdistan dan ibunya putri dari aristocrat
Mesir. Amin mentuntaskan sekolah hukumnya pada umur 17 tahun. Amin mendapat
beasiswa untuk belajar di Universitas Montepellier, Perancis.
Amin mendapat
pengaruh Barat akan gaya hidup dan pandangannya akan perempuan. Amin menyatakan
bahwa Beliau memperjuangkan kebebasan perempuan dalam Buku Takhrir al Mar’ah
(pembebasan Perempuan) 1899 dan Buku al-Mar’ah al-Jadidah (perempuan Baru)
1901. Buku pertama menyatakan hak-hak perempuan dan rekonsilisasi antara agama
dan gagasan modern. Buku kedua menyatakan gagasan dari ilmu social modern,
konsep liberal dan kebebasan individu.
Terlihat bahwa para intelektual Arab mengadopsil
pemikiran-pemikiran yang memiliki nilai positif dari pemikir Barat. Mereka
menyesuaikan dengan kultur Arab.
2.1.3 Radikal Progresif
Gerakan ini memiliki pemahaman yang berbeda untuk nasionalisme,
sekularisme dan sosialisme. Gerakan ini juga menafsirkan materialism historis.
Tokoh-tokoh gerakan radikal progesif memiliki pemikiran yang sangat berbeda.
·
Abd Rahman al
Kawakibi
Al Kawakibi
adalah Intelektual modern Arab pertama yang membuat teori demokrasi, sekulerime
dan sosialisme Arab. Intelektual modern Arab pertama yang berpandangan akan
sistematis Arabisme berdasarkan atas Kultur dan geografi. Buku Ummu al-Qura,
berisi keinginan Kawakibi mengembalikan kekhalifahan ke bangsa Arab. Buku
Tabha’I al-istibdad, berisi keinginan
membebaskan diri dari despotism.
·
Syibli
Syumayyil
Intelektual
Arab pertama yang menguraikan sosialisme sebagai ideologi dan program dengan
pendekatan materialisme ilmiah. Beliau menyatakan Agama merupakan elemen
pemecah bela dan masyarakat akan maju melalui sains bukan agama.
·
Farah Antun
Pendiri majalah
Al Jamiah yang menyuarakan tentang sains dan sosialisme serta memperkenalkan
pemikir Barat : Marx, Nietzche & Tolstoy. Pola pikirnya dipengaruhi dari
Renan
2.2
Pemikiran Arab
dan Perjuangan Meraih Kemerdekaan Nasional 1918-1945
Pada masa periode sebelum 1918-1945 pemikiran Arab didominasi oleh
persoalan-persoalan mengenai kultural dan kebangkitan. Paska Perang Dunia I,
persoalan yang ada di sekitar bangsa Arab berubah menjadi persoalan melawan
dominasi Eropa. Hal ini sangat menyulitkan bangsa Arab karena Eropa dengan
ganas berupaya mengobrak-abrik masyarakat Arab pada saat itu. Sudah menjadi
kewajiban bagi suatu bangsa untuk mempertahankan keutuhan bangsa dan negaranya
dari campur tangan asing. Oleh sebab itu, mulailah bermunculan para pemikir dan
tokoh nasionalis yang mempengaruhi kebangkitan bangsa Arab.
Periode 1918-1945 bisa dikatakan sebagai peridoe di antara dua
Perang Dunia. Mulainya periode ini ditandai oleh semakin berkembangnya pemikiran
yang memainkan peranan utama dari setiap gerakan sosial. Gerakan yang sangat
mencolok adalah gerakan nasionalis. Selain gerakan nasionalis, terjadi pula
revivalisme Islam dan sosialisme liberal. Bangsa Arab melakukan berbagai upaya
dalam melawan rintangan yang mereka hadapi, salah satu upayanya adalah
pembentukan-pembentukan gerakan ideologis dan politik.
Kaum nasionalis bangsa Arab mulai membentuk partai-partai politik
pada periode ini. Beberapa partai politik pertama yang berdiri adalah Partai
Wafd di Mesir, Liga Aksi Nasional, Partai Sosialis Nasional Suriah di Suriah, Partai
Al-Ahali di Iraq, Partai Destour di Magrib, Partai Kemerdekaan di Magrib. Bukan
hanya partai politik, konon selama periode ini partai komunis banyak terbentuk.
Orang-orang yang tergabung dalam partai politik ini adalah
masyarakat dari kelas menengah, rakyat umum, bukan dari kalangan para elit. Keruntuhan
Dinasti Usmaniyah membangkitkan kesadaran kaum elit untuk membangun kembali
kekhalifahan Islam, namun bedanya kali ini mereka ingin agar kekhalifahan
berpusat di wilayah Mesir atau Arab.
·
Ali Abdul Raziq
(1888-1966)
Ali Abdul Raziq adalah seorang syeikh Universitas Al-Azhar Kairo
yang lahir pada tahun 1888. Ia berasal dari keluarga feodal yang aktif dalam
kegiatan politik. Termasuk ayahnya juga berkecimpung dalam dunia politik. Ali
Abdul Raziq dipecat dari Universitas Al-Azhar Kairo karena pemikirannya yang
tidak sesuai dengan ulama-ulama Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1925 ia
menerbitkan buku kontroversionalnya yang berjudul Al-Islam wa Al-Ushul Al-Hikm
(Islam dan Basis Otoritas).
Dalam bukunya ia menyatakan bahwa sistem kekhalifahan yang berdiri
setelah Nabi Muhammad SAW meninggal merupakan sebuah tatanan politik semata,
bukan religius. Menurutnya, salah jika umat Islam tidak boleh menerapkan sistem
politik yang sesuai dengan keinginan dan persetujuan rakyat suatu bangsa.
Pemikiran-pemikiran Ali Abdul Raziq yang ia tuang dalam buku tersebut secara
umum adalah tentang sekularisme, yaitu memisahkan antara agama dan negara. Dia
berpendapat bahwa agama tidak ada kaitannya sama sekali dengan negara.
·
Taha Husein
(1889-1973)
Taha Husein adalah figur kesusastraan dan pendidikan terkemuka
bangsa Arab. Tahun 1926 ia menerbitkan buku Fi Al-Syi’r Al-Jahiliy (Tentang
Puisi Pra-Islam). Dalam bukunya ia mempertanyakan otentisitas puisi pra-Islam
yang dianggap telah membentuk pemikiran Arab. Ia kemudian menyimpulkan bahwa
mayoritas puisi pra-Islam disusun pada masa kemunculan Islam, bukan memang
benar-benar berasal dari sebelum Islam datang.
Sepuluh tahun kemudian Taha Husein menerbitkan buku lagi dengan
judul Mustaqbal Al-Tsaqafa fi Mishr (Masa Depan Kebudayaan Mesir). Dalam buku
ini ia menyimpulkan bahwa Mesir lebih condong ke Barat, bukan ke Timur. Ia
menegaskan bahwa Mesir harus mengikuti jejak Eropa agar bisa setara dan menjadi
partner peradaban mereka. Taha Husein sendiri menganut nasionalisme Mesir.
Kesatuan wilayah baginya merupakan pokok dari solidaritas sosial dan perasaan
kenegaraannya tertuju pada tanah air. Dalam masalah kebangsaan ia tidak
membedakaan antara warga Mesir muslim dan non muslim.
·
Hassan Al-Banna
(1906-1949)
Ia adalah pendiri Al-Ikhwān Al-Muslimūn di tahun 1928. Ia menyeru
kelompok kelas menengah agar kembali pada mata air Islam. Dengan ketaatan
terhadap hukum Islam kekuasaan dan kejayaan bisa dibangkitkan lagi oleh sebuah
negara Islam. Ia percaya bahwa kemunduran kaum muslim adalah adanya
kerenggangan dengan agama. Reformasi berarti kembali pada ajaran Islam.
Ia pernah mengatakan bahwa sesungguhnya seorang muslim belum
sempurna keislamannya kecuali jika ia menjadi seorang politikus, mempunyai
pandangan jauh ke depan dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan
bangsanya. Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada
persoalan-persoalan bangsanya. Ia juga pernah memaparkan bahwa sesungguhnya
dalam Islam ada politik, namun politik yang padanya terletak kebahagiaan dunia
dan akhirat. Itulah politik kami.[7]
·
Salama Musa
(1887-1958)
Pemikiran Salama Musa yang menghantarkannya dalam barisan pemikir
sekuler banyak tertuang dalam bukunya Al-Yaum wa Al-Ghad. Salama Musa adalah seorang pemikir yang
pernyataannya terlalu transparan vulgar dan kontroversial. Ia bahkan berani
melintasi batas-batas rawan kesakralan teks-teks wahyu. Jika melihat beberapa
pernyataan darinya yang cukup berani, tidak sedikit orang yang menganggapnya orang
Barat yang non muslim. Ia banyak menghasilkan tulisan mengenai sosialisme,
demokrasi politik, teori evolusioner, nasionalisme Mesir, sastra dan
sekularisme.
Ia menganggap tradisi muslim dan Arab terbelakang, dan menyerukan
agar Arab mengadopsi peradaban Barat secara total. Ia mengatakan “Meski
matahari terbit di Timur, namun cahaya datang dari Barat.” Ia juga dengan
tegas menyatakan, “Inilah madzhabku yang kujalani selama hidupku baik secara
sembunyi ataupun terus terang. Saya adalah kafir di Timur dan mukmin di Barat.”
BAB
III
3.1
Periode
Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan (1945-seterusnya)
Periode pertama dicirikan oleh
spirit kemerdekaan dan periode kedua dicirikan oleh mobilisasi dan perjuangan
nasional. Pada periode ketiga, dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode
kemerdekaan dan periode pasca kemerdekaan. Periode kemerdekaan (1945-1967)
merupakan periode awal didirikannya gerakan nasional sekuler, namun setelah
perang antara Arab-Israel yang terjadi pada tahun 1967 gerakan nasional sekuler
ini hancur. Setelah peperangan ini, dimulailah fase kedua, yaitu Fase yang
dipenuhi harapan besar yang ditiupkan oleh gerakan perlawanan rakyat palestina
sebagai revolusi Arab. Gerakan perlawanan rakyat Palestina selanjutnya menjadi
sebuah organisasi dan kemudian menjadi sistem Arab yang lebih besar.
Pada tahun 1991, Irak kalah dalam
perang Teluk, ini menjadikan bangsa Arab disibukkan mencari penyebab terjadinya
krisis yang berkepanjangan dan tidak berusaha untuk melakukan pembaruan.Setelah
itu, penderitaan bangsa Arab ditambah lagi dengan penghancuran Palestina dan
pendirian Israel setelah Perang Dunia II. Harapan bangsa Arab Arab sempat
bangkit ketika terjadi revolusi Mesir pada tahun1952 dan revolusi Aljazair pada
tahun 1954-1962. Revolusi kedua Negara tersebut mengobarkan semangat untuk
bersama-sama membentuk sejarah dan menyiapkan diri untuk memasuki era baru.
Harapan bangsa Arab seakan dibuyarkan dengan kekalahan mereka pada Perang Juni
pada tahun 1967. Perang tersebut meluluhlantahkan impian bangsa Arab akan masa
depannya. Evolusi pemikiran Arab dalam merespons perubahan kondisi dan
peristiwa historis ini juga dapat dianggap sebagai garis besar dari berbagai
pandangan yang berlawanan dari tiga identifikasi berikut: liberal, religious,
dan progresif.
3.1.1
Kecenderungan
Liberalisme
Para pemikir liberal berusaha untuk
memberi penjelasan dan mencari jalan keluar dari keterpurukan kehidupan bangsa
Arab di sepanjang sejarah modernnya. Mereka cenderung hanya berfokus pada
aspek-aspek kultural bukan sosial maupun ekonomi. Pemikiran mereka berdasar
atas perbedaan tajam antara kekalahan dunia Arab dan kejayaan Barat. Beberapa
pemikir liberal memunculkan pemikiran liberal dalam karya mereka, diantaranya
·
Constantine
Zurayq
Constantine Zurayq (1950) seorang
sejarawan Suriah, ia merefleksikan pemikirannya dalam karya Ma’na al-Nakba (makna
kekacauan) yang setelah 2 tahun direvisi menjadi Ma’na al-Nakba Mujaddadan. Hampir
dalam semua karya Zurayq menekankan pentingnya transformasi dunia Arab, dari
masyarakat yang emosional, ilusif, mitologis, dan puitis menjadi sebuah
masyarakat yang memiliki orientasi, rasional dan ilmiah seperti masyarakat
Barat. Menurut Zurayq, salah satu faktor kemunduran bangsa Arab juga adalah
mereka terbagi dalam beberapa kubu, nasionalis, sosialis, dan reaksional.
·
Zaki Najib
Mahmud
Mahmud menyatakan bahwa bangsa Arab
harus berpikir rasional dalam melakukan pembaruan, salah satunya merekonsiliasi
antara kultur Arab dan modernitas. Proses tersebut dapat dilakukan dengan cara
mengambil segala hal yang dapat diaplikasikan dan menyingkirkan yang tidak
aplikatif dari tradisi mereka. Mahmud juga amengemukakan mottonya, yaitu Motto
Mahmud: “keterbukaan pikiran terhadap segala bentuk pengalaman; manfaat
pengalaman semacam itu harus dipertimbangkan dengan akal dan rasio”.
3.1.2
Kecenderungan
Religius.
Setelah Perang Dunia II, pengaruh
gerakan keagamaan hanya menjadi minoritas, karena pemikiran nasionalis dan
sosialis sekuler mendominasi dunia Arab. Kendati pengaruh keagamaan hanya minoritas,
bukan berarti mereka hanya diam. Mereka tetap mengemukakan pendapat mereka.
·
Sayyid Qutb
(1906-1966)
Qutb
bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, dia menulis beberapa karya yang di
dalamnya berisi tentang usulannya membentuk system politik dan ideology yang
islami dan menolak segala macam bentuk pemerintahan. Hal ini menyebabkan ia
ditahan selama 12 tahun sebelum akhirnya Qutb dieksekusi pada tahun 1966.
·
Malik bin Nabi
Malik bin Nabi yang mengungkapkan
pendapatnya tentang keagamaan dalam karyanya yang menyerukan “kebangkitan
komunitas Islam dari tidur panjangnya”. Malik mengungkapkan bahwa wahyu dan
ide-ide religious merupakan penggerak sejarah dan fondasi realitas yang
sebenarnya. Selain itu, Salah al-Din Al-Munajjid menyatakan bahwa penyebab
kekalahan bangsa Arab dalam perang Iran adalah mereka tidak lagi beriman, maka
Tuhan tidak bersedia menolong mereka.
Ada
pula pemikir kritis dari gerakan religus, diantaranya Muhammad Amara, Adel
Husein, Thariq al-Busyri dan Hasan Hanafi. Kelompok ini sering disebut kelompok
kiri Islam atau “kaum salaf baru”. Tema pemikiran mereka adalah merekonsiliasi
kekuatan Islam dan menginvasi kultural Barat. Oleh karena itu, tugas paling
penting yang harus dilakukan adalah menjaga identitas Arab-Islam dan kembali membangkitkan
keotentikannya.
Semua
yang diungkapkan para pemikir religious ini tidak jauh dari menolak segala
sesuatu yang berasal dari Barat, berusaha menjaga identitas Arab-Islam dan kembali
membangkitkan semangat keagamaan dan nasionalis Arab. Karena posisi gerakan
religious merupakan minoritas di masa ini, kelompok nasionalis proogresif terus
menghangat di berbagai Negara Arab. Sementara itu, dengan penuh keputusasaan,
gerakan nasionalis progresif mencoba meraih kembali posisi istimewa yang pernah
diraihnya beberapa decade setelah kemerdekaan.
3.2 Progresif dari Kemerdekaan dan
Pasca Kemerdekaan, 1945-1992
Pada pembahasan sub bab ini, secara esensial periode pertama
dicirikan dengan spirit kebangkitan, dan periode keduanya dicirikan dengan
mobilisasi dan perjuangan nasional. Sedangkan pada periode kemerdekaan dan
pasca kemerdekaan dicirikan dengan sebuah upaya untuk mencari makna-makna dan
berbagai penyebab kegagalan bangsa Arab dalam menghadapi tantangan mereka.
Kemudian pada ada pembahasan ini, periode-periodenya bisa di bagi lagi dalam
periode kemerdekaan (1945-1967) dan periode pasca kemerdekaan(1967 hingga
selanjutnya).
Pada
bagian pertamanya dikarakteristikkan oleh tumbunhnya berbagai macam gerakan
nasional sekuler yang berakhir ketika mencapai puncak kehancurannya setelah
mengalami kekalahan perang Arab-Israel pada tahun 1967. Setelah peperangan ini,
mulailah masuk ke fase kedua yang dipenuhi harapan besar yang disuarai oleh
gerakan-gerakan perlawanan rakyat Palestina sebagai pelopor revolusi Arab.
Kemudian gerakan-gerakan rakyat Palestina ini mulai berubah menjadi sebuah
organisasi yang akan menjadi bagian dari system Arab yang lebih besar.
Setelah
Perang Dunia II, harapan Arab diluluhlantahkan oleh penghancuran Palestina dan
pendirian Negara Israel. Namun, setelah kejadian itu revolusi Mesir 1952
sesegera mungkin merevitalisasi dunia Arab dan membangkitkan gairah baru pada massa
Arab. Bangsa Arab pun seperti memperoleh kembali kehormatan dan dapat
memproyeksikan pandangan optimis terhadap masa depan. Namun lain halnya,
kebangkitan Islam yang hakiki baru teradi setelah revolusi Islam Iran 1979.
Setelah keadian itu, terjadi peralihan ke jalan Tuhan yang dilakukan oleh
banyak generasi muda Arab yang intelektual. Dalam hal ini, terdapat dua tren
keagamaan yang pertama yaitu aliran
konservasif Saudi yang pertama-tama muncul perlahan ke permukaan. Tren
keagamaan ini mengikuti jejak yang telah ditempuh oleh al-ikhwan al-Muslimuun.
Kemudian yang kedua adalah tren yang diisi oleh bekas penganut nasionalisme dan
sosialisme, yang telah beralih ke jalan Tuhan yang lebih moderat dan berupaya
dalam menyatukan kekuatan lama dan baru dalam
kerangka Islam yang kiri dan nasionalis. Namun diantara mereka banyak
yang tidak berhasil dalam menjalankannya.
Diantara
orang-orang yang gagal dalam merekonsilisasi kekuatan religius dan nasional
tersebut diantaranya adalah para
figure-figur kiri seperti Muhammad ‘Amara, Adel Husein, Thariq al-Busyri, dan
Hasan Hanafi. Tema utama dalam progresifisasi mereka yang utama adalah
merekonsilisasi kekuatan Islam dan Nasionalis Arab dan menghadapi invasi kultur
Barat. Kelompok ini sering di sebut Kiri Islam atau “Kaum Salaf baru”. Kelompok
ini menegaskan untuk menjaga identitas Arab-Islam dan kembali membangkitkan
keontektikannya. Salah satu gagasan yang selalu dipegang oleh kelompok ini
ialah penolakan terhadap segala macam gagasan yang pada dasarnya dipinjam, diimpor,
ataupun asing yang mengatasnamakan otentisitas. Kemudian dari hasil dari
progresifitas ini ialah pergeseran yaitu dari konfrontasi menjadi pemutusan
hubungan dengan Barat, dari liberalisai menjadi akomodasi terhadap tradisi yang
represif atau yang lebih terlihat atas nama keontentikan.
Orang-orang
yang berusaha dalam progresifitas dalam perubahan diantaranya, Muhammad ‘Amara
yang menyuarakan tentang warisan Islam dan Arab secara progresif, sembari
mempertahankan penggabungan hukum Islam ke dalam system perundangan Mesir dan
mengatakan bahwa sekulerisme bukanlah masa depan bagi perdaban Arab-Islam.
Kemudian ada Tariq al-busyri yang mengupayakan adanya relasi yang lebih baik
antara Islam dan Kristen dalam kerangka persatuan nasional, namun bersikeras menggangap
sekuler adalah tumbuhan asing.
Progeresifisme,
pemikiran progresif Arab bisa diindentifikasikan berdasar asas sikap kritis,
pandangan futuristic, pemahaman sosialis dan sekuler, serta tafsir ilmiahnya
yang secara khusus menekankan pada analisis kelas. Salah satu ciri khas dari
kelompok ini ialah paradigma yang berorientasi ke masa depan, menolak
interpretasi idelistisdan murni kaltural serta berusaha meneliti segala sesuatu
dengan mengaitkan dengan konteks social dan historisnya.
Gerakan
progresif terdiri atas tiga subkelompok yang dibedakan berdasarkan kerangka
analitis yang diantaranya yaitu Marxisme klasik dan partisan, teori dependensi,
dan kritisisme social.
1. Marxisme
klasik dan partisan diwakili oleh Husein Mroueh, Mahmud Amin al-‘Alim, dan Thayib
Tiizzini. Dari kelompok ini mengupayakan pemikirannya melalui buku yang mereka
tulis dengan metode materialisme historis untuk menghasilkan hasil yang
progresif dari gambaran-gambaran masa lalu yang telah diteliti.
2. Teori
dependensi diwakili oleh para pendukung dependensi seperti Saamir Amin, Mahmud
Abdel Fadil, dan Galal Amin. Teori ini memberi pemahaman alternative sekaligus
redefinisi atas proses pembangunan. Proposisi dari teori ini diantaranya
pertama, melakukan pembangunan bertujuan untuk mengintergrasikan Negara-negara
dunia ketiga ke dalam system kapitalis dunia. Kedua, pekerja dalam tata
perekonomian dunia dikelompokkan menjadi satu golongan yang dimana
Negara-negara yang kurang penting memproduksi bahan-bahan mentah, dan Negara
Barat memproduksi barang-barang industry.
3. Kritisisme
social diwakili oleh para kritikus social seperti Hisyam Syarabi, Abdallah
Laroui, Syadiq al-Azm, Abdul kabir Khatib, dan intelektual-intelektual lainnya
yang mengikuti gagasan Marxisme, struktualisme Eropa, dan analisis social. Para
kritikus dari subtren ini melakukan pendekatan kritsis kaum progresif, yang
bersumber dari sebuah komitmen untuk melakukan perubahan trandesental terhadap
masyarakat Arab dengan cara menerapkan demokrasi, persatuan nasional,
sekularisme, dan sosialisme.
DAFTAR
PUSTAKA
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan
Bintang,
Jakarta, 1975,
Hasan Al-Banna,
Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Terj. Anis Mata,
(Solo:Intermedia,2001)
[1]
Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, Panitiya Penerbit Dunia Baru Islam,
Jakarta, 1996, Hal. 13.
[5]
Harun Nasution,
Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang,
Jakarta, 1975, hal. 51.
[6]Debu Yandi, http://yandisangdebu.blogspot.com/2013/05/pokok-pokok-pemikiran-jamaluddin-al.html, diakses 06/10/2014, pukul 21:00
WIB.
[7] Hasan
Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Terj. Anis Mata,
(Solo:Intermedia,2001) hal 63
No comments:
Post a Comment