August 23, 2018

Pemikiran Arab Modern


Pemikiran Arab Modern

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri seluruh Dunia Islam sekarang ini sedang mengalami pergolakan yang maha dahsyat, terutama di negeri-negeri Arab bergolak menuju satu ide baru, stimulant baru dan aspirasi baru. Perang Dunia sangat mempengaruhi perubahan ini, lebih dari seabad yang lalu benih kesadaran itu telah mulai tumbuh, yang semakin mekar dan merata melanda negeri Arab.
Pada abad ke 18 dunia Islam jatuh ke jurang keruntuhan yang terdalam. Dimanapun tidak ada tandanya gairah dan yang ada dimana-mana terdapat kemacetan dan pembekuan. Kerusakan budi dan moral amatlah parahnya. Sejumlah universitas yang masih ada terdampar kepada pembekuan ilmu pengetahuan. Pemerintah menjadi despotis, kadang-kadang menjadi anarki dan berbagai cara pembunuhan, seperti para raja berkuasa diatas sewenang-wenangnya dan bertangan besi. Begitupun agama Islam juga membeku seperti hal-hal lain. Ketauhidan yang diajarkan oleh Muhammad s.a.w telah diselubungin kurafat dan faham kesufian. Masjid-masjid ditinggalkan oleh golongan besar yang awam. Mereka menghias diri dengan azimat, penangkal penyakit dan tasbih. Mereka belajar pada fakir atau darwis dan menziarahi kuburan orang-orang keramat. Mereka memuja orang-orang itu sebagai orang suci dan perantara dengan Allah, karena menganggap dia begitu jauh bagi manusia biasa untuk pengabdian langsung.[1]
Pengaruh Barat adalah gerak dahsyat dalam transformasi modern Timur. Pengaruh Barat ini bukan saja mengubah dunia Arab tetapi juga seluruh Asia dan Afrika.. Albert Hourani mengatakan bahwa pemikiran Arab Modern bermula ketika pada abad ke-19 orang-orang Arab terpelajar mulai berkenalan dengan gagasan dan institusi modern Eropa serta merasakan kekuatannya. Berbeda dengan Hourani, Syarabi beragumen bahwa kemunculan para intelektual harus dilihat sebagai manisfestasi dari proses pendidikan dan pencerahan yang diakibatkan oleh meningkatnya hubungan dengan Barat.[2]
Beberapa penelitian lain memandang pemikiran Arab diilhami oleh paradigma Barat dan dibentuk oleh kebutuhan akan modernisasi. Seorang kritikus sastra asal Libanon Ra’if al-Khuri berpendapat bahwa pengaruh gagasan Barat, terutama gagasan-gagasan yang berasal dari revolusi Perancis sangat mempengaruhi pemikiran Arab. Abdel Malek menyimpulkan bahwa pemikiran Arab memiliki isi dan temanya sendiri dan menunjukkan dua tendensi utama. Tendensi pertama, fundamentalis Islam,  yang esensinya adalah seruan kembali kepada kemurnian ajaran Islam dengan tujuan mengembalikan kejayaan masa lalu. Kedua, liberalisme modern yang bertujuan membentuk masyarakat modern yang mirip dengan Barat.[3] Perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia Arab sekarang tidaklah hanya sekedar meniru Barat, tetapi suatu usaha untuk tujuan-tujuan Timur, berdasarkan sintese baru—suatu asimilasi dengan Barat.[4]
Para peneliti dan sejarawan pemikiran Arab membagi munculnya pemikiran Arab modern kedalam tiga fase; fase formatif yang dimulai dari tahun 1850-an hingga perang dunia 1(1914), periode perjuangan nasionalis untuk meraih kemerdekaan yang terjadi ada masa di antara dua perang Dunia (1918-1945), dan fase kemerdekaan dan pasca kemerdekaan (1945-1992).







BAB II
ISI
2.1. Pemikiran Arab pada masa Pembentukan (1850-1914)
Pemikiran Arab kontemporer muncul dalam sebuah masa transisi yang dibentuk oleh keruntuhan Dinasti Usmaniyah dan invasi dan dominasi kekuatan Eropa atas negara-negara Arab. Pengaruh modern Barat atas Timur belum pernah ada sebelumnya baik dalam intensitasnya atau luasnya. Pengaruh penuh pembaratan atas Timur sebagai keseluruhannya baru saja mulai sekitar abad pertengahan ke 19. Penyebabnya ini adalah karena adanya jalan raya dan rel kereta api, pos dan kawat, buku dan surat kabar, metode dan ide, yang telah menerobos atau dalam proses perembesan masuk kedalam dunia Timur.
Debat-debat antar intelektual yang mewakili berbagai macam segmen dan kelas sosial mengerucut pada isu tentang identitas nasional dan pembaruan guna merespons tantangan baru ini. Beberapa kelompok menfokuskan diri pada kelemahan yang diderita Timur dan obat yang diperlukan untuk memulihkannya; sumber kekuatan dan kesejahteraan Eropa; konflik antara Barat dan Timur; isu-isu lain yang berpusar diantara identitas nasional dan pendifinisian kembali konsep tentang ummah, reformasi melalui sains dan agama dan inovasi-inovasi Barat yang bias diadopsi tanpa perlu berkonflik dengan agama dan orientasi nilai mereka. Untuk memfokuskan diri mengapa pemikiran Arab muncul pada tahun 1850-1914, penulis membagi kedalam tiga kecenderungan,yaitu kecenderungan religius, kecenderungan Liberal, dan kecenderungan progresif.
2.1.1        Kecenderungan Religius
Tradisional versus Reformis. Pada periode pembentukan ini terdapat suara dominan yaitu gagasan-gagasan dari para  pemikir religious yang masih tetap memegang teguh pentingnya kekhalifahan Islam. Dikalangan pemikir Islam telah terjadi perbedaan pendapat antara kaum Tradisional dan Reformis. Kelompok tradisional yang terdiri atas para Ulama yang menjadi penasihat resmi sultan dan keluarga-keluarga feudal. Kelompok tradisional ini bisa disebut sebagai kelompok yang menggunakan Islam sebagai mekanisme control yang mengekspresikan pandangan-pandangannya secara asertif bukan analitis sebagai senjata pamungkas politik represi. Para ulama seperti Abu Huda al-Sayyadi bisa digolongkan sebagai satu wakil dari kelompok tradisionalis pada masa itu.
2.1.1 Kecenderungan Religius
Sementara kelompok reformis muslim menggunakan pendekatan yang berbeda. Bersama-sama , para intelektual ini memimpin gerakan salafiyah untuk Meremajakan lagi khalifahan Islam dengan cara kembali pada sumber-sumber asli dan kemurniaan Islam masa lalu. Kelompok ini menentang invasi Barat, namum memberikan apresiasi pada sains dan raihan kultural Barat. Tokoh-tokoh dari kelompok ini diantaranya Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Rida.
·         Jamaluddin Al Afghani
Jamaluddin Al Afghani adalah salah seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad ke-19, yang agak berbeda dari kedua pemimpin sebelum dia: Muhammad bin Abdul Wahab (abad-18) dan Muhammad bin ‘Ali As-Sanusi (awal abad-19). Jamaluddin lahir di Afghanistan pada tahun 1839 M. meninggal dunia di Istambul di tahun 1897 M. ketika baru berusia dua puluh dua tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 M. Ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia dia di angkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi perdana menteri. Dalam pada itu Inggris telah mencampuri soal politik dalam negeri Afghanistan dan dalam pergolakan yang terjadi Afghani memilih pihak yang melawan golongan yang disokong Inggris. Pihak pertama kalah dan Afghani merasa lebih aman meninggalkan tanah tempat lahirnya dan pergi ke India di tahun 1869 M.[5]
Jamaludin Al-Afghani mengajak umat muslim untuk bersatu dan mereformasi Islam baik sebagai agama maupun sebagai sebuah peradaban, agar bisa menghadapi bahaya yang dibawa oleh Eropa. Dalam pemikirannya, Afghani mengusulkan dua langkah perbaikan yang terlihat kontradiktif, kembali pada sumber asli Islam dan mengadopsi gagasan-gagasan dan institusi Eropa yang liberal termasuk sains, konstitusi, persatuan komunal, pemilihan umum, dan dewan perwakilan nasional ala Barat.
Jamaluddin melihat empat penyakit yang menggerogoti Islam; dan menawarkan delapan solusinya. Keempat penyakit itu adalah:
·         absolutism dalam mesin pemerintahan,
·         sifat kepala batu dan kebodohan massa rakyat Muslim serta keterbelakangan mereka dalam ilmu dan peradaban,
·         tersiarnya ide-ide korup dalam bidang agama dan nonagama
·         dan pengaruh kolonialisme Barat.
Sesuai dengan empat penyakit itu, Jamaluddin memberikan delapan hal sebagai obat, sebagaimana ditulis oleh Muthahhari dalam Islamic Movement of the Twentieth Century.[6]
(1)                         Bangkitkan kesadaran berpolitik melawan absolutisme.  Harus dijelaskan kepada massa bahwa perjuangan berpolitik adalah kewajiban agama; bahwa tidak ada pemisahan antara agama dan politik; bahwa setiap orang harus terlibat dalam nasib politik Negara dan masyarakat Islam.
(2)                         Lengkapi diri dengan sains dan teknologi modern. Dominasi Barat terjadi karena keunggulan dalam sains dan teknologi. Kaum Muslim tidak harus menolak segala hal yang dating dari Barat. Mereka harus belajar dari Barat, tetapi bukan mengadopsi peradaban mereka; sains dan teknologilah yang harus mereka kuasai.
(3)                         Kembalilah kepada Islam yang sebenarnya. Praktek-praktek korup dan tambahan-tambahan yang tidak bermanfaat dalam pengalaman Islam harus dibuang; umat harus dikembalikan kepada Al-Quran, As-Sunnah, dan kehidupan suci pada zaman permulaan Islam.
(4)                         Hidupkan akidah Islam sebagai akidah yang komprehensif dan independen. Islam adalah agama sains dan kerja keras, agama yang menuntut tanggung jawab, agama memuliakan akal; dan membenci takhayul. Dia menganjurkan murid-muridnya untuk menghidupkan kembali filsafat dalam khazanah pemikiran Islam.
(5)                         Lawan kolonialisme asing. Penjajah asing di dunia Islam bukan saja mengandung implikasi eksploitasi politik, tetapi jiga dominasi ekonomi dan budaya. Kaum Muslim harus disadarkan bahwa sekularisme adalah taktik Barat untuk melepaskan pengaruh Islam dalam masyarakat. Harus ditegaskan bahwa kultur Barat tidak akan membawa kemakmuran manusia. Kultur Barat adalah kultur penindasan.
(6)                         Tegaskan persatuan Islam. Untuk melawan invasi Barat, kaum Muslim harus bersatu. Bersatu tidaklah berarti menyatukan mazhab. Bersatu berarti menyatukan front politik dan organisasi. Ia mengecam pembagian Islam dalam negara-negara kecil dan mengkhutbahkan Pan-Islamisme.
(7)                         Infuskan ruh jihad ke jasad masyarakat Islam yang setengah mati. Menghadapi kehancuran akibat Barat, kaum Muslim harus menegakkan Islam sebagai agama perlawanan dan perjuangan.
(8)                         Hilangkan rasa rendah diri dan rasa takut terhadap Barat. Lewat sebuah cerita kiasan dalam Al-‘Urwah Al-Wutsqa, ia mengingatkan kaum Muslim bahwa ketakutan terhadap barat adalah ilusi yang dibentuk sendiri. Kaum Muslim tidak boleh takut terhadap ingar-bingar suara barat. Diperlukan orang yang menantang maut untuk menjatuhkan kepongahan Barat.

Seorang reformis berpengaruh di Mesir dan Negara-negara Arab lainnya adalah Muhammad Abduh,
·         Muhammad Abduh
Muhammad Abduh memulai kariernya sebagai seorang pemberontak dan berakhir sebagai partner otoritas sebelum usianya genap empat puluh tahun. Dia juga berhubungan baik dengan Lord Cromer, Konsul Jenderal Inggris dan mendedikasikan dirinya untuk memformulasikan interpretasi Islam yang mencerahkan. Seruannya untuk kembali pada sumber-sumber asli Islam bersanding harmonis dengan seruan mengenai perlunya mengadaptasi tuntutan kehidupan modern.
Ia ingin membebaskan pemikiran Islam  dari kungkungan tradisi dengan mengembalikannya pada sumber-sumber Islam, mereformasi sistem hokum Islam dan memodernisasi pola pendidikan keagamaan. Pendekatannya lebih berfokus pada pendidikan dan mencoba menbujuk sultan untuk mereformasi sistem pendidikan.

·         Muhammad Rasyid Rida
Dia menyerukan persatuan Islam dan Arab dalam sebuah  sistem kekhalifahan yang diperbaharui yang memadukan pemberlakuan undang-undang untuk membatasi kekuasaan dan mengakhiri tirani. Setelah restorasi undang-undang Turki tahun 1908, Rida memperingatkan bahwa terus melanggengkan perselisihan dan pertikaian antar Arab hanya akan membahayakan bangsa Arab karena demi kepentingan bersama kita harus bersatu dan loyal terhadap Turki. Antusiasme Rida ini bersumber pada kepercayaan bahwa Islam jika ditafsirkan dengan benar akan menjadi satu solusi yang kuat bagi persoalan-persoalan politik, sosial, dan religius modern.

2.1.2 Kecenderungan Liberal
Dalam gerakan ini memiliki tujuan yang ingin menggantikan umma Islam dengan sebuah umma nasionalis, mengganti system teokrasi dengan sekulerisme serta menitik beratkan pada orientasi masa depan. Hal ini didukung oleh karena adanya gagasan dari Eropa serta factor internal dari kekhalifahan Ustmaniyah. Factor internal tersebut adalah desentralisasi, muncul keluarga-keluarga penguasa local, regional otonom,tersebarnya pendidikan, kebangkitan etnisitas kultur Arab serta munculnya kelas menengah.
Kecenderungan liberal memiliki tokoh-tokoh yang berlawanan dengan salafiyah. Tokoh-tokoh tersebut Rifaat al Tahtawi, Ahmad Faris Al Syidiaq, Butrus al Bustani, Yakub Saruf, Qasim Amin, Sudqi al Zahawi dan ahmad Lutfi al Sayyid.
·         Rifaat al Tahtawi
Rifaat al Tahtawi merupakan seorang penulis, guru, translator dan ilmuwan. Tahtawi merupakan ilmuwan Mesir pertama yang menuliskan tentang budaya Barat. Tahtawi lahir tahun 1801 di desa Sohag. Tahtawi mendapat beasiswa ke Perancis pada tahun 1826 atas rekomendasi gurunya. Tahtawi selama di Perancis menulis buku hariannya yang berjudul Rihla, buku tersebut menjelaskan kehidupannya selama di Perancis. Tahtawi mempelajari ilmu filsafat sosial politik, matematika dan geometri.
Tahtawi kembali ke Mesir pada tahun 1831, kemudian pada tahun 1835 Tahtawi mendirikan sekolah bahasa. Selama Tahtawi bekerja di sekolah tersebut, Tahtawi menerjemahkan buku-buku Eropa ke bahasa Arab. Tahtawi menerjemahkan buku tentang militer, geografi dan sejarah Eropa. Tahtawi telah menterjemahkan lebih dari 2000 karya tulis ke bahasa Arab. Tahtawi memiliki gagasan bahwa Mesir seharusnya memiliki kekuasan atas kewenangan politik dan merdeka.
Tahtawi sebagai seorang penulis, dia memiliki karya yang berjudul Takhlis al Ibriz fi Taklhis Bariz (pemurnian emas dan ringkasan tentang Paris). Buku tersebut menjelaskan Sistem konstitusi & politik Perancis serta Konsep kesetaraan. Tahtawi menyerukan tentang nasionalisme Mesir sebagai alternative umma yang religious. tahtawi menyatakan bahwa untuk menjaga nasionalisme maka masyarakat harus menerima kehidupan modern.
·         Butrus Al Bustani
Butrus Al Bustani adalah seorang ilmuwan asal Lebanon. Bustani merupakan salah satu figure pembaharuan Arab.  Bustani lahir dari keluarga yang beragama Nasrani Maronit pada tahun 1819. Pada umur 11 tahun, Bustani disekolahkan di ‘Ayn Waraqa. Bustani mempelajari bahasa Syria, Latin, Perancis, Italia dan Inggris selama 10 tahun di ‘Ayn Waraqa. Bustani pindah ke Beirut pada tahun 1840, disana Bustani bertugas sebagai pembimbing pasukan Inggris untuk membantu Ibrahim Pasha dari Syria.
Bustani bekerja untuk gerakan missionaris Amerika di Beirut. Bustani selama bekerja di gerakan tersebut menerjemahkan Bible versi  Van Dyk’s. Beliau menulis mengenai Perang sipil lebanon 1860 dengan konsep wathan. Tujuan beliau menulis hal tersebut karena ingin menggantikan sektarian dengan nasionalisme. Bustani menyusun Kamus bahasa Arab Al Mukhit, Ensiklopedia berbahasa Arab Da,irat al-Ma’arif, mendirikan sekolah Al-Madrasah Al-Wathaniyyah serta menerbitkan Nafir Surriyah.
·         Yakub Sarrouf dan Nimr Faris
Mereka merupakan intelektual dari Beirut. Mereka mendirikan majalah Al-Muqtafaf yang berisi gagasan-gagasan nasionalisme Arab. Mereka juga melakukan pengkritikan terhadap AUB (American University of Beirut) : “ilmu pengetahuan tidak bisa diraih oleh universitas jika tidak melepaskan diri dari fanatisme agama.
·         Qasim Amin
Qasim Amin salah satu pengacara Mesir, pencetus gerakan nasional dan Feminis pertama di Mesir. Amin memiliki latar belakang keluarga yang memiliki kedudukan tinggi. Ayahnya merupakan anggota pemerintah Kurdistan dan ibunya putri dari aristocrat Mesir. Amin mentuntaskan sekolah hukumnya pada umur 17 tahun. Amin mendapat beasiswa untuk belajar di Universitas Montepellier, Perancis.
Amin mendapat pengaruh Barat akan gaya hidup dan pandangannya akan perempuan. Amin menyatakan bahwa Beliau memperjuangkan kebebasan perempuan dalam Buku Takhrir al Mar’ah (pembebasan Perempuan) 1899 dan Buku al-Mar’ah al-Jadidah (perempuan Baru) 1901. Buku pertama menyatakan hak-hak perempuan dan rekonsilisasi antara agama dan gagasan modern. Buku kedua menyatakan gagasan dari ilmu social modern, konsep liberal dan kebebasan individu.
Terlihat bahwa para intelektual Arab mengadopsil pemikiran-pemikiran yang memiliki nilai positif dari pemikir Barat. Mereka menyesuaikan dengan kultur Arab.
2.1.3 Radikal Progresif
Gerakan ini memiliki pemahaman yang berbeda untuk nasionalisme, sekularisme dan sosialisme. Gerakan ini juga menafsirkan materialism historis. Tokoh-tokoh gerakan radikal progesif memiliki pemikiran yang sangat berbeda.
·         Abd Rahman al Kawakibi
Al Kawakibi adalah Intelektual modern Arab pertama yang membuat teori demokrasi, sekulerime dan sosialisme Arab. Intelektual modern Arab pertama yang berpandangan akan sistematis Arabisme berdasarkan atas Kultur dan geografi. Buku Ummu al-Qura, berisi keinginan Kawakibi mengembalikan kekhalifahan ke bangsa Arab. Buku Tabha’I al-istibdad,  berisi keinginan membebaskan diri dari despotism.
·         Syibli Syumayyil
Intelektual Arab pertama yang menguraikan sosialisme sebagai ideologi dan program dengan pendekatan materialisme ilmiah. Beliau menyatakan Agama merupakan elemen pemecah bela dan masyarakat akan maju melalui sains bukan agama.
·         Farah Antun
Pendiri majalah Al Jamiah yang menyuarakan tentang sains dan sosialisme serta memperkenalkan pemikir Barat : Marx, Nietzche & Tolstoy. Pola pikirnya dipengaruhi dari Renan
2.2      Pemikiran Arab dan Perjuangan Meraih Kemerdekaan Nasional 1918-1945
Pada masa periode sebelum 1918-1945 pemikiran Arab didominasi oleh persoalan-persoalan mengenai kultural dan kebangkitan. Paska Perang Dunia I, persoalan yang ada di sekitar bangsa Arab berubah menjadi persoalan melawan dominasi Eropa. Hal ini sangat menyulitkan bangsa Arab karena Eropa dengan ganas berupaya mengobrak-abrik masyarakat Arab pada saat itu. Sudah menjadi kewajiban bagi suatu bangsa untuk mempertahankan keutuhan bangsa dan negaranya dari campur tangan asing. Oleh sebab itu, mulailah bermunculan para pemikir dan tokoh nasionalis yang mempengaruhi kebangkitan bangsa Arab.
Periode 1918-1945 bisa dikatakan sebagai peridoe di antara dua Perang Dunia. Mulainya periode ini ditandai oleh semakin berkembangnya pemikiran yang memainkan peranan utama dari setiap gerakan sosial. Gerakan yang sangat mencolok adalah gerakan nasionalis. Selain gerakan nasionalis, terjadi pula revivalisme Islam dan sosialisme liberal. Bangsa Arab melakukan berbagai upaya dalam melawan rintangan yang mereka hadapi, salah satu upayanya adalah pembentukan-pembentukan gerakan ideologis dan politik.
Kaum nasionalis bangsa Arab mulai membentuk partai-partai politik pada periode ini. Beberapa partai politik pertama yang berdiri adalah Partai Wafd di Mesir, Liga Aksi Nasional, Partai Sosialis Nasional Suriah di Suriah, Partai Al-Ahali di Iraq, Partai Destour di Magrib, Partai Kemerdekaan di Magrib. Bukan hanya partai politik, konon selama periode ini partai komunis banyak terbentuk.
Orang-orang yang tergabung dalam partai politik ini adalah masyarakat dari kelas menengah, rakyat umum, bukan dari kalangan para elit. Keruntuhan Dinasti Usmaniyah membangkitkan kesadaran kaum elit untuk membangun kembali kekhalifahan Islam, namun bedanya kali ini mereka ingin agar kekhalifahan berpusat di wilayah Mesir atau Arab.
·         Ali Abdul Raziq (1888-1966)
Ali Abdul Raziq adalah seorang syeikh Universitas Al-Azhar Kairo yang lahir pada tahun 1888. Ia berasal dari keluarga feodal yang aktif dalam kegiatan politik. Termasuk ayahnya juga berkecimpung dalam dunia politik. Ali Abdul Raziq dipecat dari Universitas Al-Azhar Kairo karena pemikirannya yang tidak sesuai dengan ulama-ulama Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1925 ia menerbitkan buku kontroversionalnya yang berjudul Al-Islam wa Al-Ushul Al-Hikm (Islam dan Basis Otoritas).
Dalam bukunya ia menyatakan bahwa sistem kekhalifahan yang berdiri setelah Nabi Muhammad SAW meninggal merupakan sebuah tatanan politik semata, bukan religius. Menurutnya, salah jika umat Islam tidak boleh menerapkan sistem politik yang sesuai dengan keinginan dan persetujuan rakyat suatu bangsa. Pemikiran-pemikiran Ali Abdul Raziq yang ia tuang dalam buku tersebut secara umum adalah tentang sekularisme, yaitu memisahkan antara agama dan negara. Dia berpendapat bahwa agama tidak ada kaitannya sama sekali dengan negara.
·         Taha Husein (1889-1973)
Taha Husein adalah figur kesusastraan dan pendidikan terkemuka bangsa Arab. Tahun 1926 ia menerbitkan buku Fi Al-Syi’r Al-Jahiliy (Tentang Puisi Pra-Islam). Dalam bukunya ia mempertanyakan otentisitas puisi pra-Islam yang dianggap telah membentuk pemikiran Arab. Ia kemudian menyimpulkan bahwa mayoritas puisi pra-Islam disusun pada masa kemunculan Islam, bukan memang benar-benar berasal dari sebelum Islam datang.
Sepuluh tahun kemudian Taha Husein menerbitkan buku lagi dengan judul Mustaqbal Al-Tsaqafa fi Mishr (Masa Depan Kebudayaan Mesir). Dalam buku ini ia menyimpulkan bahwa Mesir lebih condong ke Barat, bukan ke Timur. Ia menegaskan bahwa Mesir harus mengikuti jejak Eropa agar bisa setara dan menjadi partner peradaban mereka. Taha Husein sendiri menganut nasionalisme Mesir. Kesatuan wilayah baginya merupakan pokok dari solidaritas sosial dan perasaan kenegaraannya tertuju pada tanah air. Dalam masalah kebangsaan ia tidak membedakaan antara warga Mesir muslim dan non muslim.
·         Hassan Al-Banna (1906-1949)
Ia adalah pendiri Al-Ikhwān Al-Muslimūn di tahun 1928. Ia menyeru kelompok kelas menengah agar kembali pada mata air Islam. Dengan ketaatan terhadap hukum Islam kekuasaan dan kejayaan bisa dibangkitkan lagi oleh sebuah negara Islam. Ia percaya bahwa kemunduran kaum muslim adalah adanya kerenggangan dengan agama. Reformasi berarti kembali pada ajaran Islam.
Ia pernah mengatakan bahwa sesungguhnya seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali jika ia menjadi seorang politikus, mempunyai pandangan jauh ke depan dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan bangsanya. Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsanya. Ia juga pernah memaparkan bahwa sesungguhnya dalam Islam ada politik, namun politik yang padanya terletak kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah politik kami.[7]
·         Salama Musa (1887-1958)
Pemikiran Salama Musa yang menghantarkannya dalam barisan pemikir sekuler banyak tertuang dalam bukunya Al-Yaum wa Al-Ghad.   Salama Musa adalah seorang pemikir yang pernyataannya terlalu transparan vulgar dan kontroversial. Ia bahkan berani melintasi batas-batas rawan kesakralan teks-teks wahyu. Jika melihat beberapa pernyataan darinya yang cukup berani, tidak sedikit orang yang menganggapnya orang Barat yang non muslim. Ia banyak menghasilkan tulisan mengenai sosialisme, demokrasi politik, teori evolusioner, nasionalisme Mesir, sastra dan sekularisme.
Ia menganggap tradisi muslim dan Arab terbelakang, dan menyerukan agar Arab mengadopsi peradaban Barat secara total. Ia mengatakan “Meski matahari terbit di Timur, namun cahaya datang dari Barat.” Ia juga dengan tegas menyatakan, “Inilah madzhabku yang kujalani selama hidupku baik secara sembunyi ataupun terus terang. Saya adalah kafir di Timur dan mukmin di Barat.”


BAB III
3.1  Periode Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan (1945-seterusnya)
Periode pertama dicirikan oleh spirit kemerdekaan dan periode kedua dicirikan oleh mobilisasi dan perjuangan nasional. Pada periode ketiga, dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode kemerdekaan dan periode pasca kemerdekaan. Periode kemerdekaan (1945-1967) merupakan periode awal didirikannya gerakan nasional sekuler, namun setelah perang antara Arab-Israel yang terjadi pada tahun 1967 gerakan nasional sekuler ini hancur. Setelah peperangan ini, dimulailah fase kedua, yaitu Fase yang dipenuhi harapan besar yang ditiupkan oleh gerakan perlawanan rakyat palestina sebagai revolusi Arab. Gerakan perlawanan rakyat Palestina selanjutnya menjadi sebuah organisasi dan kemudian menjadi sistem Arab yang lebih besar.
Pada tahun 1991, Irak kalah dalam perang Teluk, ini menjadikan bangsa Arab disibukkan mencari penyebab terjadinya krisis yang berkepanjangan dan tidak berusaha untuk melakukan pembaruan.Setelah itu, penderitaan bangsa Arab ditambah lagi dengan penghancuran Palestina dan pendirian Israel setelah Perang Dunia II. Harapan bangsa Arab Arab sempat bangkit ketika terjadi revolusi Mesir pada tahun1952 dan revolusi Aljazair pada tahun 1954-1962. Revolusi kedua Negara tersebut mengobarkan semangat untuk bersama-sama membentuk sejarah dan menyiapkan diri untuk memasuki era baru. Harapan bangsa Arab seakan dibuyarkan dengan kekalahan mereka pada Perang Juni pada tahun 1967. Perang tersebut meluluhlantahkan impian bangsa Arab akan masa depannya. Evolusi pemikiran Arab dalam merespons perubahan kondisi dan peristiwa historis ini juga dapat dianggap sebagai garis besar dari berbagai pandangan yang berlawanan dari tiga identifikasi berikut: liberal, religious, dan progresif.

3.1.1        Kecenderungan Liberalisme
Para pemikir liberal berusaha untuk memberi penjelasan dan mencari jalan keluar dari keterpurukan kehidupan bangsa Arab di sepanjang sejarah modernnya. Mereka cenderung hanya berfokus pada aspek-aspek kultural bukan sosial maupun ekonomi. Pemikiran mereka berdasar atas perbedaan tajam antara kekalahan dunia Arab dan kejayaan Barat. Beberapa pemikir liberal memunculkan pemikiran liberal dalam karya mereka, diantaranya
·         Constantine Zurayq
Constantine Zurayq (1950) seorang sejarawan Suriah, ia merefleksikan pemikirannya dalam karya Ma’na al-Nakba (makna kekacauan) yang setelah 2 tahun direvisi menjadi Ma’na al-Nakba Mujaddadan. Hampir dalam semua karya Zurayq menekankan pentingnya transformasi dunia Arab, dari masyarakat yang emosional, ilusif, mitologis, dan puitis menjadi sebuah masyarakat yang memiliki orientasi, rasional dan ilmiah seperti masyarakat Barat. Menurut Zurayq, salah satu faktor kemunduran bangsa Arab juga adalah mereka terbagi dalam beberapa kubu, nasionalis, sosialis, dan reaksional.
·         Zaki Najib Mahmud
Mahmud menyatakan bahwa bangsa Arab harus berpikir rasional dalam melakukan pembaruan, salah satunya merekonsiliasi antara kultur Arab dan modernitas. Proses tersebut dapat dilakukan dengan cara mengambil segala hal yang dapat diaplikasikan dan menyingkirkan yang tidak aplikatif dari tradisi mereka. Mahmud juga amengemukakan mottonya, yaitu Motto Mahmud: “keterbukaan pikiran terhadap segala bentuk pengalaman; manfaat pengalaman semacam itu harus dipertimbangkan dengan akal dan rasio”.
3.1.2        Kecenderungan Religius.
Setelah Perang Dunia II, pengaruh gerakan keagamaan hanya menjadi minoritas, karena pemikiran nasionalis dan sosialis sekuler mendominasi dunia Arab. Kendati pengaruh keagamaan hanya minoritas, bukan berarti mereka hanya diam. Mereka tetap mengemukakan pendapat mereka.
·         Sayyid Qutb (1906-1966)
Qutb bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin, dia menulis beberapa karya yang di dalamnya berisi tentang usulannya membentuk system politik dan ideology yang islami dan menolak segala macam bentuk pemerintahan. Hal ini menyebabkan ia ditahan selama 12 tahun sebelum akhirnya Qutb dieksekusi pada tahun 1966.
·         Malik bin Nabi
Malik bin Nabi yang mengungkapkan pendapatnya tentang keagamaan dalam karyanya yang menyerukan “kebangkitan komunitas Islam dari tidur panjangnya”. Malik mengungkapkan bahwa wahyu dan ide-ide religious merupakan penggerak sejarah dan fondasi realitas yang sebenarnya. Selain itu, Salah al-Din Al-Munajjid menyatakan bahwa penyebab kekalahan bangsa Arab dalam perang Iran adalah mereka tidak lagi beriman, maka Tuhan tidak bersedia menolong mereka.
Ada pula pemikir kritis dari gerakan religus, diantaranya Muhammad Amara, Adel Husein, Thariq al-Busyri dan Hasan Hanafi. Kelompok ini sering disebut kelompok kiri Islam atau “kaum salaf baru”. Tema pemikiran mereka adalah merekonsiliasi kekuatan Islam dan menginvasi kultural Barat. Oleh karena itu, tugas paling penting yang harus dilakukan adalah menjaga identitas Arab-Islam dan kembali membangkitkan keotentikannya.
Semua yang diungkapkan para pemikir religious ini tidak jauh dari menolak segala sesuatu yang berasal dari Barat, berusaha menjaga identitas Arab-Islam dan kembali membangkitkan semangat keagamaan dan nasionalis Arab. Karena posisi gerakan religious merupakan minoritas di masa ini, kelompok nasionalis proogresif terus menghangat di berbagai Negara Arab. Sementara itu, dengan penuh keputusasaan, gerakan nasionalis progresif mencoba meraih kembali posisi istimewa yang pernah diraihnya beberapa decade setelah kemerdekaan.

3.2  Progresif dari Kemerdekaan dan Pasca Kemerdekaan, 1945-1992
      Pada pembahasan sub bab ini, secara esensial periode pertama dicirikan dengan spirit kebangkitan, dan periode keduanya dicirikan dengan mobilisasi dan perjuangan nasional. Sedangkan pada periode kemerdekaan dan pasca kemerdekaan dicirikan dengan sebuah upaya untuk mencari makna-makna dan berbagai penyebab kegagalan bangsa Arab dalam menghadapi tantangan mereka. Kemudian pada ada pembahasan ini, periode-periodenya bisa di bagi lagi dalam periode kemerdekaan (1945-1967) dan periode pasca kemerdekaan(1967 hingga selanjutnya).
Pada bagian pertamanya dikarakteristikkan oleh tumbunhnya berbagai macam gerakan nasional sekuler yang berakhir ketika mencapai puncak kehancurannya setelah mengalami kekalahan perang Arab-Israel pada tahun 1967. Setelah peperangan ini, mulailah masuk ke fase kedua yang dipenuhi harapan besar yang disuarai oleh gerakan-gerakan perlawanan rakyat Palestina sebagai pelopor revolusi Arab. Kemudian gerakan-gerakan rakyat Palestina ini mulai berubah menjadi sebuah organisasi yang akan menjadi bagian dari system Arab yang lebih besar.
Setelah Perang Dunia II, harapan Arab diluluhlantahkan oleh penghancuran Palestina dan pendirian Negara Israel. Namun, setelah kejadian itu revolusi Mesir 1952 sesegera mungkin merevitalisasi dunia Arab dan membangkitkan gairah baru pada massa Arab. Bangsa Arab pun seperti memperoleh kembali kehormatan dan dapat memproyeksikan pandangan optimis terhadap masa depan. Namun lain halnya, kebangkitan Islam yang hakiki baru teradi setelah revolusi Islam Iran 1979. Setelah keadian itu, terjadi peralihan ke jalan Tuhan yang dilakukan oleh banyak generasi muda Arab yang intelektual. Dalam hal ini, terdapat dua tren keagamaan yang pertama yaitu  aliran konservasif Saudi yang pertama-tama muncul perlahan ke permukaan. Tren keagamaan ini mengikuti jejak yang telah ditempuh oleh al-ikhwan al-Muslimuun. Kemudian yang kedua adalah tren yang diisi oleh bekas penganut nasionalisme dan sosialisme, yang telah beralih ke jalan Tuhan yang lebih moderat dan berupaya dalam menyatukan kekuatan lama dan baru dalam  kerangka Islam yang kiri dan nasionalis. Namun diantara mereka banyak yang tidak berhasil dalam menjalankannya.
Diantara orang-orang yang gagal dalam merekonsilisasi kekuatan religius dan nasional tersebut diantaranya  adalah para figure-figur kiri seperti Muhammad ‘Amara, Adel Husein, Thariq al-Busyri, dan Hasan Hanafi. Tema utama dalam progresifisasi mereka yang utama adalah merekonsilisasi kekuatan Islam dan Nasionalis Arab dan menghadapi invasi kultur Barat. Kelompok ini sering di sebut Kiri Islam atau “Kaum Salaf baru”. Kelompok ini menegaskan untuk menjaga identitas Arab-Islam dan kembali membangkitkan keontektikannya. Salah satu gagasan yang selalu dipegang oleh kelompok ini ialah penolakan terhadap segala macam gagasan yang pada dasarnya dipinjam, diimpor, ataupun asing yang mengatasnamakan otentisitas. Kemudian dari hasil dari progresifitas ini ialah pergeseran yaitu dari konfrontasi menjadi pemutusan hubungan dengan Barat, dari liberalisai menjadi akomodasi terhadap tradisi yang represif atau yang lebih terlihat atas nama keontentikan.
Orang-orang yang berusaha dalam progresifitas dalam perubahan diantaranya, Muhammad ‘Amara yang menyuarakan tentang warisan Islam dan Arab secara progresif, sembari mempertahankan penggabungan hukum Islam ke dalam system perundangan Mesir dan mengatakan bahwa sekulerisme bukanlah masa depan bagi perdaban Arab-Islam. Kemudian ada Tariq al-busyri yang mengupayakan adanya relasi yang lebih baik antara Islam dan Kristen dalam kerangka persatuan nasional, namun bersikeras menggangap sekuler adalah tumbuhan asing.
Progeresifisme, pemikiran progresif Arab bisa diindentifikasikan berdasar asas sikap kritis, pandangan futuristic, pemahaman sosialis dan sekuler, serta tafsir ilmiahnya yang secara khusus menekankan pada analisis kelas. Salah satu ciri khas dari kelompok ini ialah paradigma yang berorientasi ke masa depan, menolak interpretasi idelistisdan murni kaltural serta berusaha meneliti segala sesuatu dengan mengaitkan dengan konteks social dan historisnya.
Gerakan progresif terdiri atas tiga subkelompok yang dibedakan berdasarkan kerangka analitis yang diantaranya yaitu Marxisme klasik dan partisan, teori dependensi, dan kritisisme social.
1.      Marxisme klasik dan partisan diwakili oleh Husein Mroueh, Mahmud Amin al-‘Alim, dan Thayib Tiizzini. Dari kelompok ini mengupayakan pemikirannya melalui buku yang mereka tulis dengan metode materialisme historis untuk menghasilkan hasil yang progresif dari gambaran-gambaran masa lalu yang telah diteliti.
2.      Teori dependensi diwakili oleh para pendukung dependensi seperti Saamir Amin, Mahmud Abdel Fadil, dan Galal Amin. Teori ini memberi pemahaman alternative sekaligus redefinisi atas proses pembangunan. Proposisi dari teori ini diantaranya pertama, melakukan pembangunan bertujuan untuk mengintergrasikan Negara-negara dunia ketiga ke dalam system kapitalis dunia. Kedua, pekerja dalam tata perekonomian dunia dikelompokkan menjadi satu golongan yang dimana Negara-negara yang kurang penting memproduksi bahan-bahan mentah, dan Negara Barat memproduksi barang-barang industry.
3.      Kritisisme social diwakili oleh para kritikus social seperti Hisyam Syarabi, Abdallah Laroui, Syadiq al-Azm, Abdul kabir Khatib, dan intelektual-intelektual lainnya yang mengikuti gagasan Marxisme, struktualisme Eropa, dan analisis social. Para kritikus dari subtren ini melakukan pendekatan kritsis kaum progresif, yang bersumber dari sebuah komitmen untuk melakukan perubahan trandesental terhadap masyarakat Arab dengan cara menerapkan demokrasi, persatuan nasional, sekularisme, dan sosialisme.



DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang,
Jakarta, 1975,
Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Terj. Anis Mata,
(Solo:Intermedia,2001)



[1] Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, Panitiya Penerbit Dunia Baru Islam, Jakarta, 1996, Hal. 13.
[2]
[3]
[4]
[5] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hal. 51.
[7] Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Terj. Anis Mata, (Solo:Intermedia,2001) hal 63

No comments:

Post a Comment

Featured Post

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun

4 Lembaga Penerima Hibah Setiap Tahun 1. KONI  dasar hukum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) adalah Pasal 69 Undang-Undang Nom...

Popular Posts